Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Abdullah Abubakar Batarfie

H. Tb. Sjoe'aib Sastradiwirja: Ulama yang berjuang melalui seni

Sejarah | Saturday, 16 Oct 2021, 17:48 WIB

Nicolaas Pieneman, pelukis berkebangsaan Belanda pernah ditugaskan oleh pemerintahnya untuk mengabadikan peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan yang dibuat dan diberinya judul "Penyerahan Diri Diponegoro", sosoknya yang kesatria sebagai pemimpin perang Jawa yang heroik, digambarkan oleh Nicolaas Pieneman dengan wajah lesu dan pasrah

Tak terima dengan hasil karya seni lukis yang mengandung siasat Belanda itu, oleh Raden Saleh yang tengah berada di Jerman, objek serupa dibuatnya kembali sebagai respon atas karya Nicolaas Pieneman. Bagi Raden Saleh, peristiwa penangkapan di Magelang dilakukan secara licik dan curang, karena Belanda membungkus jebakan penangkapan itu sebagai pertemuan perundingan pasca kesepakatan gencatan senjata.

Sosok Pangeran Diponegoro digambarkan dalam karya Raden Saleh dengan raut wajah yang tegas, layaknya seorang kesatria yang sedang menahan amarah. Lukisan itu pun diberinya judul "Penangkapan Diponegoro". Bahkan bendera Belanda yang ada pada lukisan karya Pieneman, tidak ditampilkan dalam karyanya. Kelak peristiwa yang benar-benar terjadi pada 28 Maret 1830 itu, merupakan salah satu lukisan maha karya Raden Saleh.

Lukisan "Penangkapan Diponegoro" dianggap sebagai lukisan pertama yang menggambarkan peristiwa bersejarah perjuangan bangsa Indonesia ketika melawan penjajah yang diabadikan lewat goresan seni.Seniman berdarah Arab - Jawa ini menjadi pionir sebuah perjuangan melalui karya seni rupa untuk mengekspresikan perlawanan kepada penjajah dan penguasa pada masanya.

Ekspresi serupa lewat dunia seni rupa, dengan ruh nasiolisme yang lebih nyata dalam semangat kesadaran gerakan kebangsaan yang bergelora dan terorganisir, juga pernah dilakukan oleh perupa Indonesia. 23 Oktober 1938, mereka membentuk Persatuan Ahli Gambar Indonesia, disingkat Persagi. Ketuanya adalah Agus Djaja, tapi kelahirannya diilhami oleh S.Soedjojono, yang kelak dikenal sebagai Bapak Seni Rupa Indonesia Modern, terkenal dengan karyanya; "Kawan-Kawan Revolusi" dan "Di Depan Kelambu Terbuka".

Selain menjadi wadah berekspresi para seniman yang dituangkan dalam bentuk goresan, jauh kedepan Persagi mendorong para perupa untuk membuat karya seni yang mencerminkan lingkungan, pribadi dan identitas bangsa Indonesia. Dalam mengembangkan lahirnya kreativitas seni lukis, Persagi pun berhasil menyelenggarakan pameran para perupa pribumi di gedung Kolf dan Kunstring di Batavia, dimana tempat berpameran itu sebelumnya biasa dipakai para pelukis Barat yang menganggap dirinya seniman kelas satu.

Lahirnya Persagi dianggap sebagai tonggak awal sejarah seni lukis modern berciri Indonesia. Diantara salah seorang perintis dan pendirinya terdapat nama Sjoe'aib Sastradiwirja. Selain perupa, beliau juga adalah seorang ulama kelahiran Serang - Banten, 8 Februari 1894. Karyanya pada masa lalu banyak dibuat dalam bentuk ilustrasi untuk cover buku dan majalah. Disamping hasrat seninya tetap dikembangkan dalam bentuk lukisan, termasuk kemampuannya membuat lukisan potret salah satu genre lukisan yang ditujukan untuk menggambarkan subjek secara visual berupa manusia.

Dalam sebuah situs family tree, T.M. Musa Zakaria, salah seorang cucunya, pernah mengisahkan saat dirinya masih berusia dibawah sebelas tahun, tinggal bersamanya di kawasan Petodjo Melintang, Jakarta Pusat. Kakeknya Sjoe'aib Sastradiwirja mampu membuat lukisan potret ayahnya sendiri Toebagoes Ismail Sastradiwirja yang telah wafat berpuluh tahun lamanya, dengan menggunakan imajinasinya sendiri, hasilnya dinilai sempurna dan nyata sebagaimana paras asli dari wajah ayahnya.

Sjoe'aib Sastradiwirja berlatar belakang ningrat Banten, orang-orang pun mengenal namanya dengan sebutan Hadji Toebagoes Sjoe'aib Sastradiwirja, gelar yang juga disandang oleh ayahnya. Dikutip dari berbagai sumber, gelar Toebagoes atau penulisan sekarang ditulis dengan ejaan Tubagus, gelar tersebut memiliki hubungan darah atau kekerabatan dengan kesultanan Banten yang sudah digunakan sejak masa Maulana Yusuf, Sultan Banten ke-2.

