Mengapa Mengikatkan Diri Hanya Pada Pengawasan Manusia?
Agama | 2022-06-10 18:17:46Tanjung Selamat - "Manusia cenderung mengikatkan diri dengan pengawasan manusia. Padahal pengawasan Allah itu melekat," ungkapan tersebut diutarakan oleh Tgk Fakhruddin Lahmuddin di mimbar khutbah saat menjadi khatib di Masjid Babul Maghfirah, Jumat (10/06/2022).
Dihadapan para jamaah masjid kebanggaan masyarakat Gampong Tanjung Selamat, Pimpinan Dayah Tgk Chik Oemar Diyan Indrapuri itu mengingatkan kembali tentang pentingnya menerapkan nilai-nilai puasa ramadhan yang telah dilakukan sebulan yang lalu.
"Alhamdulillah! Sudah sebulan puasa Ramadhan yang kita lakukan telah berlalu. Saat ini kita sudah berada pada bulan Zulkaidah 1443 H," ujar Fakhruddin yang juga menjabat Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Provinsi Aceh.
Beliau melanjutkan, para ulama telah menyebut dan mengumpamakan bulan Ramadhan dan ibadah puasa didalamnya itu sebagai lembaga pendidikan.
Jika sebagai lembaga pendidikan tentunya memiliki sebuah visi dan misi yang ingin dicapai.
Lantas Fakhruddin pun memberikan contoh. Misalkan sebuah lembaga pendidikan yang memiliki visi dan misi mencetak lulusan yang mampu berbahasa Inggris baik secara aktif maupun pasif atau disebut sebagai output. Maka nanti setelah selesai pendidikan akan dilihat bagaimana kemampuan lulusan dalam berbahasa Inggris.
Bahkan jika dilihat dalam jangka panjang. Ada berapa banyak lulusan dari lembaga pendidikan tersebut yang sudah bekerja atau bekerja di mana saja atau itu disebut outcome.
Contoh lain misalnya lembaga pendidikan yang memiliki visi dan misi mencetak lulusan yang berakhlak. Maka akan dilihat nantinya setelah selesai pendidikan bagaimana akhlaknya. Dalam jangka panjang bahkan akan dilihat bagaimana akhlak lulusan ditengah masyarakat.
Idealnya apa yang telah didapat dari lembaga pendidikan dapat menjadi falsafah, prinsip, dan terbentuk menjadi kepribadian.
Begitulah pula halnya bulan Ramadhan. Puasa telah mengajarkan nilai-nilai, falsafah puasa, prinsip-prinsip puasa, dan hendaknya menjadi kepribadian.
Dengan mengutip Kitab Al- Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu karangan Syeikh Wahbah Az-Zuhaili tentang bab falsafah dan prinsip puasa, Tgk Fakhruddin Lahmuddin menyebut nilai-nilai puasa yang hendaknya ada pada diri orang yang telah melaksanakan ibadah puasa Ramadhan diantaranya:
Pertama; amanah (bertanggungjawab). Artinya segala hal yang telah dilakukan semasa hidupnya di dunia wajib akan mempertanggungjawabkan dihadapan Allah.
Fakhruddin lantas mengutip firman Allah SWT yang artinya: "Dan diletakkanlah Kitab (catatan amal), lalu engkau akan melihat orang yang berdosa merasa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, "Betapa celaka kami, Kitab apakah ini, tidak ada yang tertinggal, yang kecil dan yang besar melainkan tercatat semuanya," dan mereka dapati (semua) apa yang telah mereka kerjakan (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menzalimi seorang jua pun."(QS. Al-Kahf 18: Ayat 49).
Maka bagi mereka yang berbuat dosa tentunya merasa ketakutan saat nanti dimintai pertanggungjawaban.
Kedua; meyakini adanya pengawasan Allah. Didalam menjalankan puasa, Allah SWT telah menetapkan aturan yang diantaranya adalah tidak boleh makan dan minum di siang hari sejak subuh hingga terbenam matahari.
