Dari Pandemi ke Endemi, Bersiaplah dengan Kenormalan Baru
Lomba | 2021-09-26 00:03:31Pandemi Covid-19 mungkin masih sulit diterka kapan berakhirnya. Tetapi setidaknya Indonesia sudah mengalami âfase daruratâ saat gelombang kedua Coronavirus Disease 2019 melanda pada periode Mei sampai Juli 2021 lalu. Pada periode tersebut, Covid-19 benar-benar menunjukkan daya tularnya yang eksponensial. Menyaksikan bagaimana banyak fasilitas layanan kesehatan milik pemerintah maupun swasta kewalahan menampung dan merawat pasien Covid-19, banyak RSUD overload, tingkat keterisian tempat tidur atau Bed Occupancy Rate (BOR) nyaris 100%. Kepanikan pun sempat menjalar ke kampung-kampung, saat berita orang meninggal bersaut-sautan dari toa masjid yang satu ke masjid yang lain.
Hal itu bisa dimaklumi, mengingat Satgas Penanganan Covid-19 sendiri mencatat peningkatan kasus kematian pada periode gelombang kedua Covid-19 ini mencapai 400% secara nasional (republika.co.id, 01/07/2021). Sementara pada periode Mei-Juli pula, angka pertambahan kasus positif meningkat drastis dari 35.470 menjadi 253.600 kasus. Tetapi periode horor ini setidaknya telah berhasil dilalui. Berbagai kebijakan pembatasan aktivitas dan mobilitas masyarakat yang digulirkan pemerintah secara maraton nyatanya efektif mengendalikan laju penularan Covid-19, sehingga per 29 Agustus 2021 Satgas mencatat terjadi penurunan kasus hingga 86,9% (republika.co.id, 07/09/2021).
Sampai dengan akhir September ini, perkembangan kasus Covid-19 masih menunjukkan laju yag terkendali dan bahkan melandai. Bahkan, pada 10 September lalu, Presiden Joko Widodo telah melemparkan wacana tentang perlunya masyarakat Indonesia bersiap melakukan transisi dari pandemi ke endemi sekaligus hidup berdampingan dengan Covid-19. Penyebabnya, karena virus corona diprediksi tidak akan bisa hilang dalam waktu dekat (republika.co.id,10/09/2021).
âKita harus mulai menyiapkan transisi dari pandemi ke endemi dan juga mulai belajar hidup bersama dengan Covid,â kata Jokowi seperti dikutip republika.co.id.
Kenormalan Baru
Seperti diketahui, Covid-19 pertama kali muncul di Wuhan,Tiongkok, menjelang akhir 2019, pada akhirnya menyebar dengan cepat ke berbagai negara hingga ditetapkan oleh WHO sebagai pandemi global pada 11 Maret 2020. Karena penularannya yang cepat dan masif inilah, pandemi Covid-19 telah memberikan dampak yang besar bagi hampir semua sektor kehidupan masyarakat dan negara.
Namun demikian, berbagai kebijakan pembatasan sosial yang digulirkan pemerintah harus diakui cukup efektif menekan laju Covid-19 hingga mulai terkendali. Dalam konteks ini pula pemerintah secara bertahap mulai melonggarkan aktivitas banyak sektor. Namun karena pandemi Covid-19 belum akan berakhir dalam waktu dekat ini, maka skenario paling mungkin adalah dengan bersiap melakukan transisi dari pandemi ke endemi. Maka skenario realistis yang dilakukan pemerintah bukanlah berangkat dari asumsi âAndai Pandemi Pergiâ, tetapi justru seandainya pandemi belum akan pergi dari bumi dalam waktu dekat, sehingga mau tidak mau kita semua dituntut hidup berdampingan dengan Covid-19.
Inilah yang dimaksud dengan kenormalan baru. Bahwa berbagai aktivitas publik tidak mungkin terus dibatasi, apalagi dengan laju Covid-19 yang kian terkendali. Tetapi pada sisi yang lain, masyarakat harus bisaberadaptasi dengan tatanan hidupbaru, karena kenormalan yang akan kita hadapi bersama bukanlah normal seperti sebelum pandemi, melainkan kenormalan yang mengasumsikan virus corona masih hidup di sekitar kita. Lalu kesiapan seperti apa yang perlu dilakukan masyarakat pada masa kenormalan baru ini?
Pertama, protokol kesehatan harus menjadi gaya hidup baru masyarakat. Karena aktivitas social mulai dilonggarkan, sementara ancaman Covid-19 masih ada, maka ikhtiar paling mungkin untuk melindungi diri dari paparan virus corona adalah dengan disiplin menerapkan protokol kesehatan. Memakai masker, mencuci tangan dengan sabun, menjaga jarak, menghindari kerumunan, harus menjadi kebiasaan hidup baru agar aktivitas publik bisa tetap berjalan. Karena itu, seperti diingatkan Presiden Jokowi, kita semua tidak boleh larut dalam euforia.
Kedua, karena aktivitas publik mulai dibuka kembali, maka penting bagi setiap warga negara untuk memiliki kekebalan tubuh yang lebih baik. Ikhtiar membentuk herd immunity atau kekebalan kelompok harus bersama-sama diwujudkan melalui percepatan vaksinasi Covid-19. Pemerintah mentargetkan 70% dari penduduk Indonesia bisa terlayani vaksinasi agar herd immunity bisa terwujud. Meski tidak serta merta kebal terhadap Covid-19, namun vaksin bisa mengurangi tingkat keparahan gejala klinis penderitanya, sehingga akan mengurangi tingkat kematian akibat Covid-19.
Ketiga, mitigasi Covid-19 harus dioptimalkan. Meskipun persebaran kasus Covid-19 dimungkinkan semakin terkendali, namun penularannya tidak serta merta hilang. Karena itu, mitigasi yang kuat harus dilakukan untuk mencegah dan menanggulangi kasusnya. Selain sosialisasi dan edukasi tentang pola hidup sehat, pentingnya protokol kesehatan harus terus dilakukan kepada masyarakat,yang tak kalah penting adalah penanganan yang cepat dan tepat saat ada warga yang terpapar Covid-19. Selain mencegah perluasan penularan, penanganan yang cepat dan tepat juga akan mengurangi risiko kematian.
Dengan tiga ikhtiar tersebut, barulah kita bisa berharap aktivitas publik akan kembali dibuka dengan sedikit pembatasan-pembatasan tertentu. Masyarakat bisa kembali menikmati aktivitas mudik dan pariwisata, tetapi lebih tenang karena telah divaksinasi dan tetap disiplin protokol kesehatan. Begitu pula dengan para pelajar yang bisa kembali belajar di dalam kelas, pekerja yang kembali berangkat kantor, pelaku UMKM bisa lebih lebar ruang geraknya, masyarakat bisa kembali menjalankan aktivitas keagamaan dengan lebih tenang. Sekali lagi, jangan bayangkan seandainya pandemi pergi, tetapi anggap saja kita perlu hidup berdampingan lebih lama dengan Covid-19. []
#lombamenulisopini
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.