Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yoseph Lidi, S.Fil

Ngelmu "Rasa" di Masa PJJ

Lomba | Friday, 01 Oct 2021, 11:30 WIB
Foto PJJ & PTM Sekolah Pembangunan Jaya 2 Sidoarjo (Penulis)

Ngelmu “Rasa” di Masa PJJ

Ketika mendengar kata rasa teringat di benak kita. Kata ini sering diucapkan oleh almarhum Bapak Marijan, melalui iklan kuku bima energi rasa. Dalam pengucapan Bahasa jawa kata tersebut disebut roso. Kata ini familiar bagi masyarakat Indonesia. Pada tulisan ini, saya mengajak pembaca menilik makna kata rasa. Kata “rasa” yang akan kita bahas kali ini sangat berbeda maknanya. Oleh karena itu penulis memberikan tanda petik untuk mendapat perhatian khusus.

Rasa merupakan akronim dari istilah Jawa, sesuatu yang diresapi dalam hati, alias meresapi dalam rasa terdalam manusia (weh resaping ati). Kata rasa dimaknai sebagai “inti” atau hati. Kata ini tidak sebatas “ilmu”, tetapi merupakan “hal ontologis” diri utuh dalam menangkap dan “merasai” kebenaran hidup. “Rasa” tidak hanya sekedar konsep akal budi an sich, melainkan dengan mengatifkan hati & rasa kita.

Bagaimana pengalaman para guru bersama murid selama PJJ? Apakah guru menerapkan rasa, sehingga mengisi kompetensi diri demi memberdayakan proses pembelajaran jarak jauh bersama murid semakin bermakna?

Dalam teori Pendidikan Ki Hajar Dewantara, ia sangat menekankan rasa sebagai bagian terpenting dari antropologi pendidikannya. Rasa mengandung makna empati. Kata ini merupakan makna filosofis dalam filsafat orang jawa. Rasa merupakan bagian terpenting bagi seorang guru. Ia melekat sebagai identitas diri.

Rasa selalu mengarungi setiap kehidupan manusia. Rasa ini sangat melekat pada bagaimana seorang guru membaca realitas yang terjadi selama PJJ, memahami kondisi murid, dan merasakannya. Rasa juga mengandung peka. Peka merupakan kemampuan guru untuk merasakan suatu hal yang terjadi, dialami dengan lingkungan ia berada.

Bagaimana “rasa” diterapkan oleh guru selama PJJ? Ungkapan rasa sungguh-sungguh mendapatkan tempat bermakna dan berdaya bagi guru dalam menjalankan aktivitasnya. Di masa PJJ para guru memiliki berbagai pengalaman. Rasa lelah, mengeluh, rasa tidak nyaman, merasa gagap teknologi (gaptek) merupakan situasi personal muncul secara masif di kalangan guru selama pandemi. Jika terjadi demikian apa yang dilakukan guru? Mengeluh tak kunjung tuntas? Menciptakan zona nyaman? Berdaya menciptakan kompetensi diri?

Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dijelaskan bahwa guru dan dosen wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, serta sehat jasmani dan rohani, dan memenuhi ketentuan lainnya yang dipersyaratkan oleh satuan Pendidikan Tinggi tempat bertugas, serta kemampuan mewujudkan tujuan Pendidikan Nasional. Dari sekian banyak kriteria yang dimiliki oleh seorang guru, salah satunya adalah kompetensi guru.

Menyikapi situasi pandemi dan masa PJJ, proses merealisasikan kompetensi guru harus dibendung dengan cipta “rasa”. Rasa merupakan unsur humanus terdalam manusia. Rasa menciptakan realitas baru bagi guru di masa pandemi. Rasa mendorong hati nurani untuk berpihak pada setiap pengalaman yang dirasakan oleh murid. Rasa tidak membutuhkan IQ (Intelligence Quotient) tinggi. Rasa merupakan daya seorang guru dalam memaknai setiap pengalaman yang dialaminya dalam membersamai proses pengajaran murid. Rasa dapat tercipta apabila seorang guru peka. Ia merasakan apa yang terjadi disekitarnya sebagai bagian dari dirinya dan berusaha untuk mencari cara sebagai bentuk proses belajar. Ketika guru melaksnakan hal ini, guru memulai ekosistem holistic learning bukan partial learning.

