Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Slamet Samsoerizal

Asalusul Nama Daerah: Dari Pemalang sampai Palembang

Sejarah | Thursday, 19 May 2022, 09:33 WIB

Menapak jejak nama-nama daerah di Nusantara, berarti menanamkan kesadaran bersejarah kepada generasi penerus. Berikut asal-usul nama-nama daerah di Nusantara, yang dirangkum dari berbagai sumber.

sumber foto: istimewa

Pemalang

Kabupaten Pemalang merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang terletak di pantai utara Pulau Jawa. Secara astronomis Kabupaten Pemalang terletak antara 1090 17′ 30″ – 1090 40′ 30″ BT dan 80 52′ 30″ – 70 20′ 11″ LS.

Dari Semarang (Ibu Kota Provinsi Jawa Tengah), Kabupaten ini berjarak kira-kira 135 Km ke arah barat, atau jika ditempuh dengan kendaraan darat memakan waktu lebih kurang 2-3 jam. Kabupaten Pemalang memiliki luas wilayah sebesar 1.115,30 km2. Wilayah ini di sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Purbalingga dan di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan dan di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Tegal.

Sejarah Kabupaten Pemalang terbentang sejak zaman Prasejarah, Mataram Islam, hingga penjajahan Belanda sampai saat ini. Bukti yang menunjukkan Pemalang sudah dihuni sejak masa Prasejarah melalui beberapa temuan arkeologis. Salah satunya penemuan patung Ganesha serta situs kuburan di Desa Lawangrejo dan Desa Banyumudal.

Pendirian Kabupaten Pemalang, dikaitkan dengan runtuhnya Kesultanan Pajang. Menurut berbagai sumber, sejumlah bangsawan Pajang banyak yang melarikan diri ke arah barat untuk mencari penghidupan yang lebih layak. Beberapa di antara mereka ada yang sampai ke daerah yang kini masuk wilayah Kabupaten Pemalang.

Salah satu bangsawan Pajang itu bernama Raden Sida Wini. Dia membuka daerah Pemalang dan menobatkan diri sebagai Adipati di sana. Pengakuan masyarakat terhadap pemerintahan di Pemalang ini terjadi pada tanggal 22 Januari 1575. Sumber lain menyebutkan bahwa bangsawan Pajang yang membuka daerah Pemalang bernama Pangeran Benawa.

Pengeran Benawa adalah putra pendiri Kesultanan Pajang yang bergelar Sultan Hadiwijaya. Dengan demikian, Pangeran Benawa sebenarnya berstatus sebagai Putra Mahkota Pajang, yang berhak atas tahta ayahnya. Kepergian Pangeran Benawa ke Pemalang juga atas perintah dari ayahnya yaitu Sultan Hadiwijaya. Saat itu Sultan Hadiwijaya memerintahkan Pangeran Benawa untuk membuka daerah Pemalang. Namun sebelumnya Pangeran Benawa diminta untuk mengambil keris pusaka dari Kesultanan Banten.

Pengeran Benawa menuruti perintah ayahnya. Sepulang dari mengambil keris, dia pun menuju ke satu desa di wilayah Pemalang. Di sana, Pangeran Benawa menggoreskan kerisnya ke cabang pohon. Wilayah ini kemudian disebut Panggarit. Panggarit berasal dari dua kata, pertama pang yang berarti ‘cabang’, dan garit yang berarti ‘goresan’. Hingga saat ini daerah itu tetap dikenal dengan nama Desa Panggarit, serta terdapat petilasan Pangeran Benawa yang disebut Jambandalem.

Nama Pemalang, digunakan untuk menyebut daerah ini sejak zaman Majapahit. Oleh Patih Gajah Mada, daerah Pemalang dijadikan sebagai pangkalan perang ke Sriwijaya. Di daerah itu terdapat seorang tokoh besar yang bernama Ki Buyut Jiwandono atau Ki Buyut Banjaransari.