Bahkan bila dirunut lebih dalam lagi, konon sebetulnya Tubagus itu adalah gelar Sayyid, yang menunjukan silsilahnya bersambung kepada para pendakwah Islam yang datang dari Arab (Hadramaut) yang kemudian melahirkan para penguasa di Banten. Gelar Tubagus lazim dipakai oleh kaum laki-laki, sedangkan untuk perempuannya disebut dengan Ratu.

Dari garis ibu, kakeknya Raden Entol Musa adalah pejabat Demang di Menes yang sebelumnya berkedudukan di Caringin yang dipindah karena porak poranda akibat tsunami pasca Gunung Krakatau Meletus pada 1883. Disebutkan, Nji Raden Ajoe Soewanda merupakan putera dari Raden Entol Mantri Yasin anak dari Demang Menes di Banten. Ayahnya wafat muda sebelum kesampaian meneruskan jabatan Demang menggantikan kedudukan kakeknya Raden Entol Musa, yang hidup satu zaman dengan Dalem Bontjel atau Raden Tumenggung Adipati Wiriadidjaja, Bupati Caringin 1839.

Hadji Toebagoes Sjoe'aib Sastradiwirja merupakan empat bersaudara, anak pasangan Tubagoes Ismail Sastradiwirja dan Raden Ajoe Soewanda. Menempuh pendidikan dasarnya pada perguruan Al-Irsyad Al-Islamiyyah di Batavia, lembaga pendidikan Islam bercorak modern yang didirikan oleh ulama terkemuka Indonesia, Syaikh Ahmad Surkati pada 6 September 1914. Di lembaga pendidikan itulah, Ia ditempa dengan berbagai bidang ilmu pengatahuan hingga lulus setingkat muallimin.

Selepas lulus dan sempat mengajar di almamaternya, Hadji Toebagoes Sjoe'aib Sastradiwirja kemudian turut larut dalam pergerakan dakwah pembaharuan Islam yang disebarkan oleh organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyyah, yang kelahirannya dibidani oleh gurunya Syaikh Ahmad Surkati, ulama pembaharu yang dalam pidato Hamka, saat akan menerima augerah gelar doktor honoris causa, disebutnya sebagai pembawa faham Abduh ke Indonesia.

Bersama Hamka pula sahabatnya, Hadji Toebagoes Sjoe'aib Sastradiwirja dengan tokoh-tokoh lainnya, ikut mendirikan Yayasan Pesantren Islam (YPI) Al-Azhar dan pembangunan Masjid Agung Al-Azhar di kawasan Kebayoran Baru - Jakarta, 19 November 1953. Dari sumber wikipedia disebutkan bahwa nama Al-Azhar tersebut disematkan oleh Imam Besar Al-Azhar Mahmud Syaltut saat berkunjung ke Indonesia pada 1960. Penamaan ini merujuk pada pencapaian imam besar masjid, Abdul Malik Karim Amrullah (atau dikenal sebagai Hamka), seorang ulama dan aktivis Islam yang dianugerahi gelar doktor kehormatan oleh Universitas Al-Azhar, Mesir tahun 1958.

Masjid Agung Al-Azhar pernah menyandang status sebagai masjid terbesar di Jakarta sebelum pembangunan Masjid Istiqlal selesai pada 1978. Dalam perkembangannya, masjid ini menjelma menjadi kompleks lembaga pendidikan, termasuk di dalamnya Universitas Al Azhar Indonesia. Dari 14 orang tokoh yang tercatat sebagai para pendiri YPI Al-Azhar dan Masjid Agung Al-Azhar tersebut, 5 diantaranya berasal dari kalangan Al-Irsyad, selain Hadji Toebagoes Sjoe'aib Sastradiwirja sendiri, mereka adalah Hasan Argoebi, Rais Chamis, Abdullah Salim dan Faradj Said Martak.

Kiprah Wak Mantri di Al-Irsyad

Hadji Toebagoes Sjoe'aib Sastradiwirja oleh orang-orang terdekatnya disapa dengan panggilan Wak Mantri, Ia telah menekuni profesinya sebagai guru di almamaternya, sejak masa hindia Belanda. Bersama guru lainnya, Ia dikenal sebagai guru republikein, karena memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi. Kesan itu ditulis oleh salah seorang muridnya dalam sebuah otobiografi:

"Saya teringat dalam menghadapi Pemerintah Pendudukan Belanda, Al-Irsyad Jakarta termasuk sekolah yang bersikap non kooperatif, artinya tidak mau bekerja sama dengan Pemerintah Pendudukan Belanda. Dalam keadaan kurang persiapan untuk ujian akhir, Al-Irsyad dibantu oleh seorang guru yang berjiwa republikein 24 karat. Guru ini mempersiapkan bahan-bahan ujian masuk sekolah lanjutan yang sudah matang yang ditulis dengan tangannya pada buku tulis. Buku ini dipinjamkan secara bergilir kepada murid-muridnya untuk disalin".

