Efektivitas PJJ Berbasis Radio: Inovasi Guru dari Desa
Guru Menulis | 2021-10-10 09:08:03PJJ sebagai akronim dari Pembelajaran Jarak Jauh, sedang dan telah diuji efektivitasnya di dunia pendidikan Indonesia. Berbagai formulasi dan strategi telah diupayakan berbagai pihak demi PJJ yang efektif. Dalam artian, meski terdapat bentangan jarak antara guru dan peserta didik, namun proses pembelajaran yang seideal mungkin, tetap dapat terselenggara dan tercapai tujuan-tujuannya.
Bagi sekolah yang terletak di daerah kota, tantangan PJJ bisa jadi lebih mudah ketimbang sekolah yang berada di pinggiran. Layanan internet dan beragam gawai canggih, sudah jadi keniscayaan. Berbeda dengan kondisi daerah pinggiran yang untuk bisa melakukan panggilan telefon saja, harus mencari-cari terlbih dahulu sinyal yang lumayan. Apalagi jika yang dibutuhkan adalah layanan internet super cepat dan gawai canggih untuk mengakses aplikasi e-learning, seperti Zoom, Google Classroom, YouTube, maupun social media lainnya seperti Whatsapp.
Guru-guru di sekolah yang berada di daerah pinggiran dengan kondisi yang sangat terbatas dalam mengakses internet, jelas wajib memutar otak dan memaksa daya kreativitas serta membuka inovasi-inovasi supaya pendidikan tidak terhenti. Sebenarnya, Kemendikbud telah mencoba terobosan lewat tayangan televisi, sebagai antisipasi atas kasus tersebut. Yakni, berupa tayangan pembelajaran melalui TVRI.
Namun, upaya sungguh-sungguh dari Kemendikbud melalui televisi, bukan tanpa kekurangan. Sebab, terciptanya komunikasi dan interaksi yang baik serta efektif antara guru dan peserta didik dalam proses pendidikan merupakan jaminan terlaksananya program pendidikan secara baik (Rooijakkers, 1991:114). Efek lebih jauh dari komunikasi dan interaksi itu adalah terciptanya perubahan, baik dari sisi pengetahuan, pemahaman, keterampilan, serta sikap peserta didik (Winkel 1991: 200). Sedangkan melalui program belajar yang ditayangkan televisi, unsur komunikasi timbal balik, bahkan secara minimal saja, teramat sulit tercipta.
Radio, akhirnya menjadi opsi yang paling masuk akal dan menarik. Minimal menjadi pelengkap bagi modul-modul PJJ yang sempat menjadi opsi utama bagi sekolah di daerah pinggiran. Mengapa radio? Sebab pertama, jika dilihat dari biaya yang dibutuhkan untuk membuat radio yang bisa mengakses satu desa atau kelurahan, biayanya akan begitu terjangkau oleh sekolah. Apalagi jika stasiun radio yang digunakan adalah stasiun radio yang sudah ada di kota atau daerah terdekat yang terjangkau oleh sekolah, maka jelas biayanya akan jauh lebih murah.
Kedua, pembelajaran lewat radio tidak membutuhkan kuota atau gawai canggih atau mencari sinyal yang kuat. Sementara di saat yang sama, bagi orang-orang yang meski tinggal di daerah pinggiran, radio bukan barang langka yang sulit dan mahal didapatkan. Radio adalah teknologi hiburan paling umum di masyarakat yang berada di daerah pinggiran.
Ketiga, komunikasi yang tercipta lewat radio bisa terjalin sedikit lebih maju ketimbang lewat televisi. Pihak guru secara langsung dapat menyampaikan pelajaran. Sedangkan peserta didik mampu menjalin komunikasiâbaik pertanyaan atau diskusiâmelalui saluran SMS atau telefon biasa. Selain tentu saja, para peserta didik bisa sekaligus dilatih public speaking dengan secara teratur dan terbatas diberi jadwal menemani guru di dalam studio.
Keempat, penyebaran covid akan tetap dapat terjaga meski ada proses guru dan murid pergi ke studio, mengingat operasional radio bisa dilakukan hanya oleh dua-tiga orang saja. Seorang menjadi operator, dan dua lainnya pengisi siaran.
Kelima, radio mampu menjadi salah satu hiburan dan sarana saling menguatkan motivasi juang dalam menghadapi pandemi. Ketika radio berjalan dan kemudian secara perlahan diketahui juga oleh masyarakat luas, saat itu peran sekolah dalam menyebarkan berbagai informasi penting dan pendidikan secara lebih luas, mendapatkan momentumnya.
Semua penjelasan itu bukanlah teori atau prediksi. Namun semua itu adalah pengalaman yang terdapat di daerah Garut, Jawa Barat. Beberapa sekolah, termasuk sekolah tempat penulis mengajar, menggunakan radio sebagai sarana PJJ. Beruntung waktu itu, pihak pemerintahan kabupaten juga sangat mendukungnya dan menganjurkan hal serupa pada sekolah-sekolah yang berada di pinggiran.
Menurut penulis, persepsi pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang selalu mengarah pada dunia internet, tidak selalu relevan. Ada masanya di mana radio menjadi lebih masuk akal dan efektif. Sebab di bumi Indonesia ini, mau tidak mau kita harus mengakui bahwa masih terdapat jurang ketimpangan yang luas soal infrastruktur dan fasilitas pendidikan. Walakin, bukan berarti masalah bersama tersebut jadi batu sandungan yang benar-benar menghambat laju proses pendidikan para generasi penerus bangsa.
Sebagaimana saat perang dunia melanda, para ilmuan terpaksa menemukan berbagai terobosan teknologi yang sangat berguna dalam situasi perang. Saat pandemi melanda, seorang guru juga âdipaksaâ untuk terus membuka terobosan inovasi dan kreatifitas demi menjawab tantangan zaman. Sebagaimana dalam perang, tidak ada ruang untuk kemalasan dan kejumudan, begitu pula pada saat pandemi. Semoga, pascapandemi ini, dunia pendidikan Indonesia diwarnai oleh berbagai terobosan dan ide-ide cemerlang dari berbagai pihak, buah dari tantangan pandemi.
Referensi
Rooijakkers. 1991. Mengajar Dengan Sukses. Jakarta: PT. Grafindo.
Winkel. 1991. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT. Grafindo.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.