Secarik Wasiat Ki Hajar Dewantara: Pendidikan Inklusif, Jalan Kebudayaan, dan Lintas Zaman
Guru Menulis | 2021-09-27 02:38:49Pendidikan merupakan jalan panjang sebuah negara untuk mencerdasakan bangsanya. Hal tersebut akan memengaruhi kualitas hidup masyarakat sehingga berdampak pada tingkat kesadaran kewarganegaraannya. Pandemi Covid-19 merupakan fenomena yang memberi dampak terhadap kebudayaan masyarakat kini. Dalam hal ini, interaksi sosial masyarakat berubah dengan menggunakan masker, jaga jarak, dan kesehatan individu sebagai kesadaran terhadap diri dan orang lain. Cara hidup tersebut memengaruhi adaptasi masyarakat yang seolah-olah berada di dunia baru. Padahal, perubahan kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan keniscayaan. Oleh karena itulah, jalan pendidikan seharusnya membuat peta kesadaran masyarakat untuk siap hidup dari zaman ke zaman.
Mari tengok sejenak mengenai wasiat Ki Hajar Dewantara! Terutama pemikirannya dalam kebudayaan dan pendidikan yang mampu melampaui zaman. Secara lahir dan batin, ia sendiri merupakan seorang filsuf, budayawan, seniman, sastrawan, pemusik, pendidik, dan agamawan. Dari rentetan gelar yang disematkan kepadanya, bisa dikatakan bahwa ia seorang inklusif. Meskipun terlahir sebagai seorang ningrat dari keluarga keraton, ia berani menanggalkan kebangsawanannya demi dekat dengan rakyat. Oleh karenanya, sikap egaliter yang dimilikinya merupakan sebuah anugerah. Lantas, apakah pemikiran dan wasiatnya benar-benar dijalankan oleh bangsanya?
Petuahnya, bangsa ini dapat menyejajarkan diri dengan bangsa lain. Syaratnya hanya dengan jalan kebudayaan sebagai kompas terbaik agar tidak meninggalkan jati diri. Maksud dari kebudayaan di sini, yakni menggunakan budi dengan takaran kecerdasan yang telah diwariskan leluhur. Bahwa pada hakikatnya, bangsa ini terlahir dari peradaban tinggi, lihatlah candi-candi, artefak, kitab-kitab yang adiluhung. Berbeda hal jika bangsa Indonesia disetir oleh pihak kolonial (asing) untuk mengikuti kriteria yang telah mereka tentukan. Coba tengok ranking sepak bola Indonesia di FIFA, misalnya. Contoh lain dalam dunia keliterasian yang merayap tak beranjak sejak sepuluh tahun terakhir. Bangsa ini seolah-olah dianggap lambat berjalan dan berkembang oleh mata dunia. Anggapannya, Indonesia gagap untuk menjadi negara maju menurut versi mereka. Padahal, Ki Hajar Dewantara telah menentang pendidikan kolonial yang menghasilkan lulusan dengan predikat kacung. Oleh karenanya, perguruan nasional berdiri di atas kubur sistem sekolah kolonial.
Taman Manusia Tanpa Ordonansi
Perguruan Nasional yang didirikan Ki Hajar Dewantara memiliki semboyan; tiap-tiap rumah jadi perguruan, tiap-tiap orang jadi pengajar, dan dengan atau tanpa ordonansi. Itulah satu perlawanan yang cerdas terhadap model pendidikan kolonial. Apa pasal? Seandainya pendidikan hanya melahirkan anak-anak bangsa sebagai kacung yang sekadar membantu pihak asing lebih berjaya, apa gunanya? Seandainya Ki Hajar Dewantara masih hidup, barangkali ia terisak dan menangis darah karena melihat anak-anak bangsanya gentayangan di tengah zaman.
Sudut pandang pendidikan buah dari pemikirannya, yakni mendidik anak-anak Indonesia intelek supaya mereka itu kelak menjadi rakyat (staatsburgers) yang jadi tiang atau penegak keluhuran tanah air bangsanya. Bukan sebaliknya, mendidik anak-anak supaya mereka cakap jadi pembantu kolonialisme dalam bentuk apa pun. Mari bertanya ulang terhadap realitas anak-anak Indonesia yang masih berada di zona ketiga; inlander dan inferior. Siapa dalang dari fakta tersebut?
Sampai titik ini, kita beruntung memiliki seorang filsuf sekaligus guru bangsa sekelas Ki Hajar Dewantara. Pemikirannya mampu melintasi zaman karena terlahir dari kodrat alam Indonesia. Wasiatnya itu telah menyatu dengan udara sebagai napas panjang generasi bangsanya. Mereka terus maju saat menempuh zaman ke zaman yang masih jauh.
Perspektif Kebudayaan
Ki Hajar Dewantara kerap membunyikan kebudayaan sebagai buah budi manusia. Budi berarti jiwa yang sudah masak, cerdas, dan oleh karenanya mampu mencipta. Kebudayaan terlahir dengan ditandai kemenangan atau hasil perjuangan hidup manusia yang dibarengi dua kekuatan abadi, yakni alam dan zaman. Tujuan dari kebudayaan, yaitu untuk memudahkan dan memperbesar hasil hidup. Namun, kebudayaan tidak pernah memunyai bentuk yang abadi, tetapi terus-menerus berganti wujud seiring perubahan alam dan zaman. Oleh karenanya, kebudayaan lampau yang menguntungkan hidup, bisa saja menyukarkan dan merugikan hidup di zaman sekarang. Itulah kenapa setiap individu harus menyesuaikan kebudayaannya dengan tuntutan alam dan zaman baru.
Kemajuan hidup yang dimaksud Ki Hajar adalah pengejawantahan keinginan, kesanggupan, dan kemampuan untuk mewujudkan hidup yang tertib (lahir) dan damai (batin). Rendah tingginya kebudayaan itu menunjukkan rendah tingginya budi serta peradaban dalam kehidupan sebuah bangsa. Kebudayaan selalu memunyai sifat, misal, nasional dan global. Alasannya karena masyarakat yang menimbulkan kebudayaan tersebut adalah orang-orang yang hidup di dalam satu lingkungan alam dan zaman. Istilahnya, kodrat merupakan kekuatan alam, sedang masyarakat yang mengendalikan zaman.
Pada akhirnya, bangsa ini tidak akan terombang-ambing jika menghayati setiap wasiat pendidikan sang Dewantara. Fenomena apa pun termasuk pandemi Covid-19, bukan jalan buntu untuk mewujudkan masyarakat yang cerdas. Sebab, bangsa ini telah memiliki peta jalan pendidikan lintas zamanâbuah pemikiran abadi dari sang Pencerah.
Sumber Bacaan:
Dewantara, K. H. (2013). Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka: I Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.
Dewantara, K. H. (2013). Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, dan Sikap Merdeka: II Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa.
Rahardjo, S. (2012). Ki Hajar Dewantara: Biografi singkat 1889â1959. Jogjakarta: AR-Ruz Media.
Samho, B. (2013). Visi Pendidikan Ki Hadjar Dewantara: Tantangan dan Relevansi. Yogyakarta: PT Kanisius.
Subtema: Pandemi dan Potret Dunia Pendidikan
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.