Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Audry Pinkan

TERLAMABAT

Sastra | Saturday, 16 Oct 2021, 15:35 WIB

Aku menghembuskan nafas sambil menutup mata, aku harus melakukannya, ini yang terbaik untuk kami bersama. Setelah membulatkan tekad, aku mengambil hp yang ada di atas meja kerjaku.

Aku menekan angka satu.

“Halo?” sapanya dari ujung sana.

“Hai, nanti malam kita jadi makan malam?” tanyaku.

Aku mendengar suara tawa di ujung sana. “Hei, baru kali ini kamu mengkonfirmasi untuk makan malam kita. Ada apa denganmu?”

Mendengar pertanyaannya membuatku gugup. Apakah dia tahu apa yang akan terjadi nanti? Seperti kata orang, firasat wanita sangat kuat kan? Aku yang sibuk dengan pikiranku tidak sadar kalau dia memanggil namaku berkali-kali dari ujung sana. Setelah sadar cepat-cepat aku menjawab. “Tidak ada apa-apa. aku.. aku hanya ingin memastikannya.” Jawabku gugup.

“Dasar kamu. okay nanti jadi ditempat biasa. Ah maaf aku dipanggil, sampai nanti ya.” Ujarnya. Lalu hubungan telfon itu terputus. Aku menyandarkan diri dan memjamkan mata lagi, ini yang terbaik.

Malamnya.

Aku duduk dengan gelisah di dalam restoran menunggu Sandy datang. Sepanjang hari ini aku tidak dapat berkonsentrasi dengan apapun yang aku lakukan. Pekerjaanku tidak selesai dengan baik, saat rapat aku juga banyak bengong, tidak mendengarkan bawahanku yang menjelaskan pekerjaannya. Rasanya aku ingin cepat-cepat menyelesaikan pembicaraan ini agar semuanya cepat selesai.

Aku melihat ke sekeliling, restoran ini tidak banyak berubah, sudah satu tahun aku dan Sandy tidak kemari. Restoran ini tempat pertama kali aku mengajak Sandy kencan, tempat pertama kali aku menciumnya dan mungkin akan menjadi yang terakhir kalinya untuk kami. Aku mengalihkan pandanganku keluar kaca untuk menghilangkan rasa yang sedang kurasa. Jalanan di depan tidak macet tapi lumayan padat. Aku melihat sebuah taksi berhenti di depan restoran, seseorang keluar dari taksi. Wanita yang ku tunggu, Sandy.

Seperti biasa dia terlihat sangat menawan, cara berjalannya, senyumannya kepada pelayan, keramahannya saat berterima kasih, dia melambai kepada ku dan aku membalas lambaiannya dengan kaku. Ini saatnya semua selesai.

“Hai, maaf aku agak telat. Tadi ada sedikit masalah di editing.” Jelasnya sambil mencium pipiku lalu dia duduk di kursi yang ada depanku.

“Tidak masalah, aku juga tidak lama menunggumu.” jawabku. “Dimana mobilmu? kenalpa kamu naik taksi?” tanyaku.

“Oh, mobilku ada di bengkel. Tadi pagi mogok.” Jawabnya.

Baguslah, pikirku. lebih baik dia tidak menyetir nanti.

“Aku punya surprise untukmu.” ujarnya sambil ternsenyum cerah. Senyumnya yang selalu membuatku merasa bahagia.

“Aku juga.” bisikku pelan, takut dia dapat mendengarnya. “Ayo kita pesan makan dulu.” ujarku sambil memanggil seorang pelayan yang berdiri tak jauh dari meja kami. Aku mencoba mengulur waktu sampai aku benar-benar siap.

Pelayan datang dan menanyakan apa pesanan kami. Saat Sandy membaca menu untuk memilih makanan, aku memperhatikannya dalam diam. Dia begitu cantik, begitu baik, begitu pengertian, begitu mencintaiku, dia sempurna untukku, aku tahu itu, tapi hatiku sudah dimiliki oleh orang lain. Selama tiga tahun ini memang hanya Sandy yang ada di hatiku, tak pernah sedetik pun ada wanita lain, hanya sekarang segalanya berbeda.

Semua berawal dari tiga bulan lalu, saat aku sedang mengerjakan proyek suatu iklan. Model yang kami pakai adalah mantanku sebelum Sandy, awalnya memang tidak terjadi apa-apa diantara kami, tapi selama tiga bulan ini bekerja dengannya membuatku mengingat kembali masa lalu kami, semua kenangan manis, semua debaran yang aku rasakan untuknya. tanpaku sadari aku terjatuh dalam dirinya.

Sandy tahu aku bekerja dengannya, awalnya dia tidak senang, karena dia tahu bagaimana ceritaku dengan mantanku itu, tapi akhirnya dia mengerti ini hanya sebuah kerjaan, Sandy bilang dia percaya denganku tapi ternyata aku mengkhianati kepercayaannya. Aku suda tidak tahan dengan rasa bersalah yang aku rasasakan untuk Sandy, jadi aku memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan Sandy. Perasaanku sekarang pada Sandy tidak sekuat perasaanku pada mantanku ini.

