Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Deassy Destiani

Tujuh Kompetensi Guru Yang Dibutuhkan Generasi Paperless

Guru Menulis | Friday, 01 Oct 2021, 21:32 WIB
Hatice EROL dari Pixabay" />
Gambar oleh Hatice EROL dari Pixabay

Pembelajaran era pandemi telah memaksa guru untuk meninggalkan buku dan kertas. Siswa belajar melalui gawai dan laptop. Bahkan guru mengajar tanpa ada siswanya di kelas. Guru berbicara sendiri lewat aplikasi zoom atau google meet. Kegiatan mengajar yang bisanya riuh dengan suara anak-anak di kelas menjadi cenderung monolog jika tak ada kreatifitas guru untuk melibatkan siswa berinteraksi.

Saat ini anak SD dan SMP sudah paham membuat tugas di Microsoft Word, membuat presentasi di Power Point, membuat perhitungan di Excel. Padahal zaman orang tuanya dulu hal itu didapatkan setelah kuliah atau minimal SMA. Anak sekolah sudah terbiasa dengan google form untuk mengakses absensi, ujian dan mengunggah tugas sekolah. Sebelumnya hal itu tak pernah dilakukan karena siswa diwajibkan membawa buku untuk menulis semua materi pembelajaran dan tugas.

Ketika kebiasaan siswa sejak pandemi sudah banyak berubah, bagaimana dengan gurunya?

Seorang guru punya kewajiban untuk “mengubah” tapi faktanya banyak guru yang enggan berubah. Padahal mengajar dan mendidik itu adalah ranah mengubah pengetahuan, sikap dan perilaku. Guru tak bisa mengajar siswa zaman now dengan pengajaran zaman old.

Sebagian besar yang menjadi siswa saat ini adalah mereka yang disebut generasi Z dan A. Generasi Z dan A adalah generasi dengan batas antara bermain dan belajar yang nyaris tak bisa dibedakan lagi. Sementara gurunya masih menganggap bahwa antara belajar dan bermain tak bisa disatukan.

Menyikapi hal itu banyak guru yang mengatakan bahwa anak didiknya mengalami attention deficit disorder (gangguan kemorosotan perhatian). Padahal yang terjadi siswa mengalami kebosanan karena guru dan sekolahnya ketinggalan zaman.

Generasi Z dan A adalah adalah anak-anak yang sejak lahir sudah bisa memegang gawai di tangannya. Mereka juga senantiasa terhubung dengan media sosial. Tak heran jika generasi Z dan A adalah generasi yang sangat cepat beradaptasi dengan perubahan. Sementara gurunya dari generasi X dan Y bisa jadi masih sulit mempelajari teknologi terkini. Hal ini terlihat dari minimnya guru yang mampu memberikan pembelajaran via daring secara menarik menggunakan audio visual. Bukan sekadar penjelasan seperti sat mengajar di depan kelas.

Seorang guru di sebuah SMAN di Yogya menggunakan aplikasi Spotify untuk mengajar sejarah. Memang disitu siswa hanya mendengar, tidak ada gambar. Namun guru mampu membawa siswa seperti mendengarkan materi dengan cara berbeda. Ada musik latar ketika materinya dibacakan. Begitu pula dengan dengan nada suara dan intonasi yang enak di dengar. Siswa juga bisa mengakses materi kapan saja jika diperlukan karena zaman sekarang siapa sih siswa SMA yang tidak punya apllikasi Spotify?

Adapula guru yang mengajak siswa untuk membuat video pendek ketika guru ingin memberikan materi tentang pentingnya air minum bagi kesehatan. Alih-allih memberikan materi dengan metode ceramah yang membosankan, guru justru menantang siswa untuk berlomba membuat video pendek dengan materi tersebut. Hasilnya siswa menjadi bagian dari pembelajaran dan mereka paham pentingnya air minum karena mereka harus membuat konten tentang materi itu.

Howard G Hendricks dalam buku Teaching To Change mengatakan bahwa hakikat mengajar adalah memberikan perubahan dan mengubah paradigma yang memapankan. Oleh karena itu seorang pendidik atau guru harus mempunyai 7 kompetensi agar dapat menjadi agent of change meski saat ini negeri sedang dilanda pandemi. Kompetensi itu adalah kepanjangan dari kata T E A C H E R

T = Teacher (pendidik)

Pendidik harus memahami konten dan konteks materi yang diajarkannya. Menguasai strategi, metode dan model pembelajaran. Pendidik yang berhenti belajar tidaklah layak untuk mengajar. Tanyakan pada diri sendiri, kapan terakhir kali membaca buku untuk memperkaya wawasan?

E = Education (pendidikan)

Tantangan pendidikan adalah membangun suasana menyenangkan. Jika lingkungan belajar menyenangkan maka siswa akan semangat tanpa harus dipaksa belajar. Selama pandemi mengajar daring, pernahkan guru membuat hal lucu sehingga satu kelas tertawa bersama meski via zoom? Ataukah selama ini kelas daring seperti kuburan? Tidak ada sahutan siswa merespon guru yang mengajar apalagi tertawa bersama.

A= Activity (kegiatan)

Aktifitas pembelajaran sejatinya adalah proses transfer pengetahuan dari guru ke siswa. Aktifitas itu harus dirancang agar siswa bisa terlibat aktif dan mendapatkan pengalaman bermakna bukan hanya sebagai pendengar pasif yang akhirnya tak memahami apa-apa. Jadilah guru yang tidak “jaim.” Meleburlah bersama siswa dalam kegiatan pembelajaran.

C= Communication (komunikasi)

Komunikasi adalah jembatan bagi seorang pendidik untuk menggemburkan semangat dan motivasi belajar siswa. Komunikasi itu tidak hanya menyangkut materi pembelajaran tapi bisa pertanyaan seputar pribadi siswa seperti hobi, makanan kesukaan atau kegiatan yang mereka lakukan saat akhir pekan. Obrolan santai seperti itu akan mendekatkan siswa dengan guru dan membuat siswa merasa diperhatikan.

H = Heart (hati)

Hati adalah inti dari segala sesuatu. Mengajar dari hati adalah hal yang paling utama dilakukan seorang pendidik. Jika pembelajaran tak pakai hati, maka proses belajar hanyalah sebuah rutinas menggugurkan kewajiban saja. Curahkan pikiran, perasaan, talenta dan segala yang terbaik dari pendidik saat mengajar. Maka segala yang berasal dari hati akan menyentuh hati yang lain pula.

E = Encouragement (motivasi)

Motivasi adalah modal dasar dalam belajar. Membangkitkan motivasi siswa adalah tugas utama pendidik. Salah satu cara memotivasi siswa adalah lebih banyak memberikan pujian daripada kritikan. Gali potensi siswa dan katakan bahwa mereka pasti bisa meraih apa yang diinginkannya.

R = Readiness (kesiapan)

Banyak pendidik yang merasa tidak perlu mempersiapkan materi dengan dalih sudah terbiasa. Padahal ilmu pengetahuan itu senantiasa berkembang dari hari ke hari. Hanya manusia merugi saja yang hidupnya sama dengan hari kemarin.

Sudah saatnya membuka mata bahwa guru harus bisa menghadarikan masa depan bagi murid masa kini. Jadi bersiaplah untuk perubahan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image