Ideologi Pesantren, Refleksi Historis Kultural dan Kontekstualisasi Zaman
Eduaksi | 2022-05-30 10:43:23Secara historis kita hampir sudah masyhur tentang apa itu pesantren, santri dan pola pendidikan islam yang oleh kebanyakan ahli dikatakan sebagai The Great traditional education. Hal ini juga pernah disampaikan oleh Gus Dur dan Zamakhsyari Dhofier, lebih-lebih Dalam Raharjo dan Greets.
Nusantara menjadi tema homogenitas pendidikan islam yang memberi kontribusi tidak hanya dalam aspek pengetahuan tetapi juga peradaban dan perubahan sosial.
Dalam sejarah Islam di Pulau Jawa, dikatakan bahwa islam masuk seperti kembang yang menyemerbakkan wewangian, sehingga dapat diterima oleh semua kalangan.
Terlebih, apa yang dikatakan oleh Kyai Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo yang mana Para Wali, menyebarkan Islam menggunakan pendekatan kultural, sehingga dapat diterima dengan baik oleh masyarakat saat itu.
Oleh sebab itu, tidak heran jika pewayangan, tari, musik gamelan dan arsitektur menjadi ruang dakwah yang luar biasa bagi islam di Nusantara. Tradisi pesantren menyebutkan bahwa dalam pendidikan pesantren tidak hanya bermuara pada pengetahuan islam dalam konteks agama semata, melainkan sosial budaya dan kerangka kehidupan yang multikultur dan multi zaman kedepannya.
Hal ini tentu menjadi sebuah ideologi pendidikan islam yang meleburkan semua bentuk fundamental arah pendidikan itu sendiri.
Kita tentu kenal dengan model humanisme, pluralisme, konstruktivisme, positivisme dan lain sebagainya. Kesemua itu kemudian larut dalam model pendidikan pesantren. Jika sekarang muncul pendidikan formal semacam sekolahan atau perguruan tinggi di pesantren, itu menjadi respon sosial modern. Karena memang untuk masa saat ini, tidak bisa dilepaskan dan dihindari.
Artinya model pendidikan di dalam pesantren meramu kondisi kultural atau dengan pendekatan pendidikan yang ada dalam ruang-ruang sosial pendidikan itu sendiri. Alih-alih ingin menentukan ideologi secara murni, pesantren pada dasarnya sudah membentuk karakter tersebut. Karakter pendidikan yang multikultur dan multisitus.
Dengan kata lain, pendidikan pesantren tidak hanya memberlakukan ajaran Islam sebagai hukum semata, atau tasawuf sebagai pendidikan kehidupan, tetapi pesantren juga mengajarkan bisnis online, metaverse, dan lain sebagainya.
Pesantren bisa menampung semua itu, karena pesantren ibarat kata adalah pendidikan yang mashalih likulli zaman wa makan. Pendidikan yang bisa menampung segala perkembangan dan kemajuan. Keuntungannya adalah, dalam pesantren masih diberi pemahaman tentang bahwa segala sesuatu memiliki sandaran, memiliki sanad dan memiliki etika moralnya.
Ibarat filsafat, pendidikan pesantren memberikan sistem epistimologisnya untuk mencari dan menggali sebuah pengetahuan, lalu ontologisnya meramu hakikat sebuah pengetahuan dasar dan aksiologisnya adalah pertimbangan etis sebuah pengetahuan. Dengan kata lain, pendidikan pesantren memberikan ruang yang sangat luas dalam aspek berpikir dan bernalar.
Oleh sebab itu, ketika munculnya islam di tanah Nusantara tidak kemudian dianggap hal yang nyleneh dan ditolak begitu saja, tetapi pendekatan yang dilakukan oleh para pendahulu memeberikan aspek kepercayaan bahwa pendidikan islam dengan model pesantren, surau, Thawalib, dan lain sebagainya adalah ruang pendidikan islam secara luas. Tidak hanya dalam aspek pendidikan atau ajarannya saja, melainkan dalam aspek sosialnya juga.
Jhon Dewey dalam Muthohar (2007) menegaskan bahwa hakikat pendidikan meliputi seluruh aspe kehidupan. Di samping itu attarbiyah wa ta’limiyah adalah pola pendidikan dengan pendekatan pendampingan dan pengajaran. Islam menegaskan hal ini dengan ragam peta pendidikan yang sudah digambarkan sejak Nabi Adam sampai masa tabi’in attabi’in yang dibuktikan dengan kentalnya akulturasi budaya, sosial dan sanad atau kesinambungan guru yang kuat.
Artinya, kesadaran akan hakikat pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas sosial adalah fitrah kehidupan manusia. Bahwa manusia akan bergantung kepada Tuhan adalah persoalan keimanan, sedangkan saling bergantung kepada sesama adalah persoalan humanism. Puncaknya adalah “memanusiakan manusia” seperti yang dikatakan oleh Paulo Freire.
Pendidikan islam di pesantren adalah pola dari rangkaian rekaman pengetahuan yang selalu dinamis. Sehingga titik temunya adalah idiologi pendidikan pesantren yang bermuara pada pengembangan kualitas diri manusia baik secara moral sosial (adab), moral relgius atau syariat (fiqhiyah), moral intelektual (tafsir, ushul, mantiq dan filsafat) lalu, moral spiritualitas (tasawuf).
Kesemua itu bermuara pada subjek sekaligus objek pendidikan itu sendiri, yaitu manusia. Santri adalah peran subjek sekaligus subjek dalam ruang pendidikan pesantren yang berhak atas semua moral di atas. Pilihannya adalah menyadari atau tidak akar pendidikan islam itu sendiri, bahwa akar pendidikannya adalah sosio-kultur, yang kemudian berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi dan informasi.
Jika hari ini muncul ragam pengembangan dalam dunia pendidikan secara umum, maka pesantren juga turut membersamainya tanpa meninggalkan idiologi fitrahnya yaitu membangun manusia supaya memiliki kualitas personal yang selalu meningkat tarafnya. Hal ini adalah pola utama ta’limiyah dengan pendekatan evaluatif yang kita semua tahu; hassibu qabla an tuhasabu.
Pendek kata, idiologi pendidikan pesantren adalah idiologi moral, baik moral sosial maupun moral intelektual – spiritual. Ibarat kata, adab lebih tinggi dari pengetahuan, untuk menjadi beradab juga pasti dibutuhkan pengetahuan. Sehingga keduanya adalah seperti dua sisi mata uang yang saling berkaitan.[]
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.