Tokoh ini memberikan dukungan penuh terhadap Majapahit, sehingga wilayah Pemalang dijadikan daerah perdikan, yaitu daerah yang tidak perlu membayar pajak. Memasuki usia senja, Ki Buyut Banjaransari menyerahkan kekuasaannya kepada Raden Joko Malang.

Diduga nama Pemalang berasal dari sosok Raden Joko Malang ini. Pasalnya, kata “pe” dalam bahasa Jawa berarti ‘tempat’, sedangkan kata malang merujuk pada ‘Raden Joko Malang’. Pemalang berarti ‘tempat yang dikuasai oleh Raden Joko Malang.’

sumber foto: radardepok.com

Depok

Kota Depok bermula dari sebuah Kecamatan yang berada di lingkungan Kawedanan (Pembantu Bupati) wilayah Parung Kabupaten Bogor. Pada tahun 1976 perumahan mulai dibangun baik oleh Perum Perumnas maupun pengembang yang kemudian diikuti dengan dibangunnya kampus Universitas Indonesia (UI), serta meningkatnya perdagangan dan jasa yang semakin pesat sehingga diperlukan kecepatan pelayanan.

Perkembangan Depok yang begitu cepat menjadi perhatian bagi Pemerintah Orde Baru. Menteri Dalam Negeri kala itu, Amir Machmud, mulai mengkaji peningkatan status Kecamatan Depok menjadi Kota Administratif. Peningkatan status Kota Depok dilakukan agar pembangunan lebih tertata dan terarah sebagai kota masa depan, ketimbang dikelola sepenuhnya oleh Kota Bogor yang hanya sebagai kecamatan yang dipimpin oleh Camat.

Pembentukan Kota Administratif Depok dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri Amir Machmud sekaligus melantik Wali Kota Administratif yang pertama, yaitu Mochammad Rukasah Suradimadja oleh Gubernur Jawa Barat, Aang Kunaefi.

Di awal tahun 1999, Kota Administratif Depok dimekarkan dan seluruh desa berganti status menjadi Kelurahan. Hingga akhirnya pada tanggal 20 April 1999, berdasarkan Undang-undang No.15 tahun 1999, Kota Depok diresmikan menjadi Kotamadya Daerah Tk. II Depok. Peresmian pembentukan Kotamadya Daerah Tk.II Depok dilakukan pada tanggal 27 April 1999 bersamaan dengan Pelantikan Pejabat Walikotamadya Kepala Daerah Tk. II Depok saat itu, Drs. H. Badrul Kamal, yang menjabat sebagai Walikota Kota Administratif Depok.

Menilas balik, zaman baheula, Depok merupakan dusun kecil dan terpencil. Kini telah menjelma menjadi sebuah kota. Hutan belantara dan semak belukar berganti menjadi bangunan tinggi dan perumahan. Jalan Raya Margonda riuh ramai dengan kendaraan. Depok menjadi rumah bagi sebagian besar pelaju yang bekerja di Jakarta.

Bagaimana asal mula namanya hingga kini santer dikenal sebagai kota penyangga di Jakarta? Ada sejumlah versi terkait asal mula nama Depok. Dalam buku “Depok Tempoe Doeloe: Potret Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat” karya Yano Jonathans, mencatat dua versi asal mula Depok.

Versi pertama berkaitan dengan kegiatan pertapaan. Menurut Jonathans, tanah yang dibeli oleh Cornelis Chastelein telah bernama Depok. Pada 18 Mei 1696, tanah dusun terpencil dengan hutan dan semak belukar dibeli oleh Cornelis Chastelein. Cornelis merupakan seorang petinggi Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Berdasarkan catatan yang ada, wilayah Depok banyak digunakan sebagai tempat pertapaan pada masa itu karena ketenangannya. Tempat favorit pertapaan itu diperkirakan berada di sekitar hutan Depok, Situ Pancoran Mas, dan tepian Kali Ciliwung. Mereka membuat padepokan (dangau) sederhana dari bahan bambu untuk bersemedi.

Saat berusia anak-anak pada tahun 1959, Jonathans sempat menemukan padepokan yang dibangun di tepi Sungai Ciliwung dekat Kedung Eretan untuk keperluan bersemedi orang tertentu. Menurut versi ini, nama Depok itu berasal dari kata padepokan.

