Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tantri Mega Sanjaya

Dua Hal Yang Dirindu Kala Pandemi Berlalu

Eduaksi | Wednesday, 22 Sep 2021, 06:35 WIB
Foto bareng keluarga besar (sumber foto: dokumen pribadi)

Sudah lama kami tak ke Jogja. Terakhir pada 2019 lalu saat pernikahan sepupu. Biasanya ke Jogja dua tahun sekali. Mengunjungi Simbah di sana. Saat itulah berkumpul keluarga besar dari berbagai tempat. anak yang tersebar di berbagai tempat. Ada dari Jambi, Lampung, Jakarta, Cirebon, Jogja dan Kalimantan.

Sangat menyenangkan berkumpul bersama keluarga besar. Dari ngobrol-ngobrol kami bisa dapat ilmu mulai dari ilmu parenting, agama, kepemimpinan, bisnis, dan lainnya.

Ada satu keluarga yang 2 anaknya hafal 30 Juz Alquran. Keluarga ini yang sering jadi referensi atau tempat bertanya. Setiap ada kesempatan bertemu selalu ngobrol tentang pendidkan anak dalam keluarganya. Ada saudara yang punya usaha kontrakan puluhan unit. Dari dia saya belajar bisnis. Ada yang bekerja sebagai guru yaitu Bude Yati dan Bude Harti. Biasanya petuah beliau selalu kami tunggu-tunggu.

Dan yang paling ditunggu adalah ketemu sama Bapak Ibu. Saat ini saya jauh dari Orang tua. Bapak ibu tinggal di Jambi, di Pulau Sumatra. Saya dan suami tinggal di Banten, Pulau Jawa. Saya jauh dengan orang tua. Wajar kalau sangat kangen sama orang tua. Jadi, sewaktu ketemu di Jogja, dimanfaatkan betul untuk melepas kangen.

Bertanya kabar, kondisi rumah, bertanya kesehatan, menanyakan tetangga dan saudara di Jambi, bertukar cerita keseharian, bertanya pekerjaan, nggak curhat tentang masalah keluarga. Petuah bapak ibu selalu saya nantikan. Memandangnya melepaskan kerinduan. Mendengarkan dengan penuh hormat kalimat-kalimat yang keluar dari lisan bapak-ibu. Bertahun-tahun tidak ketemu di Jogja pastilah sangat rindu. Kalau saja pandemi selesai, kami bisa ketemu di Jogja, pastilah kangen itu terobati.

Pastilah hari-hari kami dipenuhi dengan obrolan-obrolan. Keluarga kami Memang agak berbeda. Saat ada agenda keluarga jarang sekali jalan-jalan ke tempat wisata. Pernah sih, tapi sangat jarang. Bapak Ibu lebih memilih ngobrol santai di rumah saja selalu ada bahan pembicaraan yang tidak ada habisnya.

Kisah hidup Bapak selalu menarik untuk di ulang dan diulang lagi. Atau cerita tentang Simbah Kakung. Simbah dulu seorang dukuh. Satu hal yang saya suka dari cerita tentang Simbah Kakung adalah perjuangannya mengajak masyarakat agar melek pendidikan dan meninggalkan tahayul dan bidah yang merajalela. Tidak sedikit ujian dan tantangan yang dihadapi Simbah Kakung. Hingga akhirnya Simbah Kakung perlahan-lahan mampu mengajak masyarakat agar mendekatkan pada ajaran agama yang semestinya.

Kami memang suka ngobrol. Manfaat ngobrol bareng itu banyak. Salah satunya mengakrabkan antar anggota keluarga. Malahan, kalau di rumah bapak itu kalau ngobrol bisa sampai larut malam. kalau satu pekan tidak ngobrol panjang, pasti terasa ada yang kurang.

Sewaktu kumpul keluarga, jarang terganggu gawai, jarang sekali menatap smartphone. Dengan sendirinya ada semacam kebiasaan kalau sedang ngumpul nggak boleh main handphone. Kebiasaan ini menurun juga kepada keluarga saya. Juga kepada anak-anak saya. Kecuali kalau memang sangat penting sekali. Misalnya ada pekerjaan atau tugas. Kalau seperti ini kami izin dulu dengan bapak ibu.

Semoga pandemi lekas berlalu. Agar saya bisa bertemu lagi dengan keluarga besar dan bapak ibu. Aamiin.

Pandemi Pergi, Kuliah Tatap Muka Lagi

Saya seorang dosen di sebuah kampus swasta di Banten. Sejak pandemi karena Covid-19 saya kuliah secara daring. Dari bulan Maret 2020 sampai sekarang masih daring. Terhitung sudah 1,5 tahun mengajar daring. Bahkan kampus masih juga kuliah daring saat sekolah sudah mulai tatap muka terbatas.

Daerah saya sebetulnya sudah berada dalam level 2. Sekolah-sekolah sudah melakukan pembelajaran tatap muka terbatas. Namun, kampus belum mengeluarkan kebijakan untuk kuliah tatap muka.

Kuliah secara daring punya banyak tantangan. Apalagi kondisi daerah saya yang tidak terlalu bagus koneksi internetnya. Beberapa kali kuliah daring ada yang izin karena tidak ada sinyal atau tidak punya kuota. Tingkat ekonomi mahasiswa banyak yang ekonomi menengah ke bawah.

Kalau sudah begitu saya tidak bisa memaksa. Saya juga sering tidak menggunakan zoom meeting saat kuliah karena memang membutuhkan kuota internet yang besar. Di daerah saya juga masih banyak yang blind spot. Daerah tidak ada sinyal. Kalau listrik mati, internet hilang.

Kalau dirata-rata dalam satu bulan hanya dua kali menggunakan zoom meeting. Namun saya menekankan saat zoom meeting harus open camera sebagai bentuk penghormatan kepada dosen, sebagai bentuk adab dalam menuntut ilmu. Kalau satu bulan hanya dua kali open camera saat menggunakan zoom saya rasa tidak memberatkan.

Mempersiapkan mengajar daring kata lebih berat daripada mengajar tatap muka. Mulai dari menyiapkan presentasi menyiapkan materi yang bisa memakan sehari dua hari. Padahal kalau mengajar tatap muka tidak selama itu mempersiapkannya.

Karena itu, saya sangat berharap sekali pandemi lekas pergi sehingga bisa kuliah tatap muka. Akan bertemu langsung dengan mahasiswa-mahasiswa, saling berdiskusi dan tukar ilmu, melakukan banyak aktivitas di kampus, mempersiapkan berbagai agenda perkuliahan, membantu mahasiswa melaksanakan sidang yang menyusun skripsi.

Bimbingan skripsi akan semakin mudah karena tatap muka. Kalau ada kekeliruan, bisa segera diperbaiki. Bicara secara langsung pasti lebih jelas daripada di media sosial. Kampus hidup kembali. Semarak dan geliat. Perpustakaan, saung, masjid, lorong-lorong gedung kuliah, hingga kantin ramai. Tempat parkir kembali penuh dengan kendaraan.

Aktivitas mahasiswa kembali bergeliat. Mereka bisa banyak menggelar acara di kampus seperti seminar, lomba-lomba, diskusi-diskusi ilmiah, bakti sosial, pentas seni, dan lainnya. Senang sekali melihat anak muda yang peuh aktivitas kebaikan. Mereka melakukan banyak hal untuk berkontribusi pada lingkungan masyarakat dan bangsa. Mereka kembali bisa melakukan tri dharma perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image