Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Hamdani

Kedapatan Menjual Miras, Non-Muslim di Aceh Dihukum Cambuk

Info Terkini | Wednesday, 06 Oct 2021, 08:21 WIB
Republika/Wilda Fizriyani

Banda Aceh - Hukum dibuat untuk melindungi semua hak-hak masyarakat. Itulah tujuan keadilan terbentuknya sebuah aturan.
Penerapan hukum Syariat Islam di Aceh tak jadi masalah bagi penganut agama lain selain Islam. Beberapa penganut agama lain justru dengan suka rela dan tanpa paksaan memilih diterapkan hukum syariah atas diri mereka demi mempercepat urusan peradilan.
Pembina umat Katolik Aceh, Baron Ferison Pandiangan mengatakan, beberapa waktu lalu ada penganut Katolik di Banda Aceh yang ditangkap polisi karena melakukan pelanggaran yaitu perdagangan minum keras.
“Setelah saya beri pemahaman, lalu yang bersangkutan memilih diterapkan pasal yang ada qanun jinayah atas dirinya. Yang bersangkutan menginginkan keluar dari penjara secepatnya agar dapat kembali mencari nafkah untuk mengepulkan asap dapur bagi anak isterinya,” ujar Baron, dikutip Kantor Berita RMOLAceh, Selasa (5/10).
Hal itu dikatakan Baron saat bertemu dengan Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Safaruddin; Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Aceh, Profesor Hamid Sarong; juga dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry, Hasan Basri M. Nur pada Senin kemarin (4/10).
Baron menyampaikan, setelah dihukum 36 kali cambukan dan dipotong masa tahanan, yang bersangkutan langsung dibebaskan sehingga dapat kembali berkumpul dengan keluarga.
“Jadi dalam kasus ini tidak ada paksaan. Dia memilih sendiri untuk diterapkan hukum syariah atas kesalahan yang telah diperbuatnya,” ujarnya.
Dalam kesempatan itu, Safaruddin dan Hamid Sarong meminta penduduk Aceh yang bukan beragama Islam dan bukan dari suku Aceh untuk dapat terus menghormati keistimewaan Aceh yang diatur dalam UU Nomor 44 Tahun 1999 serta kekhususan Aceh yang diartur dalam UU Nomor 11 Tahun 2006.
“Ada dua status yang dimiliki Aceh yang membedakannya dari semua provinsi lain di Indonesia. Pertama dalam UU nomor 44 Tahun 1999 diatur tentang keistimewaan Aceh. Kedua dalam UU Nomor 11 Tahun 2006 diatur tentang kekhususan Aceh,” ujar Safaruddin.
Safar menjelaskan, adapun keistimewaan Aceh terdapat dalam empat aspek utama. Yaitu dalam bidang agama (syariah), pendidikan, adat-istiadat, dan kepemimpinan ulama.
“Hanya saja keistimewaan dalam aspek pendidikan Aceh masih sangat gelap gulita. Mutu pendidikan Aceh tahun 2021 versi Perguruan Tinggi berada di ranking 25, terendah di Pulau Sumatera dan rangkingnya jauh di bawah Papua Barat,” jelas Safaruddin.
Safar menambahkan, dana Otonomi Khusus (Otsus) untuk sektor pendidikan sangat besar dan terbesar di Pulau Sumatera. Safar menyakini, ada kesalahan fatal dalam pengelolaan dana pada Dinas Pendidikan Aceh.
"Mungkin pihak terkait perlu mengusut masalah ini sehingga mutu pendidikan Aceh tak lagi terpuruk,” ujarnya. (*)

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image