PTM, Antara Harapan dan Kenyataan
Guru Menulis | 2021-10-03 13:18:08Pembelajaran Tatap Muka (PTM) sudah dimulai di beberapa tempat semenjak adanya pandemi, meskipun masih harus menggunakan sistem ganjil genap. Bagi sebagian orang tua, dengan adanya PTM ini sangat melegakan karena anak-anaknya kembali belajar dengan bimbingan guru seperti dulu.
Pembelajaran selama masa pandemi yang dilakukan secara daring sangat merepotkan orangtua yang sebagian besar sudah 'buta' dengan pelajaran anak jaman sekarang. Kemampuan untuk memahami, menganalisa soal yang diberikan guru kepada anaknya sudah tidak bisa diikuti. Akibatnya sering terjadi perselisihan antara anak dan orangtua karena adanya ketidaksinambungan dalam proses belajar mengajar di rumah.
Anak tidak bisa mengerjakan tugas berharap dapat bantuan dari orangtua. Namun banyak orangtua yang kemampuannya kurang terutama bagi sebagian penduduk daerah pinggiran yang rata-rata cuma lulusan sekolah dasar. Anak yang berusaha mencari jawaban melalui aplikasi internet juga masih banyak mengalami kendala terutama masalah signal. Dengan diberlakukannya PTM diharapkan kemampuan anak dalam menerima materi pelajaran akan kembali bertambah sehingga tidak ada istilah 'sekolah tapi tidak tahu apa-apa'.
Selama pembelajaran daring, realitanya untuk anak yang sekolah di SMK memang banyak sekali materi praktek yang tidak bisa diberikan. Sungguh hal yang ironis. Orangtua dulu memasukkan anak-anaknya ke sekolah kejuruan dengan harapan setelah lulus bisa langsung bekerja. Namun dengan adanya pandemi, proses belajar mengajar yang sebagian besar praktek di SMK tidak bisa dilaksanakan karena anak harus menggunakan sistem daring. Akibatnya sudah bisa dibayangkan, kemampuan anak tentang hal-hal yang seharusnya dilaksanakan melalui praktek langsung, tidak bisa diharapkan.
Setahap demi setahap geliat PTM harus bisa dijalankan. Resiko ditekan seminimal mungkin. Dukungan berbagai pihak sangat diharapkan terutama dukungan orangtua yang tinggalnya jauh dari lingkungan sekolah tempat anaknya menuntut ilmu. Bagi anak yang tempat tinggalnya jauh biasanya akan mencari kost-kostan. Namun karena PTM yang jadwal masuknya tidak setiap hari menyebabkan anak tetap tinggal bersama orangtua.
Akibatnya di saat anak masuk, orangtua mau tidak mau harus mengantar anak dan menunggui sampai kegiatan PTM selesai. Bila anak mengikuti 1 sesi PTM, maka diperkirakan orangtua harus menunggui anaknya sekitar 2 jam, jika 2 sesi, maka orangtua harus menunggu anaknya sekitar 4 - 5 jam. Bisa kita bayangkan perjuangan orangtua yang ingin anaknya memperoleh ilmu selama 5 jam tanpa kegiatan apa-apa, kadang harus menahan kantuk karena tidak ada aktivitas, cuma duduk dan ngobrol dengan orangtua lainnya yang kebetulan sama-sama menunggui anaknya.
Apapun saat ini yang terjadi, semua harus tetap berjalan. Harapan semua pihak, pendidikan akan kembali berjalan normal, kegiatan belajar mengajar dilaksanakan sesuai kurikulum yang berlaku. Semoga harapan ini akan sesuai kenyataan yang ada, meskipun itu belum tahu kapan waktunya. Yang penting saat ini, semua upaya sudah berusaha dijalankan agar kehidupan di semua sektor kembali berjalan seperti dulu. Kita tunggu saja, semoga tidak perlu lama penantian ini berlangsung.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.