Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Vudu Abdul Rahman

Pendidikan Kolaboratif: Pembelajaran Tatap Muka Berbasis Terapi Mental

Guru Menulis | Wednesday, 22 Sep 2021, 22:55 WIB

Subtema: Guru dan Komitmen Tanpa Batas Saat Pandemi

Saya kira, kita bisa melihat masa depan wajah Indonesia mulai hari ini. Lihatlah cara tumbuh-kembang anak-anak sekarang! Mereka merepresentasikan rupa harapan Indonesia kelak-kemudian. Namun, bagaimana seandainya mereka tertekan secara mental? Sementara fenomena Pandemi Covid-19 telah memberi dampak isolasi sosial, learning loss, dan literacy loss.

Hampir satu tahun lebih, anak-anak telah berjarak dengan teman, guru, bahkan udara. Sebelum kebijakan Pembelajaran Tatap Muka diberlakukan, mereka mengalami perubahan secara drastis. Terutama perilaku belajar dan literat mereka yang terganggu oleh situasi tak menentu. Hal ini tentu memerlukan perhatian lebih berbagai pihak. Mengingat, setiap anak memiliki latar belakang keluarga yang berbeda. Perhatian yang mereka dapatkan juga sangat beragam dari keluarga masing-masing. Sehingga, keadaan tersebut memengaruhi fisik dan psikis anak-anak itu sendiri.

Anak-anak wajib memiliki ruang-ruang kebahagiaan dalam dunia pendidikan. Mereka tidak sekadar menuntaskan kurikulum yang telah dipatenkan. Sebab, mereka sendiri masih berada dalam fase perkembangan yang dinamis. Terutama, mereka dengan kategori anak-anak usia dini.

Pandemi Covid-19 juga telah memberi pelajaran terhadap semua pihak bahwa pendidikan keluarga sangatlah penting. Sebab, keluarga merupakan ruang belajar pertama bagi anak-anak. Hal ini mengingatkan kita semua terhadap Tripusat Pendidikan Ki Hajar Dewantara. Sekolah tidak bisa berdiri sendiri dalam mendidik setiap anak tanpa terhubung dengan keluarga dan lingkungannya.

Sebagai guru hendaknya mengetahui kondisi fisik dan psikis anak-anak didiknya. Guru tidak serta-merta kemudian langsung memberi berbagai tugas atas nama target pembelajaran. Sebaiknya, guru mampu melihat perilaku mereka saat masuk ke dalam atmosfer PTM pascaisolasi sosial.

Saya menggagas rancangan pembelajaran yang sekaligus membangun mental anak-anak. Pembelajaran tersebut melibatkan TK Al Furqan, Bantarsari, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Selain itu, Badut Pustaka Indonesia diberikan peran sebagai kolaborator dalam pelaksanaannya. Lokasi kegiatan pembelajaran dilaksanakan di Taman Bacaan Masyarakat Mata Rumpaka sebagai laboratorium pembelajarannya. Saya mendirikan TBM Mata Rumpaka sejak 2010 sebagai laboratorium kreativitas.

Foto anak-anak TK Al Furqan bersama Badut Pustaka (Dokumen Pribadi)

Upaya ini merupakan bagian dari kordinasi dalam mewujudkan kolaborasi berbasis chesmistry antarlembaga pendidikan formal, nonformal, dan informal. Rancangan prapembelajaran dimulai dengan pembagian peran antara guru dengan komunitas Badut Pustaka Indonesia. Pembagian peran tersebut bertujuan agar pembelajaran terasa hidup dan menggembirakan bagi anak-anak. Mereka diharapkan tidak terkejut dengan kultur baru dalam pembelajaran tatap muka. Sebab, mereka harus bertemu dalam suasana berbeda yang menekankan pembiasaan penggunaan masker, cuci tangan, dan jaga jarak. Hal ini bisa saja luput dalam pelaksanaannya karena konsentrasi dalam realitas terkadang naik turun—sangat manusiawi.

Sebelum pembelajaran inti dimulai, seorang badut memberikan apersepsi terhadap anak-anak. Ia memberi landasan pertama untuk masuk dalam pembelajaran sesuai kompetensi dasar yang telah ditentukan. Sosok badut merileksasi anak-anak usia dini dengan hal-hal yang menggembirakan untuk menjembatani pembelajaran tersebut. Hal ini berarti bahwa sosok badut tidak sekadar pengisi acara, bahan tertawaan, dan peran kecil dalam sebuah pembelajaran.

Kak Badut menceritakan kisah anak (Dokumen Pribadi)

Baik guru dan badut memiliki peran yang setara, keduanya merupakan teman belajar anak-anak. Roger Scruton pernah berkata bahwa orang tidak suka ditertawakan, sebab dengan begitu ia dijadikan objek. Humor bisa memantik kegembiraan sekaligus sumber masalah jika meletakkannya pada tempat yang salah. Merujuk teori superioritas yang beranggapan bahwa humor sebagai manifestasi rasa superioritas terhadap orang lain atau atas situasi diri sebelumnya. Sementara Thomas Aquinas, seorang filsuf abad pertengahan, mengingatkan bahwa orang yang tak pernah bermain dan bercanda itu melawan akal, dan mudah menjadi jahat.

Intinya, komunitas Badut Pustaka Indonesia tidak sekadar berperan sebagai bahan tertawaan atau pengisi hiburan. Mereka sendiri dilatih terlebih dahulu untuk membaca buku-buku anak sebagai konten yang diintegrasikan dengan pertunjukan sulap, misalnya. Seharusnya, kita perlu mereka dengan sikap menjura ibarat hormat samurai kepada kaisar.

Ikhtiar ini merupakan gagasan yang berawal dari pencarian jalan keluar pembelajaran selama fenomena pandemi Covid-19. Terutama untuk pembelajaran berbasis terapi mental bagi anak-anak usia dini baik daring maupun luring.

Pendidikan pascapandemi harus mampu merayakan kesembuhan Indonesia. Barangkali, langkah ini dapat memberikan kabar gembira bahwa masa depan Indonesia masih cerah sebagaimana keceriaan anak-anak kita.

Langkah-langkah pembelajaran berbasis terapi mental sangat penting digalakkan oleh sekolah, TBM, dan komunitas. Ketiga entitas pendidikan tersebut harus saling membuka pintu untuk menghubungkan ruang-ruang pendidikan itu sendiri.

Kerja sama antara TBM Mata Rumpaka, TK Al Furqan, dan Komunitas Badut Pustaka Indonesia, merupakan upaya pencarian jalan keluar pembelajaran tatap muka dengan memperhatikan protokoler kesehatan. Hal ini dapat menjembatani pembelajaran bermakna yang bahagia setelah anak-anak mengalami fenomena isolasi sosial, learning loss, dan literacy loss.

Peran badut sebagai teman belajar guru dan anak usia dini akan mengisi celah-celah yang selama ini rumpang dalam sebuah pembelajaran. Pada saat guru bercerita, badut bisa menjadi sosok sesuai tokoh yang terdapat dalam buku bacaannya. Ia bisa berpantomim, monolog, dialog, dan multiinteraksi, dengan anak-anak dalam atmosfer pembelajaran.

Anak-anak akan selalu berharap bahwa belajar itu menggembirakan. Bagaimana mewujudkan suasana yang diharapkan anak-anak itu? Sepertinya, ruang-ruang pendidikan harus terbuka, apalagi di masa pandemi. Dengan kata lain, saling membuka pintu untuk tidak sebatas kolaborasi, tetapi memintal chemistry—ikatan batin antarlembaga pendidikan formal, nonformal, dan informal.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image