Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Septiaji Gusti

Euthanasia dan Hukum di Indonesia

Edukasi | Monday, 12 Jun 2023, 21:56 WIB
Ignatius Ryan Tumiwa saat melakukan gugatannya ke MK. Foto: Dokumentasi MK

Pada tahun 2014, nama Ignatius Ryan Tumiwa menjadi buah bibir dikalangan praktisi hukum dikarenakan langkahnya yang mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk merevisi pasal 344 KUHP tentang tindakan eutanasia. Ryan mengaku bahwa permohonan gugatannya ke Mahkamah Konstitusi (MK) soal keinginannya untuk melakukan suntik mati (euthanasia) karena dilatarbelakangi oleh kesehatan mentalnya, terlebih lagi semenjak ayahnya wafat pada tahun 2012.

Awalnya, ide suntik mati tidak terlintas dipikirannya, ryan hanya ingin bertanya kepada Komnas HAM terkait dengan Pasal 34 UUD 1945 tentang fakir miskin dan anak terlantar dipelihara negara. Namun, jawaban dari Komnas HAM tidak menganggap fakir miskin bukan seseorang seperti Ryan. Sehingga dalam benaknya muncul ide untuk menyuntik mati dirinya sendiri ke Departemen Kesehatan,tetapi Departemen Kesehatan menolak karena tidak adanya hukum yang berlaku di Indonesia terkait euthanasia. Akhirnya, Ryan mengajukan permohonan uji materiil Pasal 344 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).

Apa itu Euthanasia ?

Mungkin bagi beberapa orang, Euthanasia merupakan hal yang asing atau awam ditelinga kita sebagai warga negara Indonesia. Euthanasia sendiri berasal dari Bahasa Yunani, yaitu “Eu” dan “Thanatos". Eu berarti baik dan Thanatos berarti mati, sehingga dapat diartikan sebagai “kematian yang senang dan wajar”. Menurut John Suryadi arti bahasa euthanasia merupakan obat untuk mati dengan tenang. Sedangkan menurut KNMG Holland, euthanasia merupakan tindakan yang dengan sengaja untuk tidak melakukan sesuatu yang bertujuan memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien dan dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri.

Euthanasia sendiri dibagi menjadi lima kelompok yaitu :

 

  1. Euthanasia pasif, yaitu mempercepat kematian dengan cara menghentikan pertolongan biasa yang sedang berlangsung pada pasien.
  2. Euthanasia aktif, yaitu dengan mengambil tindakan yang secara aktif atau langsung yang mengakibatkan kematian pasien.
  3. Euthanasia sukarela, yaitu untuk mempercepat kematian atas tindakan yang dilakukan dengan persetujuan atau permintaan dari pasien.
  4. Euthanasia tidak sukarela, yaitu mempercepat kematian sesuai keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga, atau atas keputusan pemerintah
  5. Euthanasia involunter, yaitu mempercepat kematian yang dilakukan permintaan dari pasien namun tidak ingin melakukannya.

Bagaimana hukum yang mengatur euthanasia di Indonesia?

Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, memang belum ada peraturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus mengenai euthanasia. Namun, jika merujuk pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada pasal khusus tentang euthanasia, tetapi terdapat pasal-pasal yang terkait dengan Euthanasia aktif atau sukarela.

Rujukan tersebut terdapat pada Pasal 344 KUHP yang menyatakan bahwa “Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang disebutkannya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun”. Isi pasal tersebut mengungkapkan bahwa euthanasia aktif dan sukarela secara tidak langsung diatur dalam KUHP. Namun pada kenyataannya di Indoensia terkait Pasal 344 KUHP bahwa euthanasia diperlakukan sebagai tindak pidana sulit, sebab eutanasia yang sering terjadi di Indonesia merupakan euthanasia pasif, sedangkan dalam isi Pasal 344 KUHP hanya menyebutkan pelarangan euthanasia aktif dan sukarela.

Padahal, tindakan euthanasia pasif bukanlah perbuatan etik berdasarkan Pasal 11 Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) yang menyatakan “Setiap dokter wajib senantiasa mengingat kewajiban dirinya dalam melindungi hidup makhluk insani”. Terlebih lagi apabila mencermati lebih dalam ruang lingkup Pasal 11 (2) bahwa “Seorang dokter dilarang terlibat atau melibatkan diri ke dalam abortus, euthanasia, maupun hukuman mati yang tidak dapat dipertanggung jawabkan moralitasnya.”, dan Pasal 11 (4) bahwa “Seorang dokter harus mengerahkan segala kemampuannya untuk meringankan penderitaan dan memelihara hidup akan tetapi tidak untuk mengakhirinya”.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image