Dalam menerapkan ekosistem holistic learning, seorang guru seyogyanya telah memiliki nilai “rasa”. Nilai rasa tersebut mendorong guru untuk mencerna dan merefleksikan bahwa kehadiran murid harus dipandang secara utuh, manusiawi, beradab. Misalnya guru mendengarkan keluhan, kesulitan yang dialami murid. Ia tidak hanya mendengar, tetapi ia mencoba untuk menemukan cara untuk memberdayakan murid dalam kondisi tersebut. Namun, hal ini tidak cukup, guru harus mengupayakan bagaimana ia dapat memberikan pelayanan pengajaran selama PJJ secara prima. Oleh karena itu, untuk mencapai hal tersebut, terlebih dahulu guru memiliki “rasa”. Rasa merupakan motivasi internal guru demi meningkatkan kompetensi dirinya. Guru senang belajar bukan karena ia ingin pandai, tetapi ia ingin mengapresiasi kebutuhan murid, memanusiakan hubungan dalam proses pengajarannya. Kualitas pemahaman guru terhadap martabat manusia harus diperjuangkan oleh guru dari waktu ke waktu demi menciptakan pendidikan yang memerdekakan.

Dalam memahami pendidikan yang memerdekakan harus dimulai dari merdeka belajar, merdeka berkarya, merdeka mengembangkan kompetensi guru. Di masa sulit PJJ ini, setiap guru dituntut untuk melakukan proses pembelajaran bermakna. Pembelajaran offline diubah menjadi pembelajaran daring. Dalam menjalankan proses pembelajaran tersebut, seorang guru harus memutar pikirannya untuk menemukan ide bagaimana mendesain proses belajar, penggunaan media ajar yang sesuai dengan kebutuhan murid serta melibatkan partisipasi aktif murid. Pertanyaannya, apa yang dibutuhkan dalam merealisasikan amanah ini? Apakah kemudahan guru dalam mengakses informasi, mencari media belajar dari youtube untuk dapat diaplikasikan dalam proses PJJ?

Rasa merupakan unsur yang mendasari aktivitas guru untuk memberdayakan proses belajar bermakna. Jika proses PJJ tidak dilandasi “Rasa”, maka proses usaha guru dalam menyediakan bahan ajar hanya sebatas formalitas atau pemenuhan administrasi pembelajaran. Namun, apabila nilai “rasa” diterapkan guru secara sadar, tahu, dan mampu akan memiliki nilai humanize education. Nilai kesadaran tersebut, merupakan cara pandang guru terhadap kebutuhan murid. Option for the students, berpihak pada murid merupakan momok menciptakan ekosistem belajar menyenangkan dan berdaya guna.

Dalam mencapai proses belajar ini, pengalaman yang pernah dilakukan oleh saya selama PJJ, yaitu saya melakukan assesment diagnosa kepada orang tua dan murid. Saya mengumpulkan informasi dari keduanya tentang hambatan, perubahan cara belajar di masa PJJ, lingkungan belajar di rumah, pola asuh orang tua sehingga dapat membantu saya dalam mendesain proses belajar sesuai dengan kebutuhan murid. Selain itu, saya melakukan correctio fraterna, koreksi persaudaraan antara guru dan murid secara langsung tentang cara mengajar saya, kepedulian, perhatian, pemecahan masalah yang dihadapi murid. Misalnya, menerapkan media belajar sesuai dengan perangkat pembelajaran yang dimiliki murid seperti laptop, hand phone, kenyamanan belajar di rumah, pola asuh orang tua di rumah. Dari cara sederhana ini, saya memiliki kemudahan dalam mendesain proses pembelajaran. Cara ini merupakan salah satu cara bahwa belajar berpihak pada apa yang dibutuhkan murid bukan berpihak pada kemauan guru.

