Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Tya Milandry

Andai Pandemi Pergi, Apakah Negeri Ini Bisa Sembuh?

Lomba | Tuesday, 21 Sep 2021, 21:50 WIB

Pandemi Covid-19 sudah berjalan kurang lebih dua tahun menggerogoti dunia. Menyebabkan berbagai perubahan di setiap bidang kehidupan. Perubahan tersebut khususnya terjadi di dunia kesehatan dan perekonomian serta kesejahteraan masyarakat. Keadaan ini menuntun negara – negara di dunia membuat berbagai kebijakan untuk melawan virus ini. Salah satu negara tersebut tentu saja negara kita tercinta yaitu negara Indonesia.

sumber : Worldometers

Selama dua tahun pandemi menyerang, Indonesia masih berada dalam tahap negara yang kurang mampu mengatasi penyebaran virus Covid-19 di negaranya. Hal ini dapat dilihat dari data pada bulan Juli hingga September kasus penyebaran covid-19 melonjak tinggi. Membuat Indonesia masuk kedalam peringkat dua puluh besar di dunia yang mengalami penyebaran Covid 19 tercepat. Banyak negara yang “takut” untuk datang ke Indonesia karena kabar Indonesia yang tidak mampu mengatasi penyebaran Covid-19 ini.

Dari pernyataan di atas timbul pertanyaan, kenapa Indonesia belum mampu mengatasi penyebaran Covid-19? Salah satu penyebabnya adalah Indonesia memiliki penduduk dengan jumlah terbanyak kedua di dunia. Hingga bisa saja sulit untuk mengatur pergerakan masyarakatnya. Namun jika saja kebijakan negara nya dibuat kuat dan mendapatkan tuntutan hukum bagi melanggar yang masuk akal, bisa saja Indonesia dapat memperlambat perputaran roda penyebaran Covid-19 ini. Dalam tulisan ini saya akan menjabarkan beberapa kebijakan – kebijakan pemerintah Indonesia, yang menurut opini saya kebijakan-kebijakan tersebut dapat saja menjadi penyebab belum tuntasnya penyebaran Covid-19 di Indonesia.

Pertama, Kebijakan PPKM yang Tidak Tahu Kapan Batas Berakhirnya.

Kebijakan PPKM ini sejatinya untuk mengurangi pergerakan masyarakat agar penyebaran Covid-19 dapat dikurangi. Namun di dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat, kebijakan ini malah makin menimbulkan “kemelaratan” bagi masyarakat. Masyarakat di suruh tidak keluar rumah namun penunjang kehidupan untuk makan mereka tidak dipenuhi. Dalam hal ini muncul opini apakah yang membunuh masyarakat virus Covid-19 atau masalah kelaparan? Juga kebijakan PPKM ini merupakan kebijakan yang mengatasi permasalahan tidak langsung ke intinya. Maksudnya jika PPKM digunakan untuk mengatasi penyebaran Covid-19, sebaiknya pemerintah tidak memperumit kehidupan masyarakat yang sudah rumit akibat virus ini. Karena dampak dari Covid-19 ini saja sudah membuat masyarakat “merana” ditambah kebijakan yang di praktisisasinya malah menambah kemelaratan masyarakat.

Kedua, Kebijakan Lockdown yang Harusnya di Lakukan Untuk Mengurangi Penyebaran Covid-19.

Kebijakan PPKM yang tiada habisnya tidak dapat menghentikan penyebaran Covid-19 malah menambah kesukaran masyarakat. Seharusnya kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah adalah memberlakukan Lockdown di setiap pintu masuk wilayah jika penyebaran Covid-19 meningkat. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 14 ayat (1) UU No. 6 Tahun 2018 yang disebutkan “Dalam keadaan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang meresahkan dunia, pemerintah pusat dapat menetapkan Karantina Wilayah di pintu masuk.” Di peraturan tersebut menjelaskan pergerakan dari luar negeri, di perbatasan dibatasi dan jika dilanggar mendapatkan hukuman. Juga di peraturan tersebut masyarakat tidak di perbolehkan beraktivitas di luar rumah.

Peraturan tersebut hampir sama dengan kebijakan PPKM. Namun perbedaanya adalah di peraturan Lockdown ini kebutuhan pangan dan kehidupan masyarakat di “tanggung” oleh pemerintah. Sesuai Pasal 55 Undang-Undang No. 6 Tahun 2018, yang mengatakan selama masa karantina kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah. Bukannya kebijakan ini lebih menghargai hak masyarakat?

