Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Muhammad Itsbatun Najih

Resensi Buku sebagai Vaksin Pandemi Iliterat

Lomba | 2021-09-25 21:50:07
contoh resensi buku yang tayang di media massa cetak. sumber: dokumen pribadi
contoh resensi buku yang tayang di media massa cetak. sumber: dokumen pribadi

Mari membincang tentang buku --yang bertebal ratusan halaman! Pernah ada gebrakan berkait pengembangan literasi. Yakni, Permendikbud Nomor 21 Tahun 2015 tentang Penumbuhan Budi Pekerti yang salah satu item-nya berupa kewajiban bagi setiap siswa untuk membaca buku selama 15 menit selain buku mata pelajaran sebelum hari pembelajaran. Permendikbud ini keluar di tahun di mana Taufiq Ismail merilis hasil penelitiannya bahwa, rentang 1975-2015, sebagian besar siswa tidak khatam menelaah satu pun karya sastra selama bersekolah.

Enam tahun berselang, saya menanyakan dampak implementasi peraturan tersebut kepada seorang teman, Supadilah, yang berprofesi sebagai guru SMA di Banten. Tuturnya: siswa lebih banyak mengobrol ketimbang membaca buku alias minim antusiasme; lebih-lebih saat pandemi Covid-19. Hal ini juga selaras riset Sarwiji Suwandi (2019), di mana siswa kita memang masih mengakrabi dan menggemari kegiatan menonton ketimbang membaca.

Banyak warta mengabarkan keprihatinan-kemasygulan dengan narasi tingkat literasi kita terbilang rendah. Terutama membaca buku. Padahal kemampuan literasi merupakan pijakan melahirkan sumber daya manusia unggul di berbagai bidang kehidupan. Karena itu, perlu ada terobosan agar lekas teranggap literat. Menjadikan pandemi Covid-19 momentum titik balik.

Langkah awal bisa dimulai dari elemen pendidikan: siswa. Sangat boleh jadi, siswa malas membaca lantaran buku bertebal ratusan halaman. Sebaliknya, siswa membaca tulisan empat-lima lembar, rasa-rasanya tidak berkeberatan. Empat-lima lembar berisi informasi substansi buku yang bertebal dua ratusan halaman. Dengan membaca tulisan empat-lima lembar yang dikemas menarik-informatif, siswa tersebut seakan-akan telah merampungkan membaca dua ratusan halaman buku. Ya, tulisan empat-lima lembar itu bersebut resensi buku.

Secara sederhana, resensi buku adalah narasi komentar berkenaan buku: kritik-pujian. Muasalnya, resensi buku banyak dijumpa di majalah dan koran edisi Minggu. Sayangnya, rubrik Resensi banyak yang ditutup/dihapus berdalih efisiensi. Padahal rubrik ini dapat memicu melek baca buku di masyarakat dengan resensi yang terseleksi/terpilih. Lebih-lebih saat pandemi ini, banyak penerbit buku –selaku produsen-- mengalami kerugian besar. Sepuluh tahun menggeluti dunia peresensian di koran-majalah, saya katakan, imbas Covid-19 inilah, kondisi para peresensi di media massa cetak serasa mati suri.

Di media massa, rubrik Resensi teranggap dianaktirikan ketimbang rubrik Opini, Cerpen, Puisi. Peresensi tidak dianggap “profesi”; kalah mentereng ketimbang kolumnis, esais, dan cerpenis. “Resensi” buku memang banyak dijumpa di jagat maya. Namun, artikel resensi semacam itu berkonsekuensi menyeret pertanyaan seberapa berkualitas resensi tersebut lantaran tanpa melalui seleksi ketat sebagaimana resensi yang tayang di koran-majalah. Ironisnya, banyak resensi di jagat maya bertipikal sinopsis dan perkara resensi dianggap sama dengan ringkasan buku.

Pandemi Covid-19 tentu menunda capaian menuju masyarakat literat. Agar hasil bisa terarah dan terukur, sememangnya percepatan dimulai dari sektor pendidikan; guna memutus mata rantai malas baca (iliterat) secara efektif. Butuh kolaborasi pemerintah, sekolah, dan swasta (baca: peresensi). Pemerintah perlu lekas mengapresiasi peresensi profesional dengan memintanya menyebarkan resensinya kepada siswa. Para peresensi akan memilihkan buku-buku yang tepat untuk diresensi. Sekolah bisa turut menyediakan sarana/infrastruktur kegiatan tersebut. Sementara pemerintah menyediakan alokasi anggaran.

Konklusinya: siswa terpacu nalar kritisnya, dapat mengintegrasikannya dengan muatan buku teks mata pelajaran, dan seakan-akan telah membaca belasan buku dalam sebulan. Profesi peresensi pun kiranya bakal sejajar dengan cerpenis, kolumnis, dan esais. Industri buku perlahan bisa kembali menggeliat. Alokasi 15 menit untuk membaca resensi justru menjadi kegiatan efektif.

Spirit merdeka belajar, para peresensi yang tadinya bergelut meresensi buku di media massa cetak kini mulai bergerak di media sosial. Hal ini adalah cara beradaptasi-transformasi para peresensi konvensional ke arah era digital. Saya melihat ikhtiar meresensi semacam ini tampak semarak, utamanya di Instagram. Gairah berbuku pada kalangan warganet serasa menggeliat. Tak sedikit pembaca resensi yang akhirnya memutuskan membeli buku setelah membaca ulasan para bookstagram tersebut. Dan tahukah, proklamator kemerdekaan Indonesia, Bung Karno dan Bung Hatta, keduanya juga merupakan peresensi buku yang amat ulung.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image