Pagebluk dan Wajah Murung Pendidikan Indonesia
Guru Menulis | 2021-09-23 09:10:31Pandemi sampai detik kalimat ini diketik masih menyelimuti tubuh Indonesia. Ia seperti awan hitam yang setia berada pada sekujur tubuh Indonesia. Jika melihat data yang tersebar dalam dinding media, kasus Covid-19 ini semakin meningkat. Hal ini membuat masyarakat mengerutkan dahi dan menahan getar yang begitu getir dalam dada. Ekonomi, sosial-budaya, politik, dan kesehatan pun mutlak berdampak besar. Tak terkecuali dalam sektor pendidikan. Sejak Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan Covid-19 sebagai pandemi pada tahun 2019 selang 3 bulan sesuai arahan dari Presiden Ir. Joko Widodo seluruh kegiatan dan proses pembelajaran berubah bersar-besaran. Meliputi kegiatan belajar-mengajar, seleksi masuk, dan bahkan sampai wisuda pun dilaksanakan secara daring.
Perubahan radikal yang terjadi pada sektor pendidikan ini seperti dua mata pisau yang saling berhadapan. Di satu sisi, jika meminjam kacamata John Dewey tokoh filsafat progresivisme; pembelajaran secara daring di era pandemi ini memang harus dilakukan karena kondisi krisis dan sangat mengkhawatirkan. Karena secara prinsip filsafat progresivisme pendidikan seharusnya fleksibel. Menolak segala hal yang berbau kekerasan dalam proses pendidikan. Pendidikan yang seharusnya sesuai dengan perkembangan zaman yang relevan dengan teknologi yang berkembang dengan cepat. Supaya anak tidak gagap dalam mengurai segala permasalahan ketika dewasa. Di sisi lain, permasalahan ini muncul terlebih pada pendidikan di daerah. Terlebih daerah yang sudah termaktub dalam 3T (Terluar, Terdepan, Tertinggal). hal ini dipengarui dari sulitnya akses internet, geografis, sumber daya manusia, infrastruktur pendidikan, dan sosial-budaya. Segala permasalahan tersebut menjadikan wajah pendidikan Indonesia murung dan entah kapan tersenyum berbinar untuk mewujudkan mimpi Indonesia Maju.
Barangkali permasalahan di atas sudah klasik dalam pendidikan kita sampai hari ini. Berbagai gagasan dicanangkan, terobosan-terobosan yang awalnya terlihat brilian justru fakta lapangan menambah masalah baru. Sehingga masalah tersebut berkelindan dan ditambah pandemi semakin runyam dan seolah kita kehabisan tenaga untuk mengatasi masalah ini. Menurut hemat penulis, permasalahan ini perlu adanya intervensi dari kemendikbud untuk mengambil kebijakan yang mendalam dan terukur. Karena menurut hemat penulis, apabila permasalahan pendidikan di akar rumput ini belum tuntas, maka pendidikan tidak bisa berkembang dengan merata. Coba kita renungi sejenak permasalahan pendidikan kita.
1. Gagal Merawat Kesadaran
Hal yang paling mendasar dalam meningkatkan pendidikan di Indonesia ialah bagaimana menumbuhkan sekaligus merawat kesedaran anak bahwa pendidikan itu sangat penting sebagai wadah mencari ilmu dan mengembangkan karakter sesuai dengan ciri-ciri bangsa. Karena kesadaran adalah pondasi yang kali pertama ditumbuhkan dalam jiwa anak. Apabila kesadaran sudah tumbuh maka proses pendidikan meliputi kedisiplinan, ketekunan, dan semangat belajar akan terus bertumbuh dan berkembang. Namun realita jauh dari itu semua. Anak belum memiliki kesadaran dalam belajar justru dicekoki dengan barbagai materi. Hal ini akan menghasilkan rutinitas yang membosankan. Secara garis besar akan berdampak pada hilangnya kepercayaan masyarakat dalam pendidikan. Sebagai contoh, anak-anak khususnya di daerah pelosok mereka lebih memilih bekerja seadanya ketimbang belajar di kelas, berdiskusi dengan teman, atau sekadar membaca buku. Karena mereka masih menganggap itu semua hanyalah sia-sia.
2. Pembelajaran Daring berpotensi meningkatkan Egoisme
Seperti sudah kita ketahui bahwa pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas harus ditunda khusus untuk Sekolah Dasar. Hal ini dilandasi dari kasus penyebaran Covid-19 belum menemui angka penurunan. Rasanya di media sosial tidak lagi ada berita yang ada hanyalah deretan angka yang menyusun rumus matematika. Pembelaran daring menjadi salah satu alternatif yang cukup relevan dilakukan. Namun, PJJ juga memiliki dampak yang harus kita pikirkan. Karena belajar di rumah tanpa bertemu dengan teman sekelas dan para guru akan berpotensi meningkatkan eogisme anak. Secara psikologis anak akan berupaya mementingkan diri sendiri dan secara tidak langsung rasa simpati dan empati anak perlahan pudar. Karena PJJ belum mampu menggantikan lingkungan sekolah dalam menempa anak dalam mengasah, mengasuh, dan mengasih sebagai rantai penggerak sosial dan kebudayaan yang berkarakter. Dan ini menjadi masalah serius bagi kita.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.