Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Pandemi dan Bahaya Terlalu Lama Menatap Layar

Guru Menulis | 2021-09-29 14:38:02
Sumber : Republika

Pandemi dengan segala pernak perniknya telah mengubah banyak hal di dalam hidup manusia, termasuk screen time. Ini terungkap dari hasil penelitian Eyesafe dan Unitedhealthcare dalam publikasinya yang berjudul “Screen Time 2020 Report”. Dalam laporan itu terlihat bahwa adanya peningkatan screen time yang cukup signifikan antara sebelum dan sesudah pandemi Covid-19. Sebelum lanjut membahas hasil penelitian tersebut, sebaiknya kita ketahui terlebih dahulu apa itu screen time? Screen time adalah istilah yang digunakan untuk merujuk ke waktu yang dihabiskan untuk menonton televisi, bermain video game, atau menggunakan perangkat elektronik dengan layar seperti smartphone atau komputer.

Kembali ke “Screen Time 2020 Report”, di dalam laporan tersebut disampaikan hasil survey Nielsen yang menuliskan bahwa pada tahun 2018 rata-rata orang Amerika menghabiskan waktu untuk memandang layar selama 8 jam per hari. Setahun kemudian meningkat menjadi 10 jam per hari, dan pada tahun 2020 meningkat lagi menjadi 13 jam per hari. Berarti setelah adanya pandemi Covid-19 di mana kita semua dipaksa untuk stay at home terutama di awal-awal merebaknya virus Corona, telah mengakibatkan banyak aktivitas yang semula dilakukan dengan tatap muka menjadi tatap layar.

Penelitian lain yang dilakukan oleh We Are Social dan Hootsuite menunjukkan kebiasaan ini juga terjadi pada masyarakat Indonesia, hanya dengan jumlah jam yang lebih sedikit. Penelitian yang mereka lakukan tahun 2018 menunjukkan waktu yang dihabiskan masyarakat Indonesia untuk mengakses internet adalah 8 jam 52 menit. Angka itu meningkat sebesar 16 menit pada tahun 2019. Sementara itu, menurut dokter spesialis anak, dr. Ahmad Suryawan, seperti yang dikutip di antaranews.com, screen time yang diperbolehkan untuk anak prasekolah adalah 60 menit perhari, untuk anak yang duduk di sekolah dasar maksimal 90 menit perhari, sedangkan untuk anak yang duduk di sekolah menengah disarankan tidak lebih dari 2 jam perhari.

Mengetahui fenomena ini membuat kita tertarik untuk mendalami lebih jauh pengaruh membaca teks di layar jika dibandingkan dengan di kertas. Mana yang lebih efektif membaca di layar atau di kertas? Berikut ini hasil penelusuran pendapat para ahli tentang perbandingan membaca di layar dengan di kertas. Seperti yang dilansir di health.detik.com, penelitian yang dilakukan di Carnegie Mellon School of Computer Science menyampaikan bahwa terdapat perbedaan dalam hal penyerapan informasi dari teks yang dibaca layar digital dengan di kertas. Ternyata orang-orang yang membaca teks di layar dapat memahami suatu detail informasi lebih baik dari pada yang membaca di kertas.

Akan tetapi, kemampuan orang-orang yang membaca teks di layar dalam menyerap konsep abstrak tidak terlalu baik. Menurut hasil penelitian Geoff Kauffman, pada pelajaran sejarah, aktivitas membaca di layar digital membuat seseorang lebih mudah mengingat tahun kejadian peristiwa atau nama tokoh. Tapi, mereka tidak terlalu bisa mengingat bagaimana suatu peristiwa itu terjadi. Pada penelitian ini, Kauffman dan tim mengamati 300 orang dewasa muda yang diberi cerita pendek dan diminta menganalisis sebuah mobil, ketika informasi disediakan di layar komputer dan kertas. Setiap detail seperti interior mobil, nama orang, atau nama tempat lebih mudah diingat oleh orang yang membaca di layar komputer. Sedangkan untuk latar belakang atau gambaran lebih lengkap dari suatu peristiwa, jauh lebih mudah dilakukan oleh orang yang membaca di kertas.