Sebenarnya kebijakan Lockdown ini bisa saja diberlakukan, jikalau pemerintah tidak “takut” untuk mengeluarkan biaya yang besar untuk masyarakat. Sebenarnya biaya itu bisa saja di dapatkan dari pendapatan negara. Bisa juga dari pajak yang dibayar oleh masyarakat. Bisa juga dari pinjaman atau hutang negara yang memang digunakan untuk masyarakat. Biaya tersebut bisa juga di gunakan dari gaji perwakilan rakyat yang di pangkas. Mereka adalah perwakilan rakyat sudah seharusnya gaji – gaji pejabat itu dipangkas dan dipergunakan untuk kemashalatan masyarakat selama masa Lockdown. Kalaupun tidak mau membiayai masyarakat secara berkelanjutan, setidaknya masyarakat diberikan fasilitas yang memadai agar masyarakat tetap dapat bekerja di berbagai profesi selama masa karantina. Agar mereka dapat juga menghidupi kehidupannya dengan mandiri.

Ketiga, Pandemi Masih Menggerogoti, Kampanye Tetap Jalan

Kebijakan pemerintah yang tidak serius dalam menanggulangi Covid - 19 dapat dilihat dari tidak adanya hati nurani mereka. Masyarakat golongan bawah sedang bersusah payah untuk mencukupi makan di tiap harinya, pejabat malah berlomba – lomba mengeluarkan uang milyaran untuk kepentingannya sendiri yaitu salah satunya kampanye untuk menjadi bakal presiden di Tahun 2024. Bagaimana bisa mereka tidak ada hati nurani di saat negeri sedang sakit, terpontang panting untuk sembuh, mereka masih memikirkan diri untuk kampanye?

Kampanye ini dapat dilihat dari beredarnya spanduk – spanduk besar yang “menghalangi” pemandangan di setiap pinggiran jalan. Spanduk – spanduk tersebut berisikan pengenalan diri pejabat yang secara yakin bahwa dapat memimpin negeri ini di periode 2024. Namun sejatinya mereka “mempermalukan” dirinya sendiri yang ingin memimpin negeri ini. Sebaiknya walaupun mereka tetap ingin berkampanye setidaknya mereka melakukan metode membantu rakyat yang berkesusahan di masa pandemi untuk mengambil hati rakyat. Bukan memberitahu rakyat secara tidak langsung bahwa mereka haus akan kekuasaan.

Keempat, Pandemi Masih Berjalan Harta Pejabat Malah Meningkat

Adanya kabar harta pejabat meningkat di periode tahun 2019-2020 dilihat dari laporan KPK yang menunjukkan angka kenaikan 70% membuat hati teriris. Walaupun kenaikan itu kebanyakan di urutan menteri dan dewan legislatif yang berinvestasi, namun adanya laporan tersebut terasa sangat “kejam” bagi masyarakat. Di lapangan masyarakat menderita akibat pandemi, pejabat malah “menumpuk” harta. Fakta ini dapat menjadi salah satu bukti penyebab pandemi tidak berkesudahan di Indonesia. Pejabat pemerintah yang seharusnya bersungguh – sungguh menghentikan pandemi ini di malah dengan “bangga” memiliki harta yang belum tentu itu menjadi hak nya. Akankah lebih baik harta itu dipergunakan untuk masyarakat yang tidak dapat menghidupi dirinya di masa PPKM dan masyarakat yang tidak mampu membayar biaya perawatan yang terdampak Covid-19. Jika hal itu dilakukan, diharapkan secara perlahan dapat membantu mengurangi penyebaran Covid-19 di Indonesia.

Jika pandemi berakhir saya berharap negara ini sembuh seutuhnya dari penularan Covid-19 dan dari “penyakit” pemimpin negeri yang tidak pernah habis. Saya yakin masih terdapat pejabat negeri yang masih mementingkan kebutuhan masyarakat dibandingkan kebutuhan diri sendiri dan kelompoknya. Namun pejabat seperti itu hanya dapat dihitung dengan jari di bandingkan pejabat yang tidak memahami maksud dari jabatannya untuk kemaslahatan masyarakat. Saya selalu berdoa agar Indonesia yang sudah memasuki umur hampir seabad ini dapat sembuh seutuhnya dari penyakit yang nyata seperti pandemi maupun yang tidak nyata seperti korupsi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image