Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ade Sudaryat

Jahe Selain Minuman Ahli Sorga, Secara Akronim “Jahe” Merupakan Kunci Masuk Sorga

Agama | Tuesday, 31 May 2022, 06:41 WIB

Selain merupakan rempah-rempah, sejak dahulu jahe sudah diakui khasiatnya sebagai bahan obat-obatan. Jahe sendiri sudah ada sejak jaman Rosulullah saw.

Abu Sa’id al Hudri r.a., salah seorang sahabat Nabi saw mengatakan, “Suatu ketika, Rasulullah saw menerima kiriman sekarung jahe dari Raja Rumawi. Kemudian ia membagikannya kepada para sahabat”(Abdul Basith Muhammad, At-Taghdziyah an Nabawiyah, hal. 174; Ibnu Qayyim Jauziyah, Ath-Thibbun an Nabawi, hal. 264)

Dalam al-Qur’an disebutkan, jahe merupakan bahan minuman ahli sorga. “Di sana (di sorga) mereka diberi segelas minuman bercampur jahe” (Q. S. Al-Insan : 17).

Ibnu Abbas r.a. berpendapat, jahe yang diberikan kelak di sorga berbeda dengan jahe yang ada di dunia pada saat ini. Namanya serupa, tapi tak sama. Minuman jahe yang diberikan di sorga merupakan gambaran kesegaran minuman yang ada di sorga seperti segarnya kita menghirup aroma wangi jahe di dunia sekarang ini (Muhammad Ali Ash Shabuni, Shafwat at Tafasir, Juz III, hal. 494).

Secara akronim, jahe juga merupakan kunci masuk sorga. Jahe bisa merupakan kependekan dari jujur, amanah, hauf, dan empati.

Pertama, jujur. Orang yang jujur adalah orang yang selamanya merasa diawasi Allah. Kemana pun ia melangkah, Allah terasa dekat, malahan lebih dekat daripada urat lehernya.

“Sungguh, Kami benar-benar telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan dirinya. Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (Q. S. Al-Insan : 16).

Ibnu Qayyim Al Jauziyah membagi jujur menjadi tiga macam, yakni jujur dalam ucapan, jujur dalam perbuatan, dan jujur dalam bertingkah laku. Seseorang yang jujur dalam ucapannya, ia pantang berbohong atau menyembunyikan kebenaran.

Sementara jujur dalam perbuatan merupakan pengejawantahan dari jujur dalam ucapan. Sesuatu kebaikan yang diucapkan dan yang terbesit di hati sesuai dengan apa yang dilakukan. Ia pantang berpura-pura dalam melakukan suatu kebaikan.

Jujur dalam ucapan dan perbuatan melahirkan kejujuran dalam bertingkah laku, ia selalu merasa diawasi Allah dimanapun ia berada. Ia selalu mengupayakan diri selalu ikhlas dalam beramal dan berakhlak mulia dalam keadaan bagaimanapun juga (Shalih bin Abdullah Muhammad, Mausu’ah Nadhratun Na’im fi Aklaqi Rasulil Karim, Juz IV, hal. 2475)

Kejujuran itu menuntun kepada jalan kebaikan yang akan mengantarkan seseorang yang melakukannya menjadi penghuni sorga. Sebaliknya, kebohongan menuntun pelakunya kepada kedurhakaan yang akan menjerumuskan pelakunya ke dalam api neraka.

Kedua, amanah. Singkatnya amanah itu dapat dipercaya. Sifat ini merupakan bagian dari sifat yang dimiliki para nabi. Orang yang amanah pantang berkhianat. Ketika diberi amanat, baik berupa jabatan, harta, maupun amanat dalam bentuk lainnya, ia akan menjaga dan melaksanakannya sesuai aturan Allah dan Rasul-Nya.

Dalam peperangan Khaibar, seorang sahabat berteriak sambil berlari-lari, “Si fulan mati syahid .si fulan mati syahid .”