Sementara itu seorang peneliti yang bernama Mary Flanagan yang juga profesor humaniora digital di Dartmouth mengatakan bahwa smartphone menjadi media yang baik jika seseorang ingin mencari informasi yang cepat berupa fakta konkret seperti nama seseorang atau nama tempat. Tapi untuk mengingat konsep yang lebih besar, kertas menjadi media yang lebih baik dari pada smartphone.

Beralih ke penelitian yang dilakukan oleh Virginia Clinton dari University of North Dakota. Clinton menyatakan bahwa aktivitas membaca dari kertas lebih optimal dibanding dengan membaca dari layar. Hal itu disebabkan oleh keunggulan kertas, di mana kertas memiliki format media yang memiliki dimensi tata letak. Dimensi tata letak ini mudah dicerna oleh otak manusia. Ketika orang membaca buku atau koran, orang akan memperhatikan apakah teks ada di lembar kanan atau kiri, kemudian orang juga akan melihat sudah seberapa tebal dari buku yang dibaca, sudah seperempat, setengah, atau tiga perempatnya? Dimensi ruang pada media cetak memunculkan tolok ukur mental atau imajiner yang dapat membantu memperkuat memori untuk mengingat isi bacaan.

Sebaliknya, teks pada layar gawai tidak memiliki dimensi ruang seperti yang terdapat pada buku atau koran. Aplikasi penyedia e-book kini dilengkapi beberapa unsur yang dimiliki oleh buku cetak, misalnya berupa animasi membalik halaman, indikator persentase berapa halaman yang sudah dibaca, dan tinta elektronik pada perangkat Kindle yang meniru buku dalam hal intensitas cahaya yang dipantulkan ke mata.

Namun inovasi tersebut masih belum sepenuhnya menggantikan sensasi fisik yang ada pada buku cetak. Membalik halaman dengan menggeser atau scrolling halaman pada sebidang layar gawai yang kecil menimbulkan kesan sempit kepada pembaca. Keunggulan lain antara kertas terhadap layar yaitu sifatnya yang terbatas. Orang akan berada dalam kondisi fokus mencerna teks dari sebuah buku atau koran secara konsisten. Sedangkan ketika membaca lewat layar cenderung tergoda untuk melakukan aktivitas lain dengan gawai tersebut.

Mencermati semua uraian para pakar seperti yang dijelaskan di atas, timbul kekhawatiran dalam diri kita akan berkurangnya pengetahuan dan keterampilan anak-anak kita atau yang lebih dikenal dengan istilah learning loss, ketika mereka belajar jarak jauh yang banyak menggunakan smartphone, tablet, atau laptop. Bayangkan, jika anak-anak kita terus menerus belajar lewat tatap layar, maka akan terjadi kemampuan mereka menyerap konsep abstrak akan memburuk. Mereka juga akan kesulitan dalam hal menjelaskan latar belakang atau gambaran lebih lengkap dari suatu peristiwa. Dan yang fatal mereka akan kesulitan mengingat konsep yang lebih besar.

Kekhawatiran yang sama juga disampaikan oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Anwar Makarim. Seperti yang diberikan di republika.co.id, Mas Menteri menyampaikan kekhawatiran bahwa masih banyak sekolah yang sebenarnya dapat melaksanakan pembelajaran tatap muka (PTM) namun belum melakukannya. Ia mengkhawatirkan potensi learning loss pada siswa.

Untuk mengatasi semua itu satu-satunya cara adalah dengan melakukan pembelajaran tatap muka. Dengan pembelajaran tatap muka akan banyak waktu yang sebelumnya digunakan untuk menatap layar menjadi berkurang. Semoga dengan semakin banyaknya pelajar yang sudah divaksin dua kali, yang berdampak semakin rendahnya angka harian penderita Covid-19 yang baru, berlanjut semakin banyak sekolah yang dapat menyelenggarakan PTM, maka kekhawatiran akan learning loss akibat pandemi dan screen time pun menjadi sirna.

Tangkap layar live streaming talk show 26 tahun Republika di channel Youtube Republika Official.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image