Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Pradistya Astri

Malpraktek Etik Semakin Sering Terjadi di Era Teknologi

Eduaksi | Saturday, 04 Jun 2022, 07:45 WIB
Ilustrasi malpraktek dokter yang berhubungan dengan hukum. Source : docquity.com

Kehidupan manusia kini semakin dipermudah dengan keberadaan alat elektronik seperti hp, tablet, dan laptop. Selain itu, arus informasi pun tak kalah mudah untuk tersebar hanya dalam hitungan detik melalui bantuan teknologi dan internet yang sekarang marak digunakan oleh kebanyakan masyarakat tanpa memandang usia. Kemajuan zaman yang tidak dapat dielakkan ini tentunya mengubah kebiasaan masyarakat dari kegiatan yang dilaksanakan secara langsung atau tatap muka banyak tergeserkan dengan transaksi atau komunikasi jarak jauh yang disambungkan oleh internet. Dari Kominfo (2022) disebutkan bahwa pengguna internet di dunia telah mencapai angka 4.9 Miliar yang termasuk 204 Juta pengguna internet dari Indonesia di dalamnya.

Survei “Status Literasi Digital di Indonesia 2021” yang dilakukan oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyaring 10 ribu jawaban dari responden yang tersebar dalam 34 provinsi di Indonesia. Hasil survei menyatakan bahwa penggunaan tertinggi internet dilakukan untuk berkomunikasi via pesan singkat sebesar 91,2% dan aktivitas tertinggi kedua berupa penggunaan media sosial sebesar 67,6% kemudian diikuti oleh browsing di internet sebesar 59,7% sebagai aktivitas tertinggi ketiga. Di sini, saya akan menggarisbawahi tingkat penggunaan sosial media yang tinggi sebagai media penyebaran informasi yang masif. Kebebasan dalam menyebarkan informasi di platform media sosial membawa masyarakat menuju dua kemungkinan, yaitu memperoleh manfaat darinya atau bisa sebaliknya malah termakan informasi yang buruk seperti berita hoax, pornografi, konten pelecehan seksual, dan hal negatif yang semacamnya.

Meski kita sudah melakukan filter pada konten apa yang kita minati untuk dilihat salah satunya melalui media sosial, terkadang konten yang kita terima ada saja yang masih tidak sesuai. Ketidaksesuaian disini saya artikan salah satunya sebagai konten yang mengarah kepada perilaku pelecehan seksual atau bahkan merendahkan orang lain. Salah satu contoh konten tidak senonoh yang pernah saya lihat yaitu melalui platform TikTok berupa video berdurasi 15 detik mengenai seorang tenaga medis (mahasiswa keperawatan salah satu perguruan tinggi di Indonesia) yang secara implisit mengungkapkan kata-kata yang dapat dikategorikan sebagai tindakan pelecehan seksual terhadap pasien. Di video tersebut, ia menyebutkan aktivitasnya memasangkan kateter terhadap seorang pasien laki-laki yang disebut olehnya “cakep dan seumuran”.

Ketika pertama kali saya melihat video tersebut, saya merasa ada yang salah dengan konten seperti itu karena kesannya sangat tidak sopan/etis meski identitas pasien tidak disebutkan. Selain itu, konten itu juga dapat menyebabkan penonton video tersebut membayangkan hal yang tidak senonoh dari aktivitas mahasiswi itu. Saya semakin kaget terlebih ketika membuka kolom komentar yang penuh dengan komen yang tidak layak untuk dilontarkan. Jarang sekali ketika saya scroll kolom komentar video tersebut melihat ada satu atau dua orang yang menegur sikap sang mahasiswi ini, terlebih dengan komen yang disematkan paling atas ditulis oleh pembuat konten (mahasiswi) itu tidak merasa ada yang salah dengan kontennya karena hal tersebut adalah sesuatu yang biasa dirasakan. Tak lama setelah saya menutup aplikasi TikTok, ternyata kasus tersebut telah diangkat dan diviralkan di laman twitter sebagai tindakan yang melanggar etika kesehatan.

