Bayi Tabung Dalam Perspektif Bioetika dan Hukum Islam
Eduaksi | 2022-06-06 09:43:45Salah satu tujuan dari dilangsungkannya pernikahan adalah mendapatkan keturunan. Oleh karena itu, sebagian besar dari pasangan suami istri setelah menikah pasti menanti kehadiran sang buah hati. Anak merupakan salah satu sumber kebahagiaan dalam berkeluarga, sebagaimana do’a Nabi Ibrahim yang disebutkan dalam al-Qur’an surat Al-Furqan ayat 74 yang artinya:
“Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”
Oleh sebab itu, mempunyai keturunan yang sholih dan sholihah tentunya akan menjadi penyempurna kebahagiaan sebuah keluarga. Namun demikian, terkadang harapan untuk memiliki keturunan tidak serta mulus. Ada yang diberi anugerah oleh Allah SWT keturunan pada tahun pertama pernikahan, adapula yang diberi pada tahun ke 2, 3, 4 setelah pernikahan, bahkan ada pula yang setelah belasan tahun belum dikaruniai keturunan. Hal ini bisa disebabkan karena adanya kelainan pada suami atau istri, misalnya karena ada kelainan pada tuba falopi, sperma , endometriosis dsb.
Saat ini, para ilmuwan terus melakukan inovasi, mengembangkan ilmu dan teknologi guna memenuhi kebutuhan dan mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh manusia. Tak terkecuali ilmu dan teknologi di bidang kedokteran yang terus mengalami kemajuan pesat. Salah satu inovasi dari bidang ini adalah IVF (in-vitro fertilization) atau lebih dikenal dengan istilah bayi tabung. Program IVF ini diharapkan mampu membantu pasangan suami istri yang tidak bisa memiliki keturunan secara alami karena suatu kelaianan sehingga dapat memiliki keturunan.
Bayi tabung merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk mendapatkan keturunan bagi pasangan suami istri yang infertil. Menurut Bambang Wasito dan Taufiq Hidayat dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Dinas Kesehatan Surabaya (2005), IVF dilakukan dengan mengambil sel telur dari folikel matang yang ada di dalam rahim, kemudian mempertemukannya dengan sel sperma dengan media kultur diluar tubuh. Kemudian setelah terjadi pembuahan, dan sudah berkembang menjadi morula, barulah embrio dipindahkan ke dalam rahim.
Adanya program bayi tabung merupakan sebuah kemajuan yang bagus dalam dunia kedokteran untuk membantu pasangan suami istri yang memiliki permasalahan untuk mendapatkan keturunan. Akan tetapi, disisi lain juga menimbulkan permasalahan di bidang bioetika dan juga hukum, khususnya bagi umat islam. Persoalan muncul karena sebelumnya belum dikenal anak yang dihasilkan dari teknik bayi tabung, akan tetapi anak yang dihasilkan dari hubungan langsung antara pasangan suami dan istri.
Rajudin dan Ali Bazaid (2018) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa beberapa persoalan yang menimbulkan masalah etik dalam IVF adalah apabila praktisi bayi tabung berusaha agar angka keberhasilan meningkat, yang salah satu caranya adalah dengan mentransfer lebih dari satu embrio. Bila dua atau tiga embrio tersebut ternyata berhasil semua akan mengakibatkan kehamilan ganda, dimana biasanya bayi yang dilahirkan memiliki berat badan rendah atau lahir premature serta dapat meningkatkan resiko cacat bayi.
Selain itu, kadang pula tidak semua embrio ditransfer ke dalam rahim, sisanya dibekukan agar dapat digunakandilain hari. Lalu bagaimana jika suatu hari embrio tersebut mengalami kerusakan atau yang mempunyai embrio tersebut meninggal dunia, atau pindah ke suatu tempat yang tidak dapat diketahui alamatnya?. Oleh karena itu sebelum melakukan program bayi tabung, pasien harus benar-benar diberikan informed consent atau persetujuan medis yang etis, adekuat dan juga jujur.
Dalam kajiannya, Isnawan (2019) menyebutkan bahwa di Indonesia sendiri sudah ada undang-undang yang mengatur tentang program bayi tabung, yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan. Dalam undang-undang tersebut diatur bagaimana syarat dan prosedur bayi tabung yang harus terpenuhi sehingga bayi yang dibuat dalam program tersebut tidak melanggar etika yang ada di dalam masyarakat dan agama.
Sedangkan menurut hukum Islam, disebutkan dalam laman NU Online bahwa bayi tabung tidak bisa duhukumi dengan hukum tunggal, yaitu bisa mubah (boleh) dan bisa haram. Dalam Munas NU 1981, para peserta merinci hukum bayi tabung dengan tiga rincian kasus yang berbeda. Pertama, apabila sperma dan ovum bukan berasal dari pasangan suami istri yang sah, maka hukumnya haram. Kedua, apabila sperma dan ovum berasal dari pasangan istri yang sah, tetapi cara pengambilannya tidak sesuai dengan syara’ maka hukumnya haram. Ketiga, apabila sperma dan ovum berasal dari pasangan yang sah dan cara pengambilannya tidak melanggar syara’ maka hukumya boleh (mubah).
Dengan demikian dapat dismpulkan bahwa melakukan program IVF atau bayi tabung diperbolehkan dengan syarat ada persetujuan tindakan medis yang etis, adekuat dan jujur serta tidak melanggar syariat hukum islam. Dimana sperma dan ovum yang diambil harus dari pasangan suami istri yang sah dan dengan cara yang diperbolehkan oleh syara’.
Referensi:
https://islam.nu.or.id/bahtsul-masail/hukum-bayi-tabung-UotDz
Isnawan, Fuadi. 2019. Pelaksanaan Program Inesminasi Buatan Bayi Tabung Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia. Fikri: Jurnal Kajian Agama, Sosisal, dan Budaya. 3 (2) : 181-200.
Rajuddin & Bazaid, Ali. 2018. Etik, Hukum, dan Sosial Pada Penanganan Infertilitas.
Wasito, Bambang & Hidayat, Taufid. 2005. Apa dan Bagaimana Fertilisasi Dengan Bantuan. Jurnal Kedoteran Yarsi 13 (1) : 01-13.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.