Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Ahmad Miftahul Farohi

Andai Pandemi Pergi, Bisakah Rebahan Dikurangi?

Lomba | 2021-09-23 21:34:31
Sumber : Republika

Pandemi Covid-19 sudah satu tahun lebih mewabah di seluruh bagian dunia. Diawali dengan kemunculan virus Corona di Tiongkok, kasus pertama Covid-19 di Depok, hingga saat ini di mana masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) berkali-kali diperpanjang karena angka kasus Covid-19 yang masih sering naik turun. Sehingga masih belum memungkinkan untuk berkegiatan di luar rumah seperti biasa seperti sebelum ada pandemi.

Tentunya, karena situasi yang cukup berbahaya di luar akibat adanya kasus positif Covid-19 pada Maret 2020 lalu, maka pemerintah memutuskan untuk menonaktifkan beberapa kegiatan yang biasa dilakukan di luar rumah, sehingga dengan sangat terpaksa kegiatan-kegiatan tersebut hanya dilakukan di dalam rumah. Keputusan itu dilakukan dengan harapan dapat mengurangi angka penularan Covid-19 dan agar pandemi ini dapat segera berakhir.

Salah satu pihak yang terkena dampak dari adanya pandemi Covid-19 ini para siswa. Pembelajaran yang biasanya dilakukan secara tatap muka di sekolah kini harus dilaksanakan secara online. Hal itu membuat sebagian besar siswa mengeluh dengan pemberlakuan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh). Selain tidak bisa mendapatkan uang jajan, tidak bisa bertemu dengan teman-teman dan guru, ditambah lagi susah untuk memahami pelajaran yang dijelaskan oleh guru selama pembelajaran online. Sehingga membuat semangat belajar para siswa menurun. Belum lagi tak sedikit guru yang malah tidak menjelaskan sama sekali terkait materi pembelajaran dan membuat para siswa menjadi tambah malas belajar.

Selain itu, dampak lain yang terjadi kepada siswa adalah siswa menjadi tidak disiplin. Mereka yang biasanya pagi-pagi sudah bangun untuk mandi dan bersiap-siap berangkat ke sekolah, kini masih berada di atas kasur dan tertidur dengan pulas. Tidak sedikit siswa yang telat masuk room pembelajaran. Hal tersebut kebanyakan disebabkan oleh karena siswa bergadang hingga larut malam. Sehingga sudah pagi pun ia masih tetap nyaman di kasurnya.

Mereka berpikiran telat pun tidak akan dimarahi karena tidak akan mengganggu. Bahkan mungkin tidak akan ketahuan. Tak hanya itu, mereka juga berpikiran bahwa jika mereka telat dan ternyata kepergok oleh guru, mereka bisa beralasan yang mungkin bisa dimaklumi oleh guru, seperti baru ada sinyal, baru beli kuota internet, dan alasan-alasan lainnya. Sehingga guru juga tidak bisa mengelak, karena guru sendiri pun tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya, apalagi kalau sampai menuduh sembarangan. Alhasil guru jadi merasa serba bersalah dan siswa yang telat tadi dibiarkan begitu saja, hanya diberi nasihat ringan.

Tak hanya itu, pembelajaran yang dilakukan secara online penuh juga memiliki dampak lain, yaitu siswa menjadi lebih banyak rebahan daripada bergerak, seperti olahraga dan semisalnya. Siswa lebih nyaman tiduran sambil memainkan gadgetnya daripada duduk sambil membaca buku ataupun ngobrol dengan keluarga. Jika sekolah tatap muka, setidaknya siswa akan lebih banyak bergerak, seperti di mata pelajaran olahraga, di saat bermain kejar-kejaran, ataupun hanya sekadar berjalan ke tempat kerja kelompok.

Tapi apa yang dilakukan ketika proses pembelajaraan dilakukan di rumah? Rebahan menjadi kegiatan nomor satu yang diprioritaskan oleh hampir semua siswa. Bahkan saat proses pembelajaran berlangsung pun sudah dapat dipastikan kebanyakan siswa melakukannya sambil rebahan, apalagi jika tidak diwajibkan menyalakan video.

Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan rebahan ini. Rebahan juga hak kita semua. Hanya saja, rebahan lebih banyak mengundang kemalasan daripada mengundang kemauan. Rebahan lebih sering membuat mata layu dan mengantuk daripada membuat mata melek dan semangat. Rebahan lebih sering membuat kita berkata ‘iya, sebentar’ daripada membuat kita berkata ‘siap, berangkat’. Rebahan lebih sering membuat kita ingin melanjutkan mimpi daripada membuat kita mewujudkan mimpi. Dan masih banyak lagi efek samping dari rebahan.

Selain itu, terlalu banyak rebahan juga dapat berbahaya bagi kesehatan. Terlalu banyak rebahan dapat membuat persendian menjadi kaku, sehingga punggung bagian bawah jadi terasa nyeri. Hal ini bisa terjadi karena pada saat rebahan dalam waktu yang lama, persendian pada tubuh menjadi kurang terlatih. Alhasil sendi pada tubuh jadi terasa kaku dan tidak nyaman.

Oleh karena banyaknya efek negatif dari rebahan yang terlalu lama, maka kita semua diharuskan untuk menguranginya dengan memperbanyak gerak, olahraga, misalnya. Apalagi di kala pandemi ini. Dengan mengurangi rebahan dan memperbanyak gerak seperti olahraga dapat meningkatkan imun tubuh. Sehingga imun tubuh kita menjadi semakin kuat dan kecil kemungkinannya terkena penyakit.

Selain berolahraga, salah satu hal yang dapat membuat kita secara tidak langsung mengurangi rebahan adalah dengan berkarya. Berkarya apa saja sesuai dengan bakat dan kemampuan kita. Misalnya, menulis, melukis, mendesain, membuat konten yang bermanfaat untuk dibagikan di media sosial, dan lain sebagainya. Atau, jika bingung mau membuat karya apa, membantu orang tua adalah alternatif pilihan lain dalam mengurangi rebahan. Apapun kegiatannya, yang penting bisa mengurangi rebahan. Jika pandemi berakhir, semoga rebahan bisa benar-benar dikurangi. Dikurangi dengan ikhlas dan sukarela tentunya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image