Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Habibullah Habibullah

PEREMPUAN DAN MASALAHNYA

Agama | Saturday, 25 Sep 2021, 20:51 WIB

Sejak perempuan pertama bernama Hawa diciptakan, marginalisasi perempuan dimulai. Hawa dikisahkan sebagai biang kerok terusirnya sang suami, Adam, dari surga. Ini tuduhan memojokkan. Kisah tersebut terpelihara dengan baik dalam babakan sejarah. Bahkan, kisah mahkluk Tuhan ini, di beberapa era, lebih buruk. Sangat parah. Berdasarkan catatan Quraish Shihab dalam buku “Perempuan”, mereka kadang dianggap benda, separuh manusia, atau seberbahaya ular.

Dalam babakan sejarah pula kita menemukan perempuan yang bangkit berjuang melawan stereotip itu seraya mendeklarasikan dirinya sebagai manusia utuh. Misalnya, Asiah di era diktator Firaun, Khadijah, Aisyah, dan Ummu Salamah di tengah kentalnya sikap misoginis Arab, Fatima Mernissi di Maroko, Nawal El Saadawi di Mesir, Cho Nam-Joo di Korsel, dan Kalis Mardiasih di Indonesia.

Lewat buku ini, Kalis berjuang membela nasib kaumnya. Tidak mudah ternyata. Sebab lawannya tidak hanya pria, tapi juga perempuan. Buku ini justru ditulis – menurut pengakuan Kalis - disebabkan betapa sebagian kaum perempuanlah yang acapkali tidak simpati terhadap nasib sesamanya. Dengan geram dia menulis pernyataan teman muslimahnya, seorah penceramah, yang dia anggap tidak simpatik tersebut:

“Makanya, ibu-ibu, Bapak-Bapak, sejak kecil anak harus dikenalkan dengan ilmu agama dan diajari untuk menutup aurat dengan baik agar tidak salah pergaulan. Kasihan, kan, kalau zina, apalagi sampai hamil di luar nikah, orangtuanya nanggung dosa, anak yang lahir juga kena dampaknya”. (halaman 19).

Di halaman-halaman selanjutnya Kalis juga tak habis pikir terhadap pernyatan sebagian muslimah yang dengan mantap berdakwah bahwa ciri wanita salihah itu yang tidak keluar rumah, bersuara halus dengan dandanan penuh dengan simbol agamais, dan perempuan mesti pandai-pandai menjaga diri agar terhindar dari dosa. Sepintas ajakan itu baik. Ia kemudian keliru besar saat ditilik lebih jauh.

Menurut tilikan Kalis, dakwah-dakwah yang demikian tidak simpatik dan nir-tepa salira lantaran hanya mengandalkan kebenaran tunggal subyektif berdasarkan pandangan fikih sempit. Si pendakwah lahir dari keluarga baik-baik dan sejahtera lantas menganjurkan semua perempuan untuk bertindak sesuai dengan pola pikirnya. Tentu tidak bisa. Mereka gagal memahami bahwa di luar sana banyak perempuan yang hamil di luar nikah karena ditindik secara sewenang-wenang oleh juragan, atasan, atau pria yang lebih berkuasa. Bukan karena si wanita tidak berjilbab.

Di luar sana juga banyak perempuan banting tulang menghidupi keluarganya, bahkan secara terpaksa lewat prostitusi, lantaran itulah satu-satunya cara bertahan hidup. Mereka memilih tidak jadi wanita “salehah” yang harus terpenjara di rumah, demi menyambung hidup keluarga.

Kalis berpikir alangkah baiknya tidak hanya perempuan yang dipersoalkan, tapi juga pria, karena ini lebih urgen. Diperlukan suara-suara perempuan di permukaan agar pria mengerti bagaimana sebenarnya perempuan. Dai muslimah mesti tampil menyuarakan nasib perempuan, apa yang mereka inginkan, penderitaan apa yang sekian lama mereka pendam, bukan malah mengatur perempuan sedemian rupa guna melindungi kebuasan laki-laki terhadap komunitas Hawa.

Kalis mengidolakan perempuan seperti Aisyah sebab, saat Abu Huraira bilang bahwa perempuan - secara tidak langsung- disamakan dengan keledai, dan anjing, Aisyah meluruskan serta memberikan riwayat hadis tandingan tentang kemuliaan perempuan. Kalis juga mengidolakan Ummu Salamah yang memperjuangkan perempuan dan berani “menggugat” Allah yang jarang menyebut wanita dan lebih banyak menyebut pria dalam Al-Quran. Dari gugatan itu, Allah memberikan klarifikasi dan afirmasi bahwa wanita dan pria sama.

Kalis mengajak agar perempuan saling bersimpatik. Bukan antipati. Jangan diam. Suarakan nasib dan apa maunya. Lewat media apa saja. Tidak mungkin ada tindakan simpatik terhadap perempuan, jika dunia – yang didominasi kaum pria - tidak tahu nasib dan keinginan mereka.

Di samping itu, yang lebih berhak membicarakan tentang perempuan adalah perempuan. Yang lebih pas tampil menjadi pembicara di tengah jamaah perempuan adalah perempuan. Undanglah pembicara perempuan, bukan pria. Dengan begitu, kata Kalis, pembicara laki-laki dengan pola pikir yang kental patriarkis, bisa dihindari.

Dua puluh dua tulisan dalam buku ini bukanlah provokasi agar kaum wanita melawan atau menggulingkan kekuasaan pria. Sama sekali tidak. Pandemi patriarkis bukan khas pria. Perempuan juga bisa terinfeksi wabah patriarkis. Pria tidak semuanya patriarkis. Poin penting dari buku ini adalah deklarasi bahwa perempuan adalah manusia, setara pria, haram dimarginalisasikan, dan disubordinasikan dalam semua dimensi kehidupan. Deklarasi ini ditujukan pada bani Adam dan Hawa.

Kalis, menurut saya, menulis buku ini sebagai orang yang sedang mencari kebenaran, bukan telah menemukan kebenaran final. Dari deretan kasus yang dijalin dengan narasi hadis, ayat, dan data dalam buku ini, tidak membuat Kalis terburu-buru memberikan kesimpulan apa yang benar menurut dirinya, namun dia ramu itu semua dalam gelembung logika bahwa andaikata yang terjadi selama ini benar, yakni kasus marginalisasi dan stigmatisasi terhadap wanita, lalu mengapa ia bertentang dengan dasar agama dan akal sehat.

Dia hanya berhenti di sini. Bertanya dan mempertanyakan. Walau jelas apa ujung jawabannya. Bedanya, yang menjawab adalah pembaca buku, bukan penulisnya.

Gaya tulisan seperti ini, bagi saya, mengandung dua makna. Pertama, Kalis tidak ingin mengajak pembaca berdebat, melainkan merenung. Kedua, pembaca diajak untuk menelusuri persoalan secara perlahan, tenang, santai dengan menggunakan akal sehat yang dipadukan dengan beragam kisah dan dalil agama agar nurani pembaca tersentuh. Ini, menurut saya, poin kelebihan tersendiri, sebab jika gagal menyampaikan dalil agama secara benar, pikiran pembaca akan terkunci dalam deru perdebatan tafsir agama yang kemungkinan makin mengeruhkan nurani.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image