“Hei Gary,” panggil Sandy sambil menyentuh tanganku yang ada di atas meja.

“Ah iya.” Jawabku.

“Kamu mau pesan apa?” tanyanya.

“Aku ingin..” jawabku sambil membaca menu yang ada di depanku. Apa yang akan ku pesan? Aku tidak ada nafsu makan mengingat apa yang akan aku lakukan sebentar lagi. “Aku pesan crab soup with bread.” Sup adalah pilihan terbaik.

Sandy memesan pesanan kami ke palayan, lalu pelayan itu pergi setelah selesai mencatat semua pesanan kami.

“Gary,” panggil Sandy. Aku menengok ke arahnya dan melihat senyuman di wajahnya, setelah aku perhatikan lagi hari ini Sandy terlihat lebih glowing dari biasanya. “Aku punya kejutan untukmu.” ujarnya sambil mengambil tas nya untuk mencari sesuatu.

Sekarang atau tidak ada kesempatan lagi Gary, Ujarku dalam hati.

“Sand,” panggilku untuk menarik perhatiannya. Namun dia hanya menajwab iya dan masih sibuk mencari sesuatu dari dalam tasnya. “Sand,” panggilku lagi dengan tegas. Berhasil, kali ini dia melihat ke arahku dan menaruh sebuah amplop di atas meja.

“Apa?” tanyanya.

“Aku juga punya sesuatu yang penting untuk aku ucapkan sekarang. Bisakah kamu fokus?” pintaku.

Dia tersenyum sambil mengangguk, “Ok, apa?” tanyanya.

“Aku ingin kita putus.” Ujarku.

Aku melihat senyuman di wajahnya menghilang. “Aku dengar kamu minta putus dariku?” tanyanya, mungkin dia tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

“Iya, aku mau kita putus.” Ulangku.

“Kenapa?” tanyanya. Suaranya mulai bergetar.

“Aku.. aku mencitai orang lain.”

“Siapa? Sejak kapan?” tanyanya. Air mata sudah mengalir di pipinya.

“Jeny sejak tiga bulan yang lalu.” Jawabku sambil mentap mata Sandy.

Aku melihat muka Sandy yang sudah merah karena menangis semakin merah karena amarah. Matanya yang tadi terlihat sedih sekarang terlihat marah. “Jeny?!” tanya Sandy tak percaya. “Dari semua gadis di dunia ini kenapa harus dia? Kamu tahu aku tidak suka dengannya, dari semua mantanmu hanya dia yang tidak dapat aku terima untuk berdekatan dengan mu dan ternyata firasatku benar.” Sandy berusaha menajaga suaranya agar tidak terlalu keras karena sudah ada beberapa pengunjung yang melirik ke arah kami. Aku tidak dapat menyalahkan Sandy, tapi aku harus bagaimana lagi, aku sudah tidak bisa menahan semua ini lagi.

“Maaf, cintaku pada mu sudah padam.” Ujarku lirih.

Aku mendengar Sandy mendengus. “Padam? Kamu hanya jatuh pada godaan perempuan jalang itu.” serunya.

Aku marah mendengar Sandy berbicara begitu tentang Jeny. “Hei dia bukan jalang.”

“Woah,kamu sudah membelanya. Baiklah kita sudahi hubungan kita. Selamat bersenang-senang dengan wanita murahan mu itu.” serunya sambil berdiri lalu memasukkan hp dan amplop cokelat yang tadi dia keluarkan ke dalam tas. Sandy langsung berjalan cepat keluar dari restauran tanpa sekali pun menengok kebelakang. Bodohnya aku mengharapkan dia menengok untuk terakhir kalinya padaku.

Aku sudah tidak peduli dengan tatapan mata pengunjung lain dan para pelayan yang ada di sini. Aku menundudukkan kepala. “Aku sudah melakukan yang benar.” bisikku dalam hati. Aku meyakinkan diri ku.

BRAAK... CIIIIT...

Aku mengangkat kepala mendengar suara keras dari luar restoran. Aku segera berdiri dan berlari ke arah pintu keluar, perasaanku tiba-tiba tidak enak. Aku melihat sudah beberapa orang yang berkerumun tak jauh dari restoran. Aku berlari kesana, dadaku berdebar sangat cepat, tanganku menjadi dingin. Aku bergerak maju melewati orang-orang yang panik menelfon ambulan. Saat aku melihat sosok yang tergeletak di jalan, hatiku mencelos. Sosok itu adalah Sandy, darah berlumuran dari kepalanya dan mulai menggenang di jalan. Pakaiannya kotor dan beberapa robek, mungkin karena gesekan di aspal. Aku terduduk di dekatnya dan memanggilnya.