Versi kedua, tentang awal mula nama Depok juga dikenal dari bentuk akronim. Depok merupakan singkatan dari "De Eereste Protestantse Organisatie van Kristenen". Dalam terjemahannya, singkatan itu berarti ‘Jemaat Kristen yang Pertama’. Akronim tersebut muncul pada tahun 1950-an di kalangan masyarakat Depok yang tinggal di Belanda.

Seiring munculnya ragam mall dan perumahan elite sejak ahir tahun 1990-an, saya malah pernah mendengar dan membaca bahwa DEPOK yang merupakan akronim dari ‘Daerah Elite Punya Orang Kota.’

sumber foto:palembang.go.id

Palembang

Kota Palembang merupakan kota tertua di Indonesia berumur setidaknya 1337 tahun jika berdasarkan prasasti Sriwijaya yang dikenal sebagai prasasti Kedudukan Bukit. Menurut Prasasti yang berangka tahun 16 Juni 682. Pada saat itu oleh penguasa Sriwijaya didirikan Wanua di daerah yang sekarang dikenal sebagai kota Palembang. Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam oleh air. Air tersebut bersumber baik dari sungai maupun rawa, juga air hujan. Bahkan saat ini kota Palembang masih terdapat 52,24 % tanah yang yang tergenang oleh air (data Statistik 1990).

Berkemungkinan karena kondisi inilah maka nenek moyang orang-orang kota ini menamakan kota ini sebagai Pa-lembang dalam bahasa melayu Pa atau Pe sebagai ‘kata tunjuk suatu tempat atau keadaan’; sedangkan lembang atau lembeng artinya tanah yang rendah, lembah akar yang membengkak karena lama terendam air (menurut kamus melayu), sedangkan menurut bahasa melayu-Palembang, lembang atau lembeng adalah genangan air. Jadi Palembang adalah ‘suatu tempat yang digenangi oleh air.’

Ada tulisan menarik dari kronik Cina Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau Ju-Kua pada abad ke 14, menceritakan tentang Sriwijaya. Negara ini terletak di Laut selatan, menguasai lalu lintas perdagangan asing di Selat. Pada zaman dahulu pelabuhannya menggunakan rantai besi untuk menahan bajak-bajak laut yang bermaksud jahat. Jika ada perahu-perahu asing datang, rantai itu diturunkan. Setelah keadaan aman kembali, rantai itu disingkirkan. Perahu-perahu yang lewat tanpa singgah dipelabuhan dikepung oleh perahu-perahu milik kerajaan dan diserang. Semua awak-awak perahu tersebut berani mati. Itulah sebabnya maka negara itu menjadi pusat pelayaran.

Tentunya banyak lagi cerita, legenda bahkan mitos tentang Sriwijaya. Pelaut-pelaut Cina asing seperti Cina, Arab dan Parsi, mencatat seluruh perisitiwa kapanpun kisah-kisah yang mereka lihat dan dengan. Jika pelaut-pelaut Arab dan Parsi, menggambarkan keadaan sungai Musi, dimana Palembang terletak, adalah bagaikan kota di Tiggris. Kota Palembang digambarkan mereka adalah kota yang sangat besar, dimana jika dimasuki kota tersebut, kokok ayam jantan tidak berhenti bersahut-sahutan (dalam arti kokok sang ayam mengikuti terbitnya matahari). Kisah-kisah perjalanan mereka penuh dengan keajaiban 1001 malam.

Pelaut-pelaut Cina mencatat lebih realistis tentang kota Palembang, tempat mereka melihat bagaimana kehidupan penduduk kota yang hidup diatas rakit-rakit tanpa dipungut pajak. Sedangkan bagi pemimpin hidup berumah ditanah kering diatas rumah yang bertiang. Mereka mengeja nama Palembang sesuai dengan lidah dan aksara mereka. Palembang disebut atau diucapkan mereka sebagai Po-lin-fong atau Ku-kang yang berarti ‘pelabuhan lama’.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image