Guru juga manusia. Praktik pengajaran yang berpihak pada kemauan guru sepenuhnya masih banyak terjadi. Oleh karena itu, guru masih berjuang untuk memposisikan dirinya sebagai bagian dari murid dan tidak sepenuhnya memaksakan kehendaknya pada murid. Dari usaha ini merupakan salah satu bentuk pengembangan kompetensi guru.

Kompetensi merupakan sebuah kata dari Bahasa latin, yaitu competentia, yang berarti keahlian. Kata keahlian bukan merujuk pada soft skill tetapi human skill. Randi Weiner, dalam sebuah artikel yang dilansir penulis, we need humanize education than we need personalize education (2019), mengungkapkan bahwa human skill merupakan aktivitas yang berkenaan dengan proses humanus, manusia membangun kesadaran, merealisasikan, mempertanggung jawabkan, dan berdampak pada pencapaian tujuan belajar guru dan murid. Proses belajar murid dan guru adalah kemandirian belajar (self-paced learning), guru membangun ekosistem sahabat pembelajar (excellent teacher practice of humanizing relationship as the foundation for education).

Kemandirian belajar guru merupakan hal esensial dalam meningkatkan kompetensi guru. Pengembangan kompetensi guru berdampak pada peningkatan kompetensi belajar murid. Proses pembelajaran di masa PJJ bukan taraf ide melainkan saatnya mengajarkan murid pada pengalaman nyata.

Ada beberapa contoh pengalaman pengembangan kompetensi guru yang dilakukan oleh saya, yaitu pertama, pengembangan kompetensi menulis. Menulis merupakan nilai lebih yang dirasakan, karena dari hasil belajar yang dilakukan dapat diajarkan kepada murid, seperti mengajarkan murid membuat artikel. Kedua, menggunakan media padlet.com sebagai media diskusi, membuat design thinking serta pembuatan majalah dinding online. Dari cara memperkenalkan aplikasi serta cara menggunakan kepada murid serta menghasilkan produk karya murid. Ketiga, mengajarkan murid mendesain poster menggunakan media canva.com. Pengalaman belajar yang dilakukan ini sangat memberikan dampak pada pengalaman belajar bermakna. Murid sangat merasakan betapa pentingnya guru memberikan informasi media belajar up to date kepada mereka. Mereka merasa senang, karena saya melakukan umpan balik kepada murid untuk mengetahui tujuan belajar dengan menggunakan aplikasi yang diajarkan, mengetahui tantangan yang dialami murid, serta apa yang mereka peroleh dari pengalaman belajarnya.

Belajar memberdayakan murid pertama-tama bukan bersumber dari kepandaian guru, melainkan guru tahu situasi belajar muridnya sehingga ia memberikan kejutan suatu hal baru pada proses pembelajaran. Pengalaman belajar guru memadai membuatnya mudah mengolah proses belajar, membentuk proses pencapaian belajar murid serta mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Belajar yang dialami guru dan murid membutuhkan keberlangsungan. Ia tidak berhenti pada satu titik kulminasi. Ia terus berupaya untuk membentuk pribadi senang belajar, senang mencari sesuatu yang menunjang peningkatan kompetensi. Peningkatan kompetensi guru berdampak pada perubahan proses belajar murid saat ini dan yang akan datang.

Dimasa PJJ guru mengalami tantangan dalam meningkatkan kompetensi namun guru terus berusaha dan terus belajar demi menjadi pribadi berdaya. Guru adalah motivator sekaligus pemeberdaya kompetensi murid. Oleh karena itu, guru senantiasa belajar dan tidak pantang menyerah dengan segala situasi agar ia dapat mendampingi, memberikan, mengarahkan murid agar berkembang dalam keluasan pengetahuan, human skill, dll.