"Waktu itu Penilik Sekolah Al-Irsyad adalah Bapak H.Dahlan Abdullah yang setelah kedaulatan RI pulih, diangkat sebagai Duta Besar pertama RI untuk Irak, kemudian hari ia wafat dalam tugas dan dimakamkan di Bagdad. Kedua tokoh inilah (Bapak Dahlan Abdullah dan Bapak Hadji Toebagoes Sjoe'aib Sastradiwirja) yang menjadikan anak-anak Al-Irsyad dan madrasahnya menjadi republikein sejati". Hussein Badjerei, Anak Krukut Menjelajah Mimpi, penerbit LSIP th.2003.

Dahlan Abdullah atau yang nama lengkapnya H. Bagindo Dahlan Abdullah (15 Juni 1895 – 12 Mei 1950), adalah seorang pejuang kemerdekaan dan diplomat Indonesia. Pada 1942, sewaktu Jepang mengambil alih kekuasaan dari Belanda, Dahlan Abdullah pernah diangkat menjadi Tokubetsu Sicho atau Walikota Kota Istimewa Jakarta. Dengan kedudukannya sebagai Tokubetsu Sicho, beliau disebut-sebut memiliki andil yang besar terhadap proses dan berlangsungnya persiapan, hingga terlaksananya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945.

Selain menjadi tenaga pengajar, Wak Mantri selama dalam masa revolusi kemerdekaan, pernah menjadi Ketua Majelis Pendidikan Al-Irsyad Al-Islamiyyah. Dimasa yang serba sulit itulah, dalam ancaman teror agresor Belanda, semua kegiatan belajar mengajar di Al-Irsyad tetap dapat dikendalikannya, meski pada situasi yang amat mencekam. Kepiawiannya dalam menyelesaikan masalah dunia pendidikan di internal Al-Irsyad, dinilai paling mumpuni, termasuk saat terjadinya kemelut yang pernah melanda perguruan Al-Irsyad Cabang Bogor pada era tahun 60-an.

Selepas Muktamar Al-Irsyad ke-27 yang berlangsung di kota Surakarta pada bulan Desember 1951, Wak Mantri duduk sebagai Anggota Pengurus Besar (PB) Al-Irsyad Al-Islamiyyah, yang kala itu diketuai oleh Ali Hubeis (Ketua Umum). Mantan Perdana Menteri RI dan eks Ketua Umum Masyumi, Bapak DR. M.Natsir, pada periode ini telah secara resmi diangkat sebagai penasehat.

Wak Mantri dan teman seperguruannya, alumnus madrasah Al-Irsyad Al-Islamiyyah, pada tanggal 24 November 1962, di bekas gedung sekolah yang dulu mereka mendapatkan didikan, gemblengan dan asuhan dari guru utamanya Syaikh Ahmad Surkati, mengadakan reuni, mengenang dan merefleksikan kembali perjuangannya bersama Al-Irsyad. Pertemuan itu menjadi yang terakhir, karena selepas itu satu persatu dari mereka dipanggil oleh Allah SWT. Hadir bersama _Wak Mantri_ antaranya ialah Prof. KH Farid Ma'ruf, H.M. Yunus Anis, H.Moh. Saleh Syu'aidy, H. Moh.Akib, H.Iskandar Idris, Ali Hubeis, Said Mangun, dll.

Reuni Wak Mantri bersama teman seperguruan, diselenggarakan di tengah berlangsungnya Muktamar Muhammadiyyah ke-35 di Jakarta, karena sebahagian dari alumnus Al-Irsyad Al-Islamiyyah tersebut, kelak dikemudian harinya mereka tampil menjadi ulama dan kader terbaik Muhammadiyah dan menjadi para pemimpin terkemuka dalam Persyarikatan Muhammadiyah.

Wak Mantri wafat di Jakarta, 1 September 1972, setelah sebelumnya menderita sakit paru-paru yang cukup lama. Dari pernikahannya dengan Nyi Raden Entin Chatarina, Wak Mantri memiliki tujuh orang anak. Dua nama diantaranya yang diketahui oleh penulis ialah Tubagus Mohammad Sulaiman Sastradiwirja dan Toebagoes Adam Sastradiwirja.

Dimata anak dan cucunya, Wak Mantri adalah sosok yang menjadi panutan, hidupnya sederhana dan bersahaja. Pribadi yang taat dalam beribadah. Kebiasaan rutinnya selepas sholat adalah mengaji Al-Qur'an, terutama dikala fajar usai shalat subuh yang tak pernah ia lewatkan setiap harinya.

Salah satu karya tulisnya adalah buku panduan "Cara Membaca Al-Qur'an." yang dicetak dan diperbanyak dengan biaya dari koceknya sendiri, buku itu dibagikannya dengan cuma-cuma, antaranya kepada pengemudi becak yang ditumpanginya dan kepada orang-orang yang datang mengunjunginya. Wak Mantri selalu dengan sabar dan telaten, senantiasa memberikan nasehat dan bimbingan kepada siapa saja yang ditemuinya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image