Kasus kedua yang pernah viral beberapa waktu lalu yang juga merupakan video TikTok tenaga medis melakukan malpraktek etik oleh dokter berinisial KS. Pada video tersebut, sang dokter menceritakan pengalamannya saat menangani kondisi harus melakukan pengecekan terhadap pembukaan pasien. Di dalam video, dokter menyatakan ekspresi ‘mesum’ yang tentunya tidak etis, terlebih pengecekan pembukaan pasien adalah salah satu pemeriksaan yang ada hubungannya dengan alat kelamin pasien yang tentunya dalam kasus ini berjenis kelamin wanita.

Dua kasus di atas adalah contoh dari kejadian malpraktek etik yang pernah viral di sekitar kita dimana pelaku telah ditindak lanjuti atas pelanggaran tersebut. Saya yakini bahwa pasti masih banyak lagi di antara tenaga medis atau kesehatan yang menunjukkan sikap tidak beretika yang tidak terangkat sebagai kasus hangat. Kejadian seperti itu sangat disayangkan, padahal etika merupakan salah satu hal krusial yang perlu dipegang teguh terlebih bagi tenaga medis atau kesehatan. Tindakan melawan etika dasar kesehatan tersebut dapat disebut sebagai malpraktek etik yang tentunya berlaku bagi tenaga kesehatan. Berdasarkan UU No. 36 Tahun 2014, tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan.

Ilustrasi tenaga kesehatan. Source : dreamstime.com

Sebelum kita menggali lebih dalam mengenai penyelewengan etika, kita harus memahami apa itu malpraktek terlebih dahulu. Malpraktek secara sederhana diartikan sebagai tindakan kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam menjalani profesinya yang tidak sesuai dengan standar profesi. Malpraktek dalam dunia medis sendiri dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu malpraktek etik yang berhubungan dengan etika dan malpraktek yuridis yang berhubungan dengan hukum formil seperti malpraktek pidana, perdata, atau administratif. Di sini saya menitikberatkan pembahasan mengenai etika yang dalam dunia kesehatan diatur dalam kode etik dalam bentuk yang bermacam-macam sesuai dengan jenis profesi tenaga kesehatan. Terdapat beberapa prinsip dasar yang dijunjung tinggi dalam etika kesehatan yaitu beneficience (berbuat baik), non-maleficience (tidak merugikan), justice (keadilan), confidentiality (kerahasiaan), fidelity (menepati janji), dan lainnya.

Ilustrasi malpraktek medis. Source : asianpost.id

Pada kedua kasus yang telah saya sebutkan sebelumnya memang faktanya pelaku tidak menyebutkan identitas dari pasien sama sekali, namun alasan tersebut sering dijadikan dalih bagi tenaga kesehatan untuk menyebarkan informasi tindakan (seperti pemasangan kateter atau mengecek pembukaan) yang dilakukan pada pasiennya yang termasuk melanggar prinsip confidentiality atau kerahasiaan. Menurut saya, kemajuan teknologi ternyata memberi dampak juga terhadap tingkat kepedulian dari pribadi tenaga kesehatan karena menggampangkan tindakan yang sudah jelas salah. Sebagai calon pihak yang akan memberikan pelayanan kesehatan atau medis kepada masyarakat luas seharusnya sudah lebih paham mengenai hal dasar seperti etika, apalagi pendidikan kesehatan itu sendiri telah ditempuh selama bertahun-tahun. Maka dari itu, tindakan malpraktek etik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan tidak bisa semudah itu dibenarkan dengan dalih benar/salahnya tindakan tersebut menurut pandangan masyarakat awam yang pastinya tidak pernah melalui ajaran di perguruan tinggi mengenai etika kesehatan sebagaimana tenaga kesehatan.

Dari kasus malpraktek etik yang dilakukan oleh dokter berinisial KS tersebut, Majelis Kerhormatan Etik Kedokteran (MKEK) mengeluarkan surat keterangan (SK) pada 30 April 2021 mengenai “13 Poin Etika Bermedsos bagi Dokter” yang menurut saya dapat diterapkan pula untuk tenaga kesehatan lainnya, tidak terbatas pada dokter saja. Bagi calon tenaga kesehatan di luar sana, bijaklah dalam menggunakan sosial media dan juga informasi yang berhubungan dengan medis yang tentunya tidak boleh asal-asalan disajikan ke masyarakat umum begitu saja.


Penulis,

Pradistya Astri Pryandhini

Prodi Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image