Guru tidak perlu memberikan sesuatu kepada murid yang muluk-muluk. Berikanlah setiap kesempatan dan pengalaman belajar bersama murid adalah mutiara kehidupan. Darinya murid akan menilai kehadiran guru. Apakah Anda guru berdaya atau guru biasa-biasa saja? Kembalilah kepada motivasi awal untuk melihat siapa Anda guru sesungguhnya. Beranilah untuk mengambil resiko untuk terus mencoba cari cara baru dan menerapkan dalam praktik kolaborasi belajar. Oleh karena itu, penguatan kompetensi akan terjadi bersamaan.

Guru dan murid adalah subyek pembelajar. Oleh karena itu, keduanya perlu menciptakan ekosistem penguatan kapasitas kompetensi diri. Kompetensi diri yang dimiliki membantu guru dan murid untuk lebih mencintai proses belajarnya dan tidak pernah menyerah untuk belajar hal baru. Roda belajar terus berputar, keinginan untuk mendapatkan pengalaman dan ilmu pengetahuan adalah komitmen guru dan murid. Tidak ada yang lebih berharga selain menciptakan diri untuk senang belajar. Belajar dapat memberikan relaksasi pikiran, bukan membelenggu pikiran. Jika orang mengatakan belajar itu membosankan, mengeluarkan banyak pikiran, karena ia belum menemukan cara efektif belajar. Namun, teruslah untuk belajar, dalam usaha sucimu, Anda akan menemukan suatu cara belajar yang dapat membahagiakan diri, bukan menyiksa diri. Jangan berhenti untuk belajar sebelum ajal hidup berakhir.

Guru tidak bisa mengukur kompetensinya sejauh ia tidak memiliki nilai “rasa”. Guru tidak berkembang jika ia tidak memiliki passion belajar yang rendah. Apabila semangat belajar rendah, maka kompetensi guru pun mendapat dampaknya. Oleh karena itu, berusaha sekuat tenaga, mengkondisikan diri, pikiran, emosi agar guru dan murid dapat mengarahkan proses belajar berdaya pada perubahan diri yang diharapkan.

Dari pengalaman belajar tersebut, ada beberapa hal yang dapat dipelajari, yaitu pertama, mengembangkan kompetensi guru dan murid merupakan kesempatan bermula dari cipta “rasa”. Kedua, daya pikat, rasa empati, guru terhadap kebutuhan dan pengalaman belajar murid adalah sebuah proses memberdayakan kompetensi guru, yaitu memberdayakan cara, memanfaatkan inovasi teknologi, mendesain proses belajar memenuhi kebutuhan murid. Ketiga, belajar harus dipusatkan pada nilai “rasa” murid sebagai representasi dari nilai “rasa” guru sehingga makna kehadiran guru dan murid sebagai makhluk pembelajar tidak dimaknai secara parsial, dilihat dari statusnya tetapi keduanya dilihat sebagai satu kesatuan utuh. Keduanya dipandang sebagai manusia bermartabat yang harus dihargai dan dijunjung tinggi dalam dunia pendidikan dewasa ini. Keempat, komitmen belajar yang dibangun perlu diberi apresiasi secara terus menerus agar ia tidak kehilangan makna dari ingatan guru. Cara mengingat dan melakukan aktivitas secara konkret disiplin membentuk kebiasaan yang berdampak pada pribadi pembelajar yang senantiasa mengisi pengetahuan dan keterampilan (human skill). Kelima, bersyukurlah bahwa Anda adalah seorang guru dan murid, sebab tidak semua orang mengalami perjumpaan seperti yang dirasakan. Ciptakan perjumpaan sebagai sebuah kesempatan untuk membangun motivasi belajar tanpa henti.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image