Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tyas Chairunisa

Pembelajaran Daring saat Pandemi Koronavirus, Efektifkah?

Guru Menulis | Sunday, 10 Oct 2021, 23:26 WIB

Sejak awal 2020, Indonesia terkena pandemi koronavirus atau lebih dikenal dengan covid-19. Penyebaran dan penularan koronavirus di wilayah Indonesia terjadi begitu cepat. Kehadirannya tidak mampu lagi ditolak. Ia seumpama tamu tak diundang yang secara “sukarela”, tanpa “mengetuk pintu” memasuki kawasan Indonesia, lalu “bersemayam” di tubuh orang-orang yang menjadi pilihannya. Hal itulah yang menyebabkan hingga saat ini jumlah warga yang terkena serangan penularan koronavirus mencapai jutaan. Tentunya, tak dapat dimungkiri peristiwa tersebut merupakan fenomena yang “menakjubkan”.

Hebatnya serangan koronavirus ternyata berdampak tidak hanya bagi kesehatan masyarakat, tetapi juga sektor-sektor yang memengaruhi penghidupan. Sektor-sektor tersebut, di antaranya sektor ekonomi, sosial, dan juga pendidikan. Meski demikian, sektor yang sangat terdampak ialah sektor ekonomi dan pendidikan.

Terkait dengan sektor ekonomi, tidak sedikit perusahaan yang mulai “jatuh” pelan-pelan. Hal itu tentunya berdampak pada semakin meningkatnya masyarakat yang terkena PHK sehingga mereka menjadi pengangguran dan mengalami penurunan pendapatan.

Selain itu, dari sektor pendidikan, sistem pembelajaran berubah bentuk dari pembelajaran tatap muka menjadi pembelajaran daring atau pembelajaran jarak jauh (PJJ). Pembelajaran daring adalah sistem pembelajaran tanpa tatap muka secara langsung antara guru dan siswa karena dilakukan melalui daring (dalam jaringan) dengan menggunakan jaringan internet. Hal itu sesuai dengan imbauan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia melalui Surat Edaran Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Kebijaksanaan Pendidikan dalam Masa Darurat Penyebaran Covid-19.

Pembelajaran daring di Indonesia dimulai pada 16 Maret 2020. Sistem pembelajaran ini melalui perangkat komputer pribadi, laptop, atau telepon seluler (ponsel) yang terhubung dengan koneksi jaringan internet. Pembelajaran daring tidak hanya dilakukan di pendidikan formal, seperti sekolah dan kampus, tetapi juga di pendidikan nonformal, seperti tempat bimbingan belajar (bimbel) dan beberapa tempat kursus. Sistem pembelajaran daring yang dilakukan secara serentak di wilayah Indonesia merupakan sistem yang pertama kali dilaksanakan. Maka dari itu, tidak heran baik guru maupun siswa perlu beradaptasi dengan sistem tersebut.

Bukan tanpa alasan bila Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, memutuskan imbauan pelaksanaan pembelajaran daring. Sistem pembelajaran ini dapat dianggap sebagai salah satu solusi untuk mengurangi penyebaran dan penularan koronavirus di lingkungan masyarakat. Namun, apakah sistem pembelajaran daring ini efektif, baik bagi guru maupun siswa?

Tentunya, kita tidak dapat langsung menilai bahwa sistem pembelajaran daring ini tidak efektif. Kita perlu secara bijak memandang dan mengamati dampak positif dan negatif dari sistem pembelajaran tersebut. Hal itu karena semua yang terjadi di dunia ini, pasti memiliki kedua dampak yang tak terpisahkan itu.

Ada beberapa dampak positif dari pembelajaran daring. Pertama, baik tenaga pendidik, peserta didik, dan orangtua terlatih untuk beradaptasi terhadap segala perubahan—yang mungkin tentatif sesuai perkembangan situasi dan kondisi—terutama terkait dengan mengikuti dan mengeksplorasi perkembangan teknologi pendidikan di era modern saat ini. Kedua, tenaga pendidik juga terlatih untuk berinovasi dan berkreatif dalam memberikan metode pembelajaran dengan lebih variatif dan menarik. Ketiga, sebagian peserta didik merasa nyaman belajar di rumah dan memiliki lebih banyak waktu berkumpul bersama keluarga. Keempat, bagi guru pembelajaran daring cukup fleksibel, baik secara waktu maupun tempat.

Terkait kefleksibelan waktu dan tempat saat melakukan pembelajaran daring, saya sebagai guru, baik guru sekolah maupun bimbel, pun mengalaminya. Dengan adanya pembelajaran daring ini, saya tidak harus berkewajiban untuk hadir ke sekolah atau ke tempat bimbel untuk mengajar. Selain itu, sistem pembelajaran daring ini secara tidak langsung melatih diri saya untuk lebih banyak belajar, terutama dalam memahami pengoperasian beberapa aplikasi yang digunakan dalam pembelajaran daring, seperti Google Classroom (GCR), Google Meet, Zoom, dan Microsoft Teams. Dengan kata lain, hal itu cukup menyadarkan saya bahwa tenaga didik/guru masa kini harus melek teknologi dan saya, salah satu dari ribuan atau jutaan guru di Indonesia, termasuk guru belum terlalu melek teknologi. Nah, dengan adanya beberapa aplikasi tersebut, saya juga belajar untuk memahami dan membandingkan aplikasi manakah yang efektif untuk digunakan dalam pembelajaran daring.

