Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fatimah Salsabila

Toleransi Beragama yang Hilang dari Peradaban Modern

Eduaksi | Saturday, 11 Jun 2022, 00:09 WIB

Masyarakat modern dan kata pluralisme saling memiliki keterkaitan yang disebabkan oleh perpindahan, baik informasi maupun manusia yang pesat. Salah satu faktor pendukung kecepatan perpindahan ini, tentunya tidak lain karena teknologi yang semakin maju dan didukung oleh kemudahan untuk mendapatkan teknologi tersebut. Jikalau dulu manusia perlu mendengarkan radio atau membeli koran harian demi mendapatkan informasi yang terkini, sekarang mereka bisa mengakses berbagai informasi melalui gawai atau ponsel cerdas di mana pun dan kapan pun.

Penyebaran informasi yang sangat cepat ini, apabila tidak diiringi oleh kesadaran moral yang baik dan pemikiran yang logis, akan bisa menyebabkan huru-hara, terutama dalam masalah toleransi beragama. Seperti yang kita ketahui, terdapat banyak tulisan dan video di internet yang diunggah oleh orang-orang di balik layar yang tidak bertanggung jawab. Entah apa tujuan mereka, tetapi biasanya berita yang diunggah berisi tentang ujaran kebencian terhadap agama-agama tertentu atau ajakan untuk menjadi ekstrimis yang terselubung. Hal ini pun di kemudian hari akan menciptakan citra yang buruk terhadap sebuah agama.

Sebagai contoh, Youtuber Amerika—David Wood yang menyebut dirinya sebagai seorang evangelis yang gemar mengkritik Islam hingga menjelek-jelekkannya. Dirinya pun tidak jarang mengajak para penontonnya untuk membenci Islam dan menghina Nabi Muhammad SAW. Ceramah-ceramahnya yang penuh dengan ujaran kebencian kepada kaum muslimin bahkan ateis ini, ditonton lebih dari dua ratus ribu orang. Apabila dari dua ratus ribu orang lebih ini tidak ada yang mengkaji ulang isi dari ceramahnya, maka akan tercipta sebuah masyarakat yang saling tidak menghargai perbedaan keyakinan.

Kita juga bisa melihat penciptaan citra buruk terhadap agama-agama tertentu atau penempatan karakter tuhan ke dalam komedi. Citra buruk yang dimaksud di sini, seperti menggambarkan Islam adalah agama untuk teroris yang biasanya diciptakan oleh Hollywood di film-film mereka. Imbas dari penciptaan citra buruk kepada agama Islam ini pun akhirnya menyebabkan fobia terhadap Islam. Padahal, apabila kita melihat dari data yang dikumpulkan oleh FBI dari tahun 1972-2015, menunjukkan bahwa terorisme di Amerika banyak dilakukan oleh masyarakat kulit putih. Hal ini membuktikan bahwa sebenarnya terorisme itu bisa dilakukan oleh siapa pun tanpa memandang agama atau ras mereka.

sumber: https://www.statista.com/chart/19968/the-race-ethnicity-of-lone-offender-terrorist/

Contoh lainnya adalah film komedi 21 Jump Street dan 22 Jump Street yang menempatkan Yesus di dalam ceritanya dengan membuatnya menjadi versi Korea dan Vietnam. “Hey, hey! Stop f*ck*n with Korean Jesus! He ain’t got time for your problems! He busy! With Korean sh*t!” Itu adalah kalimat yang dikatakan Ice Cube setelah mendengar Jonah Hill berdoa di gereja yang dibangun oleh masyarakat Kristen Korea-Amerika.

Di dalam negeri sendiri pun juga terjadi beberapa kasus kekerasan yang melibatkan konflik agama, seperti pengrusakan klenteng Xian Ma, klenteng Kwan Kong, dan klenteng Ibu Agung Bahari pada 10 Agustus 2012 oleh massa FPI Makasar atau ketika mereka menyerbu pekarangan Sekolah Sang Timur sambil mengacung-acungkan senjata dan memerintahkan para suster agar menutup gereja dan sekolah Sang Timur pada 4 Oktober 2004. Bahkan, permasalahan ini juga seharusnya bisa diselesaikan baik-baik karena akar dari masalahnya adalah FPI menduga adanya kegiatan penyebaran agama Katolik.

Kemudian, banyak dari masyarakat sekarang yang terbiasa untuk memaksakan ideologi atau kepercayaan mereka terhadap orang lain. Pemaksaan yang dilakukan pun terkadang bisa dikatakan tidak bermoral. Hal ini terjadi di Brooklyn, Amerika pada tahun 2016 silam. Seorang pria bernama Michail Isakharov yang secara tiba-tiba berteriak kepada seorang wanita muslim, "Muslims are not supposed to be driving!" dikutip dari petugas berwenang. Kalimat ini berarti, muslim tidak sepantasnya mengemudi. Isakharov mengucapkan hal tersebut sebelum dia menghampiri korban yang sedang mengambil fotonya untuk barang bukti. Kemudian Isakharov melempar ponsel genggam sang korban dan melepas hijabnya dengan paksa.

Perengutan atribut-atribut agama ini juga terjadi tidak sekali atau dua kali, tetapi cukup sering, terutama di negara-negara liberal yang seharusnya menerapkan kebebasan dalam beragama. Namun, sayangnya kebebasan dalam beragama itu bukannya menjadikan sebuah masyarakat damai, malah membuat masyarakat menjadi saling membenci.

Untuk itulah, seharusnya manusia bisa menjadi lebih toleran terhadap sesama, bukannya berlindung di balik kalimat "kebebasan berpendapat". Karena, apabila manusia menerapkan kebebasan berpendapat tanpa didukung moral, tidak akan ada ketenangan yang tercipta di masyarakat. Satu sama lain akan saling memaksakan pemahaman akan kepercayaan masing-masing, memanggil sesama saudara "kafir" karena memiliki perbedaan mahdzab, atau yang lebih parahnya lagi berbuat tindakan kriminal demi menghilangkan simbol agama tertentu karena terpengaruh oleh aliran ekstrimis yang membenci agama-agama tertentu.

Kita juga perlu untuk memilah informasi yang didapatkan dari internet karena lagi-lagi, internet merupakan tempat di mana semua orang bisa meninggalkan pendapat mereka tanpa pengawasan yang ketat. Ceramah-ceramah yang terlalu ekstrim yang bisa menimbulkan perpecahan antarkaum atau kutipan wawancara yang diunggah sepenggal-sepenggal demi pencemaran nama baik juga bisa saja ditemukan di internet.

Maka dari itu, terdapat pentingnya kesadaran moral yang diiringi dengan logika berpikir yang baik demi menghindari konflik yang bisa diatasi melalui toleransi, terutama dalam beragama.

-------

Fatimah Salsabila

Sosiologi, Universitas Airlangga.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image