Tradisi Kopi Pagi dan Asal Mula Kopi Aceh
Gaya Hidup | 2021-09-22 09:23:14Bagi para penikmat kopi di Aceh, tidak ada waktu dan saat-saat yang paling membahagiakan selain ketika menikmati kupi beungoh (baca: kopi pagi). Menyeruput kopi di pagi hari apalagi kupi pancung... Hmmm nikmatnya tiada tara.
Sebab itu jangan heran bila Anda berkunjung ke kedai-kedai kopi di Aceh pada saat pagi hari, Anda boleh jadi tidak akan kebagian tempat duduknya. Kenapa? Karena full booked, pelanggan memenuhi seluruh kursi.
Dalam tradisi ureung Aceh ngopi pagi atau meukupi beungoh bukan hanya sekedar menikmati kopinya saja. Meukupi bengoh bagi ureung Aceh sudah menjadi kebiasaan yang melekat pada tatanan sosial ureung Aceh. Artinya kupi beungoh sebagai awal pagi memulai hari dan berbagai aktivitas lainnya setelah shalat subuh ditunaikan.
Tidak ada yang tahu pasti sejak kapan bermula tradisi kupi beungoh ada seperti sekarang ini. Yang jelas antara Aceh dan kupi sudah menjadi sejoli. Ikatannya sangat kuat sekali. Ibarat kata, bila tidak ngopi pagi maka semangat kerja pun tidak ada. Akibat hana kenong kupi beungoh. Masyarakat Aceh memang tidak dapat dipisahkan dari kopi. Karena itulah, kedai kopi akan banyak kita temui di berbagai pelosok negeri syariat ini.
Namun menurut sebuah catatan hasil penelitian budaya kopi tidak ditemukan di Aceh sampai dengan menjelang akhir Abad ke-19. Hal ini dituliskan oleh seorang peneliti asa Belanda, bahkan saat itu yang ia temukan justru orang Aceh (kebanyakan) minum air putih dan air tebu.
Menyitasi tulisan tengkuputeh com, tanaman kopi awalnya dibawa Belanda pada abad XVII melalui Batavia (sekarang Jakarta) untuk ditanam di Aceh tahun 1908. Kopi yang pertama sekali diperkenalkan adalah kopi jenis Arabica pertama sekali dibudidayakan di Utara Danau Lut Tawar.
Di dunia, kopi bisa dibedakan menjadi 2 kelompok berdasarkan jenisnya, yaitu kopi Arabica dan kopi Robusta. Di Aceh kedua jenis kopi ini dibudidayakan oleh masyarakat setempat. Kopi jenis Arabica umumnya dibudidayakan di wilayah dataran tinggi Tanah Gayo, termasuk Takengon, Aceh Tenggara, dan Gayo Lues.
Sedangkan di Kabupaten Pidie (terutama wilayah Tangse dan Geumpang) dan Aceh Barat, masyarakat mengembangkan kopi jenis Robusta. Belanda memerintahkan masyarakat sendiri pada saat itu mereka menyuruh konsumsi kopi jenis Robusta, sedangkan Arabica untuk dikonsumsi sendiri (Belanda) dan untuk di ekspor.
Begitulah sejarah lahirnya tradisi meukupi bengoh. Kini budaya minum kopi pun sudah menjadi alat untuk peumulia jamee (memuliakan tamu). Tak jarang bila kita kedatangan seseorang atau tamu dari luar daerah bahkan luar negeri, maka bila belum ajak ke warung kopi, belum sah ia sebagai tamu kita. Meunan keuh!
***
Kota Banda Aceh memang bukanlah kota metropolitan. Banda Aceh termasuk kota kecil, yang penduduknya lebih kurang 500 ribu jiwa. Letak kota Banda Aceh pun diujung barat pulau Sumatera.
Meskipun kota kecil namun kota ini memiliki sejarah yang membuat Banda Aceh menjadi kota besar, besar dalam arti budaya dan nilai-nilai sejarah yang dikandungnya.
Banda Aceh sebagai kota budaya merupakan pusat peradaban Islam pada awal agama tersebut masuk ke nusantara. Dengan Ulee Lheu sebagai tempat pertama kali kafilah pembawa Islam berlabuh di Nanggroe Darussalam.
Bukti sejarah berkembangnya Islam sebagai agama masyarakat Aceh salah satunya yaitu Masjid Raya Baiturrahman serta sejumlah cagar budaya lainnya yang berciri khas Islam yang terdapat di sejumlah tempat di Kota Banda Aceh.
Selain budaya masyarakat Kota Banda Aceh yang melekat dengan nilai-nilai Islam dan dekat dengan kehidupan masjid. Namun ternyata kini ada kebiasaan lainnya yang juga tidak dapat ditinggalkan oleh warga kota yang kini Aminullah Usman sebagai wali kota.
Kebiasaan tersebut adalah nongkrong di warung kopi sambil menikmati sensasi kopi dan bersilaturrahmi sesama warga kota. Walaupun ini menjadi telah kebiasaan kaum laki-laki tetapi pada zaman now ternyata kaum perempuan juga mulai suka nongkrong di warung kopi.
Ramainya kaum hawa yang suka ngopi di cafe-cafe sederhana dan warung kopi bisa dikatakan sebagai tren baru di kota bersyariat Islam tersebut. Sebab pada era-era sebelumnya, perempuan sangat tabu duduk di warung kopi.
Pada masa 10 tahun yang lalu jika ada perempuan yang duduk di warung kopi, oleh masyarakat mereka dianggap tidak memiliki etika dan rasa malu. Karena nilai-nilai yang dianut bahwa perempuan tidak semestinya keluyuran di luar rumah apalagi sampai nongkrong di warung kopi yang mayoritas dipenuhi oleh laki-laki.
Seiring perkembangan zaman dan perubahan masa, kini justru perempuan pun sudah terbiasa duduk ngopi di warung kopi bahkan ngopi bersama dengan kaum laki-laki. Bagi warga Kota Banda Aceh hal itu sudah dipandang sebagai kebiasaan yang tidak lagi dipermasalahkan.
Bahkan pada hari-hari libur warung kopi ramai dikunjungi oleh komunitas keluarga-keluarga. Suami-isteri dan beserta anak-anak mereka sengaja diajak untuk minum kopi bersama dan sarapan. Misalnya pada hari Minggu, hampir semua warung kopi di Banda Aceh disesaki oleh pengunjung keluarga.
Tentu saja hal ini sangat positif, artinya budaya ngopi bukan lagi dominan wilayah laki-laki tetapi juga perempuan termasuk keluarga.
Dengan begitu anggapan bahwa warung kopi hanya sebagai tempah "poh cakra" atau stigma negatif lainnya tidak terbukti. Justru kini warung kopi menjadi tempat ramah gender dan suasana penuh kekeluargaan. Sehingga tidak berlebihan jika kita katakan warung kopi kini telah bertransformasi menjadi lingkungan sosial baru di Kota Banda Aceh.
Dari pengamatan penulis pada salah satu warung kopi di kawasan Darussalam, para pengunjung pada hari libur umumnya adalah keluarga. Mereka bersama anak-anaknya memenuhi hampir seluruh meja yang tersedia di warung kopi tersebut sambil minum kopi/teh dan sarapan.
Itulah tren gaya hidup baru warga kota, warung kopi pun kini tidak lagi menjadi tempat asing bagi perempuan dan keluarga. Hanya saja yang perlu menjadi perhatian kita bersama adalah bagaimana caranya membatasi pengunjung perokok yang mungkin dapat mengganggu kenyamanan perempuan, anak-anak dan merusak kesehatan. (*)
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.