Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Fitriani Fattah

Pahala dan Tempat Kembali

Agama | Saturday, 02 Oct 2021, 07:08 WIB
Gambar iStock

Para jemaat selalu diingatkan betapa besar pahala yang akan mereka peroleh atas setiap kebajikan yang dikerjakan.Ketika ambisi untuk meraih pahala sebesar-besarnya diupayakan agar meraih surga,sebagian berpendapat bahwa sikap itu tidak menunjukkan ketulusan dan jauh dari keikhlasan.Hasrat untuk memperoleh surga dianggap memalingkan manusia dari keagungan Tuhan sebagai zat yang satu-satunya menjadi tujuan.Pahala dianggap sebagai sebuah perantara yang akan menghantarkan manusia pada keputusan Tuhan-nya.Jika menjadikan surga sebagai tujuan dianggap merusak kriteria kebaikan yang semestinya dimiliki oleh para alim,lantas,apa gerangan alasan Tuhan menjanjikan surga bagi mereka yang membudakkan dirinya?Bukankah tawaran adalah merupakan tujuan itu sendiri?

Mengapa memaksakan untuk mengubah tujuan jika akan mengundang kebajikan yang sama?Betapa banyak orang yang menyedekahkan hartanya di jalan Tuhan dengan iming-iming surga?Seberapa sering wanita berusaha untuk membangun,menegakkan,dan memperbaharui keikhlasannya karena menyerahkan suaminya demi taman yang indah yang mengalir sungai-sungai didalamnya?Seberapa banyak dari kita yang rela menekan rasa sakit atas kejahilan orang lain dengan segunung ketabahan karena janji surga bagi mereka yang bersabar?Tidakkah ‘pengorbanan’ ini dipertimbangkan sebagai sebuah kebaikan hanya karena tujuan hidup yang berbeda?

Apa yang membedakan mereka yang mengamalkan sesuatu dengan niat karena Tuhan-nya bukan karena surga-Nya?Bukankah kita menginginkan surga agar bisa bertemu dengan Sang Pencipta? Berapa banyak sebenarnya pahala yang harus dikumpulkan seseorang untuk masuk kedalam surga?Sebanyak-banyaknya.Kita tidak lagi berbicara mengenai angka tapi bagaimana manusia didorong untuk terus melakukan kebajikan selama hidupnya.Salah satu keuntungan dari tidak menjadikan surga sebagai tujuan utama adalah tenggelamnya kepercayaan diri yang terlalu tinggi akibat ‘kepantasan’ yang dibuat sewenang-wenang dalam pikiran dan perasaan karena anggapan narsistik bahwa ibadatnya telah sampai pada titik yang sempurna.Ia tidak lagi mendengarkan khotbah sebagai bahan introspeksi.Semuanya diserap sebagai wejangan bagi orang lain karena kebodohannya dalam menilai diri sendiri.

Hal yang berbeda barangkali ditunjukkan bagi mereka yang menjadikan Tuhan-nya sebagai prioritas utama.Keraguan akan selalu merasukinya setiap selesai mengerjakan suatu amalan. Bernilai ibadah atau tidak akan menjadi urusan Tuhan-nya.Kesadaran penuh bahwa akses untuk masuk kedalam surga adalah melalui rahmat yang diberikan Sang Penguasa.Pahala selalu nampak tak cukup olehnya.Namun,harapan bahwa segalanya memperoleh pahala selalu terbesit didalam hatinya.Ia terdiam dalam doa karena sesungguhnya ia juga menginginkan pertemuan dan tempat kembali yang paling baik.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image