Ternyata Kita Mahir Meratapi Derita
Curhat | 2021-10-17 00:51:28INI tentang manusia dan deritanya. Manusia dengan hati yang labil dan rapuh saat sedang menanggungbebani masalahnya. Manusia yang berkecenderungan posesif (materialistis), sentimentil, mahir mendramatisasi masalahnya, dan sekawannya. Dan manusia dimaksud bisa jadi saya dan Anda: kita!
Tengoklah saat manusia sedang jatuh cinta. Hatinya mendadak berbunga-bunga, bahkan mungkin sampai tahap ekstase (ilusi), euforia, menjadi manusia yang penuh rasa bahagia dan optimisme. Ia sudah amat bahagia menyaksikan ujung genting rumah pujaan hatinya. segala apapun selalu diidentifikasikan pada sosok yang sedang dicintainya.
Tetapi suasana hati bisa mendadak berbalik 180 derajat ketika ia menyadari cintanya tak berbalas sambut, atau ketika kisah cinta yang telah dibangun sedemikian panjang itu harus berakhir. Hati manusia mendadak hancur berkeping-keping, ia rela meratapi fase âjatuhâ nya berlarut-larut, menghayati hatinya yang belum bisa menerima kenyataan. Mungkin lebih sedikit orang yang mampu move on cepat dari situasi semacam ini, sebagian besar lainnya selalu butuh waktu untuk bangkit dan kembali menghadapi dunianya, bahkan dalam beberapa kasus ada saja manusia yang merasa tak sanggup untuk move on hingga akhirnya memilih mengakhiri masalahnya dengan mengakhiri hidup alias bunuh diri.
âAku tidak bisa membayangkan hidup tanpa kamuâ begitu ungkapan lebay tapi faktual yang sering kita dengar. Ini menunjukkan sisi manusia yang posesif, materilistis, selalu berorientasi pada modus to have, kata Erich Fromm. Ini seperti kita menyukai sebuah bunga yang cantik di jalan, lalu memetiknya untuk dibawa pulang. Cintanya posesif, menyebabkan matinya sang bunga.
Anak-anak kekinian menyebut fenomena ini sebagai budak cinta alias bucin. Seorang Gus Baha bahkan sampai pernah menyinggung persoalan ini. Bagi dia, ungkapan âaku tidak bisa hidup tanpa diaâ itu aneh, karena sebelumnya kita sudah hidup dan mungkin bahagia.
âKok aneh, gitu doang kok sampai gak bisa hidup. Yang karuan gak bisa bikin hidup tanpanya itu oksigen. Sebelum kau kenal dia kau itu sudah hidup, tapi setelah kenal kok: aku gak bisa bahagia tanpa mendapatkannyaâ.
Dalam situasi broken heart, manusia menjadi sedemikian sentimental, hatinya mendadak amat sensitif. Dia lantas melakukan fase escape from reality, misal dengan memilih menikmati kesendirian. Bahkan kalaupun ada yang ingin membantunya melewati masalah, ia tetap bergeming. âTolong, aku sedang ingin sendiriâ. Padahal, bisa jadi saat itu juga ia merasakan kesepian, menganggap tidak ada orang yang bisa memahami kesakitannya. Maka pilihannya untuk menyendiri bukanlah fase untuk self healing, tetapi bisa jadi caranya lari dari kenyataan yang teramat pahit dan belum mampu ia taklukkan.
Hal jamak berikutnya, manusia akan menganggap masalahnya sebagai yang paling berat, sehingga orang lain semestinya bisa memahaminya. Dia lupa bahwa setiap orang juga menyimpan masalahnya sendiri, bahkan mungkin lebih berat darinya. Tetapi begitulah manusia dengan segala kerapuhan hatinya, dia selalu berpotensi mendramatisasi masalah yang sederhana menjadi seolah-olah rumit. Maslah kecil yang dimaknai selayaknya masalah besar.
âWalah Jon Jon, nek ono sing gampang ngopo mbok persulit. Iki mesti mergo dolanmu kurang adoh, kopimu kurang kentel,â begitu seloroh sok maskulin dari kawannya, yang lupa bahwa ia juga pernah menjadi budak cinta. []
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.