Sahabat tersebut terus berlari-lari sampai tiba di hadapan Rasulullah saw. Mendengar teriakan sahabat tersebut Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah ia tidak mati syahid, sebaliknya ia akan menjadi penghuni neraka.”

“Ya Rasulallah dia meninggal di medan laga, tubuhnya penuh luka, berlumuran darah.” Kata sahabat tersebut seakan-akan protes terhadap sabda Rasulullah saw.

“Benar demikian. Tapi dia tidak amanah. Ia menyembunyikan sebagian ghanimah (harta rampasan perang) yang seharusnya menjadi milik umat.” Demikian sabda Rasulullah saw.

Penasaran dengan sabda Rasulullah saw tersebut, para sahabat memeriksa ransel orang yang disangka mati syahid tersebut. Benar sekali dari ranselnya ditemukan permata orang Yahudi. Ia telah melakukan korupsi, menyembunyikan permata yang seharusnya menjadi ghanimah meskipun harganya tak mencapai dua dirham (Yusuf Qaradhawi, Fi Fiqhil Auliyat, Dirasat Jadiidah fi Dhauil Qur’ani was Sunnah, hal. 167)

Dari kisah ini kita bisa menarik pelajaran, tidak amanah atau khianat membatalkan amal baik. Lebih jauh lagi, tidak amanah berarti menggugurkan nilai keimanan. Gugurnya keimanan akan mengantarkan seseorang menjadi penghuni neraka.

Ketiga, hauf artinya merasa takut kepada Allah. Salah satu rasa takut kepada Allah adalah takut segala amal ibadahnya ditolak Allah swt. Orang yang merasa takut kepada Allah akan selalu berhati-hati dalam menjalani kehidupan.

Berkenaan dengan rasa takut ini, ketika turun surat Al-Mu’minun : 60, “dan orang-orang yang melakukan (kebaikan) yang telah mereka kerjakan dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya,” Siti Aisyah r.a. bertanya,

“Ya Rasulallah, apakah ayat tersebut berkenaan dengan orang-orang durhaka yang melakukan zina, meminum arak, dan melakukan pencurian?”

“Rasulullah saw menjawab, bukan tentang orang-orang tersebut. Tapi ayat tersebut berkenaan dengan orang-orang yang melaksanakan ibadah shalat, ibadah puasa, dan mengeluarkan sedekah seraya hatinya diliputi rasa takut Allah tak menerima segala amal-ibadahnya ” (Ibnu Qayyim al Jauziyah, Madarijus Salikin fi Manzili Iyyaka Na’budu wa Iyyaka Nasta’in, Juz I, hal. 584)

Keempat, empati artinya merasakan dirinya dan sesama orang beriman laksana anggota tubuh yang utuh. Saling dapat merasakan apapun yang menimpa anggota tubuh. Ketika ada suatu bagian anggota tubuh yang sakit, anggota tubuh lain merasakannya.

Demikian pula dalam kehidupan, seorang mukmin yang baik akan bersikap empati terhadap orang lain. Ia akan ikut merasakan kebahagiaan ketika orang lain mendapatkan keberutungan. Ia pun ikut merasakan penderitaan dan kesedihan manakala orang lain mendapatkan musibah.

Kita harus bersikap waspada terhadap kondisi hati kita yang merasa sedih ketika orang lain mendapat kebahagiaan, dan merasa senang, bahagia ketika orang lain mendapatkan penderitaan. Hal ini selain menunjukkan hati kita tengah sakit, juga menunjukkan rendahnya kadar keimanan kita. Sudah seharusnya kita tidak menganggap enteng terhadap rendahnya kualitas keimanan.

Semoga kelak kita dapat merasakan minuman bercampur jahe di sorga yang segalanya berbeda dengan jahe yang ada di dunia ini. Untuk meraihnya, kita harus bersikap “jahe” alias jujur, amanah, hauf , dan empati dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

ilustrasi : jahe (sumber gambar : republika.co.id)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image