Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Rizky Ramadhan Fuldya

Anakku Telah Kembali

Curhat | 2022-06-12 21:41:35

Anakku mati dengan mata melotot
Dalam keadaan setengah sadar aku melihat gambaran yang tak pernah terbayangkan selama masa hidupku. Melongo melihat kematian anakku dengan bola mata yang melotot karena tangis semalam suntuk, persis seperti kisah hidayah azab televisi. Tentu saja membayangkannya sungguh menakutkan ketika kematian yang begitu aneh mendatangi manusia. Anakku tanpa tau kejamnya dunia mati begitu mengenaskan.
Tentu saja aku merasa sedih melihat kesedihan anakku semalam suntuk sebelum menjelang sakaratul maut. Sedari pulang bekerja anakku sudah lemah gemulai di ranjang tipis sebongkah bidan di salah satu dusunku.
Ketika malam itu anakku merengek memintaku untuk membelikan mainan yang disukainya, namun aku belum mendapatkan upah dari pekerjaanku yang sangat kejam ini. Pagi yang masih gelap bertemu dengan malam yang datang tanpa diundang dan mengundang gelap kembali. Setiap bapak pasti tak pernah tega melihat anak yang satu-satunya dan juga menjadi titipan untuk menjadi kesayangan sang pencipta. Aku pun juga begitu, melihatnya begitu murung. Membuatku merasa sesal yang begitu dalam menjadi seorang bapak yang tak bisa berbuat apa-apa selain menunggu nasib yang tak tau pastinya.
Sudah semalam aku tak nyaman untuk memejamkan mataku. Besok aku akan bertemu wanita gila yang menjadi atasanku di gedung pencakar langit itu, anggap saja itu sebuah gudang pencetak uang yang ada di salah satu pulau di nusantara, yaitu, Jawa. Bisa dikatakan kalau itu tempatku bekerja yang menyeramkan. Menyita hidupku yang penuh kebebasan dan hanya menjadi eksis dalam dunia. Justru mereka pasti berpikir dengan kesemuan mereka bahwa hidupku begitu nikmat di dalam tempat pencetak uang terbesar, andai-andai hidup nikmat, waspada dengan tatapan sang jabatan yang membawahiku. Bisa saja dipaksakan untuk berhenti bekerja dalam waktu kurang dari satu hari, pasti bisa saja dengan kemampuannya itu.
Sebelum berangkat di pagi hari aku mengecup anakku yang sedang tidur lelap sambil berbisik padanya, walaupun aku tau anakku tak mendengarnya.
“Tunggu bapak ya nak, sehabis pulang bapak pasti akan menuruti kemauanmu yang kamu inginkan itu,” ucapku.
Bergegas aku menyalakan mesin kuda modern yang biasa disebut dengan sepeda motor beroda dua. Kecepatan 80km/jam aku tempuh untuk mengejar absensi agar tak telat satu menitpun. Padahal pagi masih begitu sejuk untuk menyeruput kopi hitam dan sebatang rokok di teras. Tapi, aku sudah dikejar waktu yang membawa senjata malaikat maut dengan bilah yang sangat tajam.
Sesampainya di halaman kantor aku berlari tak peduli dengan keadaan sekitar, jam sudah tepat menuju arah tujuh pagi. Sedang aku masih berlari sekuat tenagaku. Sampai-sampai seorang petugas keamanan menegurku.
“Jangan gegabah mas, nanti jatuh,” ucapnya dengan lelucon pagi yang selalu membosankan.
Selamat aku! Kurang dari satu menit aku bisa menandatangi absenku.
Namun kulihat ada yang begitu aneh dengan rekan sejawatanku di kantorku ini. Mereka begitu murung entah apa yang telah terjadi. Mungkinkah mereka terlalu lelah berdesakan di kereta komuter antar kota, atau mereka yang terkena sial karena ban motornya bocor di tengah perjalanan menuju kantor.
Segera aku menegur salah seorang dari mereka, ia teman bersusah payah semenjak pertama kali aku menjejakkan kakiku di kantor ini. Namanya arya dan biasa dipanggil dengan panggilan Asu yang berasal dari bahasa jawa, diartikan dengan anjing dalam bahasa indonesianya. Panggilan itu karena nama panjangnya di singkat menjadi Asu alias Arya Sutejo.
‘Su bengong aje lu, biasanye ketawa ketiwi lu. Payah ah gak ada semangatnya,” ucapku
