Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Latifatul Zahiroh

Seni Menyikapi Pandemi: Memutus Rantai Andai

Lomba | 2021-09-25 20:56:45
Sumber gambar: https://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/009732900-1584609539-830-556.jpg

Terkesan paradoksikal, memang, saat kebanyakan sudut pandang memosisikan sisi positif dari berandai-andai di tengah krisis multiaspek ini, narasi ini justru memilih jalur sebaliknya. Pandemi Covid-19 tentunya bukan keinginan kita semua. Apalagi, dampaknya yang tak main-main di berbagai bidang—yang pastinya lebih dari sekadar memusingkan. Berbicara Covid-19, seakan tak ada habis ujungnya. Namun berandai-andai jika tak ada eksistensinya, apakah sebuah jalan keluar?

Penting untuk digarisbawahi bahwa mengasosiasikan imajinasi pada kondisi yang tak sesuai situasi real justru melahirkan fantasi. Tanpa bermaksud mendiskreditkan, pasti tetap ada sisi positifnya, misalnya sebagai hiburan seolah-olah kita hidup tanpa pandemi atau pandemi telah pergi. Namun perlu diketahui, gairah berangan-angan jika dibiarkan berkelanjutan, dapat memungkinkan kita terjebak pada keadaan “tak terima” terhadap keadaan. Fantasi mengumpamakan Covid-19 tak ada, bisa-bisa membawa pada sikap “lari”, sibuk dengan pikiran sendiri, dan itu cenderung makin membebani diri. Ringkasnya, perlu disadari sepenuhnya bahwa Covid-19 itu ada, dan normal untuk bersikap apa adanya.

Realistis dalam memandang keadaan adakalanya menjadi langkah solutif. Dengan memahami dan menerima sepenuhnya apa telah terjadi, kita akan menggali lebih dalam, memberanikan diri untuk beraksi, serta punya sense of progress. Mindset inilah yang dapat mengarahkan kita pada tindakan proaktif, bukan pasif meratap dan membayangkan sisi imajiner “manis” tanpa pandemi. Kepekaan realistis akan membawa kita pada upaya berproses keluar dari zona leha-leha menuju metode problem-solving daripada memperbanyak waktu untuk bergeming.

Alih-alih berandai-andai, lantas bagaimana menykapi pandemi?

Adapun menilik pada landasan negara, yakni Pancasila, sebagaimana esensi sila ke-1: “Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka sudah semestinya kita menempatkan peran kita melebihi sekadar menjadi manusia, tetapi juga makhluk yang memiliki keyakinan pada Sang Pencipta, termasuk terkait dengan keberadaan pandemi. Mungkin terdengar klise, tetapi setiap peristiwa pasti selalu ada hikmahnya, pun halnya dengan pandemi. Disadari atau tidak, pandemi merekatkan kembali anak dan bapak yang biasanya sibuk di kantor, menggugah sisi “keguruan” seorang ibu demi mendidik anaknya di balik layar “School from Home”, mendekatkan manusia pada Sang Pencipta dengan peringatan akan kematian yang tak kenal waktu, usia, hingga tanpa aba-aba. Dan pastinya, masih banyak lainnya yang bisa kita teropong sebagai suatu lesson learned.

Di sisi lain, dengan keberadaan Covid-19, kita jadi “dipaksa” untuk menormalkan hal-hal baru. Tak dipungkiri pula bahwa Covid-19 membuahkan kebijakan-kebijakan hingga kebiasaan-kebiasaan baru yang silih hadir dan berlalu. Akibatnya, banyak pola hidup kita yang berubah signifikan. Dari yang biasanya menghirup udara bebas harus “terbatasi” dengan masker, dari yang tadinya melenggang bebas, hang out dengan sahabat, traveling, kulineran, atau menjelajah pusat perbelanjaan—semua jadi serba tak boleh sebablas saat sebelum Covid-19. Kenyataannya, memang tak mudah, karena namanya juga “paksaan” untuk melakukan kebiasaan baru. Maka sebaliknya, perlu sebuah kerelaan. Bukan memaksakan keadaan untuk mengikuti kemauan kita, tetapi bagaimana kita mematuhi alur yang semestinya untuk mencapai kondisi normal yang sejatinya demi kebaikan bersama dan bukan egoisme semata.

Jauh di lubuk hati, ketika kita dihadapkan pada sesuatu yang baru, tentu ada perasaan rindu pada yang lama, apalagi jika itu merupakan hal-hal yang memberikan kita arti “bahagia”. Dapat diakui, karena pandemi, banyak aspek jadi terbelenggu, seakan ingin lari, tetapi ada konsekuensi buruk yang harus ditanggung nanti. Pandemi secara garang telah memisahkan kita dari apa-apa yang mungkin kita sangat inginkan. Jika membahas “andai” pandemi pergi, tentu yang religius ingin segera rumah-rumah ibadah ramai kembali, yang suka dugem tak sabar segera berpesta, pun yang kehilangan pekerjaan karena PHK ingin segera menemukan kembali jalan rezekinya.

Membayangkan pandemi berakhir memang tampak manis, tetapi juga dapat meneteskan bulir-bulir tangis, karena faktanya itulah fantasi, angan-angan belaka, karena berjumpa realitas yang sebaliknya. Oleh karena itu, teruslah ingatkan diri bahwa pandemi adalah public enemy yang harus diperangi, bukan dihindari dengan bermacam “andai” yang dibarengi sikap statis cenderung pasrah. Wajar apabila merasa gelisah, lelah, bahkan ingin marah, karena fitrah kita adalah manusia. Namun perlu diingat, bahwa kita juga punya kekuatan lebih dari yang kita punya, yaitu bagi yang mau percaya pada Sang Pencipta. Terlepas dari perspektif sains dan riset ilmiah, pandemi eksis juga karena bagian dari takdir. Sekali lagi, kita sebagai manusia yang memiliki rasionalitas terbatas, perlu menyadarkan diri akan pentingnya suatu penerimaan akan hal tersebut.

Dengan demikian, menyikapi pandemi seharusnya lebih cenderung didominasi oleh hati yang mau memahami, bahwa ini akan berakhir dengan kerelaan, sebab dengan itu kita bisa lebih belajar seni bersikap “menerima” keadaan. Singkatnya, jalanilah hari-hari (bersama pandemi) dengan kesadaran maksimal yang nantinya menelurkan rasa syukur. Dengan begitu, kita jadi bersedia berjuang secara nyata hingga mencapai garis finish untuk menemui kondisi normal yang original. Dengan kata lain, terlepas ingin berandai-andai atau sejenisnya, tetaplah beri porsi self-control, beri ruang dalam dada untuk jangan lupa bersikap nyata. Jangan pula abai dengan bentuk syukur-syukur kecil, sesimpel apresiasi diri sendiri karena sudah bertahan sejauh ini, berterima kasih pada-Nya atas kesempatan hidup di dunia ini, atas oksigen gratis yang alami, atas kemampuan lainnya yang bisa jadi sering tak kita sadari, termasuk sesederhana momen untuk masih bisa membaca tulisan ini.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image