Dana Haji dalam Dua Dekade
Lomba | 2021-10-15 10:40:29Dana haji atau sejumlah biaya yang harus dibayarkan oleh jamaah untuk menunaikan ibadah haji, mengalami transformasi istilah dan penanggung jawab pengelola dalam dua dekade terakhir. Mengacu pada UU No. 17 tahun 1999, istilah dana haji disebut dengan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang dikelola di bawah koordinasi Menteri Agama secara struktural dan teknis fungsional oleh Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji (BIUH). UU tersebut juga mengatur perihal pembayaran BPIH yang dibayarkan oleh jamaah kepada rekening Menteri melalui bank yang ditunjuk setelah mendapat pertimbangan Gubernur Bank Indonesia.
Bila dilihat berdasarkan biaya, secara ringkas BPIH memiliki 3 (tiga) komponen yaitu biaya penerbangan, biaya operasional di Arab Saudi dan biaya operasional dalam negeri. Besaran dana tersebut tentu harus diputar mengingat keterbatasan kuota jamaah setiap tahun sehingga terdapat masa tunggu yang cukup lama bagi jamaah lainnya. Selain itu, pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk menanggung sebagian komponen BPIH, meski tidak secara jelas diatur oleh UU yang berlaku saat itu. Maka dibentuklah badan khusus yang disebut Badan Pengelola Dana Abadi Umat untuk merencanakan, mengorganisasikan, mengelola dana tersebut dan menyampaikan laporan pelaksanaan tugasnya setiap tahun kepada Presiden dan DPR RI. Seiring berjalannya waktu, pembentukan Badan ini menjadi sorotan publik karena Pemerintah (melalui Departemen Agama) tetap memegang peran Regulator di satu sisi, dan secara bersamaan juga masih memegang peran sebagai operator dalam penyelenggaraan ibadah haji.
Dalam upaya penyempurnaan sistem dan manajemen penyelenggaraan ibadah haji agar berjalan tertib, transparan dan akuntabel, maka diterbitkan UU No. 13 tahun 2008 sebagai pengganti dari UU sebelumnya. Dalam UU tersebut, pengawasan terhadap penyelenggaraan haji menjadi tanggung jawab dari Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI). Dalam hal ini KPHI bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan melaksanakan tugasnya secara independen. Dalam UU yang sama, secara jelas dijabarkan mengenai tupoksi dari BP DAU yang sebelumnya masih sebatas penjelasan umum. Termasuk pada struktur dan pengorganisasian, BP DAU terdiri dari dewan pengawas dan dewan pelaksana. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya pemisahan tanggungjawab untuk pengembangan DAU. Peraturan pengembangan dana tersebut juga masuk dalam pasal 47 ayat (1) melalui usaha produktif dan investasi yang sesuai dengan syariah dan ketentuan perundang-undangan.
Tidak berlangsung lama, BP DAU kembali bertransformasi menjadi Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) atas amanat UU No 34 tahun 2014. BPKH memiliki wewenang yang lebih luas, selain dapat menginvestasikan dana haji sesuai syariah, dapat juga melakukan kerjasama dengan lembaga lain dalam pengelolaannya. Lebih dari itu, terbitnya UU tersebut juga berpengaruh kepada tupoksi KPHI yang kemudian dialihkan kepada Kementerian Agama. Pengalihan ini akhirnya resmi ditetapkan bersandar pada Keppres No 68/P tahun 2019 (Republika, 19/08/2019). Selanjutnya BPKH melanjutkan fungsinya sejak awal berdiri pada tanggal 26 Juli 2017.
Konsep dasar dari pengelolaan keuangan haji oleh BPKH bersumber dari dana-dana berikut; setoran awal, setoran lunas, dana abadi umat (nilai manfaat dari penempatan dana haji dan nilai manfaat dari investasi dana haji), efisiensi dana operasional haji, dan sumber lain yang sah tidak mengikat. Sumber pemasukan tersebut dikeluarkan untuk item-item biaya sebagai berikut; pengembalian kepada jamaah batal berangkat haji, penyelenggaraan ibadah haji, biaya operasional BPKH, virtual account jamaah haji tunggu dan program kemashlahatan. Dengan sumber dana yang terbatas dan pos-pos anggaran yang harus terpenuhi, sementara BPIH terus meningkat setiap tahunnya seperti yang tergambar dalam grafik berikut
Grafik tersebut menunjukkan adanya selisih antara BPIH dan BIPIH yang harus ditutup oleh pemerintah. Sementara nilai manfaat belum mampu memenuhi sejumlah nilai yang harus tersedia. Maka diperlukan konsentrasi bagi BPKH untuk pengembangan dana haji agar tercukupi dan tidak tergerus inflasi. Mengambill ilustrasi dari biaya haji reguler di Indonesia tahun 2019, BPIH berada di kisaran angka Rp. 67-76 juta. Sementara BIPIH sendiri hanya berkisar Rp. 35 juta yang terdiri dari setoran awal dan pelunasan. Artinya, nilai manfaat yang harus dipenuhi oleh BPKH berada pada kisaran Rp. 35-40 juta atau 50 persen dari dana yang tersedia. Instrumen keuangan apa yang dapat memberikan imbal hasil sebesar 50% untuk mencukupi kebutuhan tersebut? Jikalau dilakukan investasi, maka kembali pada prinsip high risk high return. Padahal dalam hal ini, BPKH berkewajiban mengalokasikan dana umat pada tempat yang aman agar tidak terjadi kerugian bagi calon jamaah.
Melihat besarnya tanggung jawab yang diamanahkan kepada BPKH, maka diperlukan strategi investasi khusus untuk mengembangkan dana haji yang semakin bertambah tahun semakin meningkat angkanya. Sehingga penyempurnaan penyelenggaraan haji di Indonesia semakin dapat memberikan layanan terbaik bagi jamaah yang berangkat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.