Selain berdampak positif, pembelajaran daring juga memiliki beberapa dampak negatif. Dampak-dampak negatif muncul disebabkan beberapa kendala. Umumnya, kendala yang dihadapi peserta didik selama pembelajaran daring dipengaruhi oleh faktor psikologis, faktor ekonomi, dan faktor teknis.

Oleh sebab pembelajaran daring ini dilakukan tanpa tatap muka, memungkinkan siswa untuk lebih santai belajar. Hal itu dapat menumbuhkan rasa bermalas-malasan untuk belajar, bahkan enggan mengerjakan tugas dari guru. Dengan kata lain, perilaku mereka tersebut telah memengaruhi faktor psikologis mereka.

Selain faktor psikologis, ada juga faktor ekonomi. Pembelajaran daring secara tidak langsung menuntut peserta didik untuk memiliki perangkat pembelajaran, seperti ponsel, laptop, dan/atau komputer. Namun sayangnya, tidak semua peserta didik memliki perangkat tersebut, terutama bagi mereka yang berada di daerah pedalaman atau mungkin, maaf, bagi mereka yang berada di kelas menengah bawah.

Sekilas cerita, ketika mengisi laporan nilai akhir semester beberapa waktu lalu, saya sempat dibuat bingung oleh beberapa siswa. Saat saya melakukan pengecekan nilai semua tugas, ada siswa yang jarang mengumpulkan tugas, bahkan sekali pun tidak pernah mengumpulkannya. Nilai ujian pun tidak maksimal. Awalnya, saya berpikir Apakah mereka malas atau ada alasan lain sehingga mereka seperti itu? Ternyata, ada alasan kuat mereka yang membuat saya merasa sedih. Faktanya, beberapa dari mereka hanya memiliki satu ponsel dan itu entah milik orangtuanya, entah kakaknya sehingga mereka menggunakan ponsel tersebut ketika tidak digunakan pemiliknya. Di samping itu, ada pula di antara mereka yang terbatas dalam memanfaatkan fasilitas internet karena tidak adanya pulsa kuota. Inilah yang membuat mereka terkendala dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan guru. Dengan kata lain, tidak semua peserta didik memiliki ponsel pribadi, tetapi pendidikan sangat wajib mereka dapatkan. Menurut saya, kondisi seperti itu menimbulkan ketidakseimbangan. Di satu sisi peserta didik berhak mendapatkan ilmu dan berkewajiban menuntut ilmu, tetapi di sisi lain mereka terkendala dengan terbatasnya untuk memiliki perangkat pembelajaran.

Terakhir, faktor teknis. Pembelajaran daring tidak terlepas dari koneksi jaringan internet. Koneksi jaringan menjadi salah satu kendala yang dihadapi baik tenaga pendidik maupun peserta didik yang tinggal di pinggiran kota atau daerah pedalaman. Bahkan, ada pula beberapa wilayah pedalaman yang sangat sulit terkoneksi dengan jaringan internet. Hal ini menyebabkan pembelajaran daring menjadi tidak maksimal. Tenaga pendidik (guru) berusaha menjalankan amanahnya dengan baik dan profesional, tetapi kendala tersebut tidak mendukungnya. Tentu saja pihak yang paling berdampak ialah peserta didik. Mereka terkendala pembelajaran daring, kemungkinan kesulitan dalam mengirim tugas yang dikerjakan, dan juga haknya dalam mendapatkan pendidikan dan ilmu pengetahuan tidak terpenuhi secara utuh sehingga akhirnya terjadilah penurunan capaian pembelajaran.

Berdasarkan dampak-dampak di atas, setidaknya kita mendapat benang merah bahwa pembelajaran daring dapat dikatakan belum efektif. Sekali lagi, belum efektif, bukan tidak efektif. Hal inilah yang dapat kita pikirkan secara bersama, berdiskusi dalam mencari solusi terbaik demi meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif. Tentu itu tidaklah mudah. Mengingat sudah lebih dari 1,5 tahun melakukan pembelajaran daring, hasilnya dapat dikatakan belum mencapai kategori efektif.

Tidak dimungkiri bahwa tidak sedikit tenaga didik mengakui bahwa sistem pembelajaran daring ini belum efektif. “Ya, kita harus sabar dan berusaha memberikan (pendidikan dan ilmu pengetahuan) yang terbaik untuk mereka (siswa). Kan, sistemnya beda, toh (pembelajaran daring dan tatap muka), ” ujar teman saya, seorang guru, pada suatu hari. Dari sini dapat kita pahami bahwa pendidik berusaha memberikan yang terbaik dalam pembelajaran daring ini.

Ya, memang kita tidak dapat menyamakan sistem pembelajaran tatap muka dan pembelajaran daring. Tentu ada penilaian plus-minusnya. Meski demikian, satu hal yang perlu kita sadari bahwa teknologi secanggih apa pun tidak akan secara maksimal menggantikan peran tenaga pendidik/guru dalam mengajarkan pengetahuan kepada para siswanya. Hal ini serupa dengan pernyataan Aulia Luqman Aziz, pakar pendidikan Universitas Brawijaya (UB), “Selamanya profesi guru tidak akan tergantikan oleh teknologi.”

Kita semua pasti memiliki harapan yang sama: semoga pandemi koronavirus ini segera berakhir. Dengan begitu, semoga secepatnya proses pembelajaran tatap muka dapat kembali normal dan efektif lagi. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari dampak pandemi ini, terutama dalam hal sistem pembelajaran.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image