Ia masih terdiam tak menghiraukanku.
“Ikut gue dulu sini lan ke warung seberang jalanan itu,” ucap ajakannya.
Waktu yang tepat untuk menghilangkan sedikit lelah dari perjalananku menuju kantor. Sekadar menyeruput kopi hitam di warung seberang yang bertepatan di pinggir kali yang keruh.
Sesampainya di warung itu aku dan Asu segera memesan kopi dan beberapa batang rokok. Suara adukan kopi sungguh menyejukkan pagi ini. Kuseruput sedikit demi sedikit sembari menghisap rokok ketengan yang ku beli tadi.
“Lan, kita ada di ambang kematian nih. Orang kejam itu makin lama makin gila, lu udah tau kan? Sekali tatapannya berarti ancaman bagi kita! Hari ini lu harus hati-hati dulu sama dia. Kalau bisa sampai kedepannya!” ucapnya memberiku arahan.
Aku kaget! Ucapannya terdengar begitu serius. Tapi aku tak begitu peduli, karena hari ini aku akan menerima upah bulananku selama aku bekerja dalam sebulan penuh.
Aku membalasnya dengan pertanyaan.
“Emangnya ada apaan sih? Lu kayanya takut banget, santai aja kali ntar juga perasaannya biasa aja, mungkin aja dia lagi ada masalah,” ucapku menenangkannya
“yaudahlah terserah lu aja, gue cuma ngasih tau lu aja buat hati-hati,” balasnya.
Kopi dan rokokku sudah habis, aku dan Asu bergegas kembali ke ruangan kantor.
Sesampainya di sana memang terlihat begitu tegang. Perasaan tertekan yang tak pernah kurasakan ini baru pertama kali kurasakan. Tatapan wanita itu begitu sinis terhadap kami. Aku pun tak mengerti apakah aku berbuat yang tidak senonoh selama aku bekerja atau aku membuat kesalahan besar dalam pekerjaanku.
Kurasa hari ini akan berlalu begitu lama karena suasana begitu menegangkan, bak ikut kompetisi cerdas cermat yang diadakan antar sekolah dengan lawan yang sangat lihai dalam berbagai hal.
Sehari suntuk aku lewati hingga menjelang matahari yang pamit menuju ufuk barat bumi.
Anehnya setelah melewati pintu ruangan kantor, aku tak mendapati perasaan yang tak terbayangkan. Entah aku akan jatuh dari motorku atau mendapatkan kesialan lainnya. Aku hanya bisa berdoa agar bisa selamat sampai rumah. Segera kunyalakan kembali motorku.
Di perjalanan aku merasa getaran telepon pintarku begitu banyak. Aku membiarkan teleponlu karena aku sedang mengendarai motorku.
Setelah sampai di rumahku segera aku cek keadaan anakku, ia jatuh sakit! Panas tubuh yang begitu tinggi. Aku panik kelabakan. Tak sempat bebersih diri aku membawanya ke klinik terdekat. Anakku lansung ditangani, beberapa jam aku menunggu tanpa sadar sudah sepertiga malam. Aku mengabari teman kantorku bahwa aku tak dapat masuk besok hari. Ketika aku melihat teleponku, banyak panggilan masuk dari si Asu. Segera ku telpon kembali dia.
‘Su kenapa nelpon?”
“Lan kita kena PHK!” ucapnya.
“Lu jangan becanda deh, anak gue baru masuk klinik nih”
“Gue gak bohong beneran deh, bener kan yang gue bilang hati-hati. Kita di PHK sepihak karena ibu itu lan, si ibu itu udah gak suka sama kita gak tau apa salah kita,”
Dingin sekujur tubuhku.
Linglung! Sudah jatuh tertimpa tangga!
Bidan datang!
“Pak, mohon maaf, semoga bapak bisa tabah, saya juga tak kuat melihat keadaan anak bapak, bapak bisa melihat sendiri,”
Nyawanya sudah tiada, matanya melotot!
Aku tak mengerti apa yang telah kulakukan, sekujur tubuhku tak bisa berhenti bergerak. Tangis tumpah dari mataku melihat kondisi anakku.
Anakku! Kau pergi begitu cepat. Aku merasa bersalah sekali karena tak bisa menjagamu dan melindungimu. Aku sudah pulang dengan membawa yang kamu mau, tetapi kau sudah diberikan hadiah terbaik oleh tuhan dan kembali.
Maka bagiku saat ini adalah nikmat dunia mana lagi yang kau cari nak selain kembali ke penciptamu.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image