“Sand.. Sand.. Sand jangan bercanda.” ujarku. Tak terasa air mata mulai mengalir deras di pipiku.

“Sand.. Sand bangun..” ujarku lagi. “Bangun Sand.” Lirihku sambil tersedu.

Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya. Yang aku ingat hanya aku terus mengganggam tangan Sandy dan tidak pernah aku lepas sampai di rumah sakit.

Rumah sakit.

Aku menunggu di depan ruang operasi. Pikiranku benar-benar kalut. Rasa menyesal tidak dapat hilang. Benarkah ini yang aku ingin kan? Benarkah aku ingin berpisah darinya? Benarkah aku tidak mencintainya lagi? Tanyaku pada diriku sendiri.

Tidak, tidak. Aku ingin dia tidak apa-apa. Aku masih ingin melihat senyumannya, aku masih ingin mendengar tawanya, aku masih ingin merasakan kehangatan dari pelukannya, aku masih ingin menggenagam tangannya. Kenapa aku begitu bodoh? Kenapa aku berpikir kalau cintaku padanya sudah padam? Kenapa aku berpikir untuk menggantikan posisinya dengan Jeny? Kenapa aku berpikir untuk putus dengannya? kenapa? Kenapa?

Aku menangis tersedu, aku tidak peduli kalau banyak orang melihatku menangis seperti ini, aku rapuh seperti ini. Aku hanya ingin Sandy selamat, aku hanya ingin meminta maaf kepadanya karena ucapanku, aku hanya ingin kesempatan kedua dengannya. Aku mohon, aku tidak siap kehilangan dirinya. Ternyata aku masih begitu mencintainya. Aku mohon, selamatkan dia.

Aku merasakan sentuhan di pundakku, aku menengok dan melihat salah satu petugas ambulan yang tadi menolong Sandy.

“Bapak, wali dari ibu Sandy?” tanyanya.

“Iya betul. Orang tua Sandy sudah meninggal dan dia anak tunggal.” Ujar ku. “Ada apa?”

“Ini barang- barang milik ibu Sandy.” Ujarnya sambil menyerahkan sebuah tas . Aku mengenalinya, itu milik Sandy. Aku menerimanya dan mengucapkan terima kasih.

Setelah petugas itu pergi, aku membuka tas Sandy, aku melihat dompetnya dan membukanya. Ada foto kami berdua saat liburan ke Jerman, di foto itu kami tersenyum sangat cerah, aku dapat melihat kebahagiaan yang terpancar dari wajah kami. Kenapa aku lupa kalau aku sebahagia itu dengan Sandy? Air mataku menetes lagi. Saat aku ingin mengembalikan dompet Sandy ke dalam tas, aku melihat ada sebuah amplop cokelat. Aku ingat ini barang yang tadi Sandy ingin tunjukkan di restauran.

Aku membuka amplop itu dan mulai membaca kertas yang ada di dalam. Hatiku mencelos saat selesai membaca isinya, tanganku menjadi lemas dan dingin. Aku melihat foto yang ada di dalam amplop itu juga. Aku tidak percaya dengan apa yang aku baca dan aku lihat.

“Keluarga ibu Sandy?” tanya seseorang.

Aku menengok dan melihat dokter yang bertanggung jawab atas Sandy. Aku segera berdiri dan menghampirinya. “Bagaimana keadaan Sandy dok?”

Dokter itu menatapku sedih. “Kami telah berusaha semampunya. Namun pendarahan yang dialami ibu Sandy sangat parah... ” dokter itu tidak dapat melanjutkan perkataannya.

“Jadi?” tanyaku.

“Maaf kami tidak dapat menolongnya.” Ujarnya sambil menunduk.

Aku terjatuh ke lantai, kakiku tidak kuat untuk berdiri. Sandy sudah pergi, Sandy meninggalkanku, Sandy sudah tidak ada. Aku tidak dapat melihat senyumnya lagi, aku tidak dapat mendengar tawanya lagi, aku tidak dapat merasakan pelukannya lagi. Aku seorang pembunuh, aku yang menyebabkan kecelakaan Sandy, aku membunuhnya. Tidak aku tidak hanya membunuhnya, aku juga membunuh bayi kami. Ternyata Sandy sedang mengandung, dia mengandung anak kami dan aku malah membunuhnya. Dia ingin memberikan berita bahagia ini tapi aku malah ingin meninggalkannya.

Hatiku terasa sakit, aku tidak pernah merasakan sakit sesakit ini, air mata tidak berhenti mengalir di pipi ku. Rasa penyesalan tidak cukup. Sandy dan anakku tidak akan kembali. Aku bereriak sekencangnya. Aku bodoh seungguh bodoh. Karena nafsuku aku kehilangan segalanya, karena sedikit godaan, aku kehilangan duniaku. karena kebodohanku aku kehilangan wanita yang aku cintai untuk selamanya.

Sandy dan anakku..... maafkan aku........ lalu gelap.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image