Nah seseorang yang berpuasa pasti merasakan haus ketika tidak diperbolehkan minum. Saat itu tentu nafsu biologis berkata ingin minum. Bisa saja seseorang akan minum air, apalagi ditempat yang orang lain tidak melihatnya. Bisa saja mereka minum didalam mobil misalnya. Apalagi kaca film mobil sekarang ini gelap alias tidak nampak apa yang dilakukan oleh orang didalamnya.
Namun hal itu tidak dilakukan. Mengapa? Karena ia meyakini meskipun tidak dilihat oleh manusia namun Allah SWT mengetahuinya. "Sesungguhnya Allah maha mengetahui."
Ketiga; Tauhid. Puasa akan menambah keimanan. Didalam bulan Ramadhan orang sangat mudah meningkatkan keimanan kepada Allah. Meskipun Rasullullah Saw mengatakan keimanan naik turun.
Keempat; semakin memperkuat keyakinan terhadap pengawasan Allah.
"Namun fenomena hari ini manusia cenderung mengikatkan diri dengan pengawasan manusia. Padahal pengawasan Allah itu melekat," ucapnya.
Sejatinya, sikap ia tidak minum air yang dapat membatalkan puasa tadi meskipun ada kesempatan namun ia tidak melakukannya karena keyakinannya terhadap Allah SWT dan Dia pasti mengetahuinya itulah menjadi kepribadian dalam seluruh aspek kehidupan.
Meyakini pada pengawasan Allah. Bukan seperti sekarang ini kita lihat manusia cenderung mengikatkan diri pada pengawasan manusia.
Bahkan dia mengingatkan bagi siapa yang bekerja di birokrasi hendaknya meyakini dan menjadikan pengawasan Allah SWT sebagai keyakinan yang melekat dan dibawa saat menjalankan pekerjaan.
Meskipun mampu mengecoh (olah) perencanaan anggaran sehingga inspektorat, BPKP, kejaksaan, BPK, dan kepolisian tidak mengetahui hasil rekayasa (olah) tersebut. Tetapi yakinlah bahwa Allah SWT pasti mengetahuinya.
Hal ini, katanya, sesuai dengan firman Allah Swt, "Mereka dapat bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak dapat bersembunyi dari Allah, karena Allah beserta mereka ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak diridai-Nya. Dan Allah Maha Meliputi terhadap apa yang mereka kerjakan." (QS An-Nisa' 4: ayat 108).
Terkadang logika manusia menafikan bahwa Allah mampu mengawasi seluruh perbuatan manusia.
Guna membuktikan logika bahwa Allah SWT mampu melakukannya, lihat saja dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sekarang ini. Dewasa ini dengan teknologi aktivitas manusia hampir semuanya dapat dicatat, tersimpan, dan bisa dibaca kapan saja.
Contoh dalam transaksi perbankan misalnya. Sebanyak 7 milyar manusia di bumi saat ini dapat diketahui berapa kali menarik uang di ATM, menyetorkan uang di ATM, bisa dilihat seluruh transaksi pada waktu yang sama, jumlahnya dan dimana saja. "Begitu pun alat CCTV yang banyak membantu polisi dalam mengungkapkan kasus-kasus pencurian," sambung Fakhruddin.
Lihatlah! Dengan teknologi yang diciptakan oleh manusia saja nyaris mampu mencatat aktivitas manusia, apalagi Allah SWT. Bagi Allah hal itu sangat mudah. Karena Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Menyadur sebuah Firman Allah SWT “Barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya." (QS Az-Zalzalah 99: ayat 7-8). Demikianlah Allah mampu mencatat sekecil apapun amalan manusia dan akan diperlihatkan nantinya di hari akhirat.
Oleh karena penting kita ingat sebuah pesan Lukmanul Hakim kepada anaknya. “(Luqman berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS. Luqman: 16).
Mengakhiri khutbahnya, Tgk Fakhruddin Lahmuddin menegaskan kembali, "jangan mengikatkan diri pada pengawasan manusia tetapi pada pengawasan Allah." (*)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.