Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Febbi Timotius

Andai Pandemi Pergi, Apakah Kita Masih Terkoneksi?

Lomba | Tuesday, 21 Sep 2021, 13:48 WIB
foto: Febbi Timotius

Andai pandemi pergi, mungkin nafas yang selama ini terengah-engah dalam balutan kewajiban protokol kesehatan, dengan bebas melenggang pergi, diiringi busung dada yang mengembang. Curigaku, kembang itu bukan karena dipenuhi dengan butiran udara segar, melainkan kesombongan bahwa manusia tak bisa diremehkan oleh virus tak kasat mata.

Lalu, memangnya kalau ia pergi, mau pergi ke mana? Bukankah ia telah nyaman singgah dan membuat kekacauan dalam dunia yang kecil namun tak terbatas?

Lebih buruk dari itu semua, bukankah selama ini kita telah dibuat begitu nyaman dengan jaringan internet yang selalu menyatukan setiap kita?

Bisa saja, tak ada lagi gelak tawa yang dicumbui rindu yang membara. Keadaan sudah begitu normal seperti sedia kala. Tak ada lagi rindu akan Rumah Tuhan yang menggebu ketika larangan beribadah bersama dikumandangkan dalam wawancara di media massa.

Tak ada lagi keributan rapat yang menyatukan, tak kala menyiapkan acara streaming bersama. Tak ada desakan rindu akan kampung halaman yang tak setiap waktu raga ini dapat datang.

Apakah akan berakhir kesenangan tanpa batas omelan Ibu karena sejak pandemi tiba, anak-anak diharuskan selalu menggunakan gawai demi kepentingan sekolah yang kerap diselingi – bahkan menjadi menu utama – membuka game online?

Dalam sendu yang semakin menggebu, tak ada kesedihan yang mendesak dan menyembul namun tertahan pada ujungnya, ketika salah seorang sanak saudara pulang kembali ke hadirat Ilahi Rabi. Mengharap dan tak sabar pandemi segera pergi. Agar diri tak menanggung pilu yang tertahan dan entah siapa yang harus dipersalahkan.

Apakah zakat dalam jumlah yang sama tetap mengalir setelah pandemi berakhir? Atau memang benar, pandemi diizinkan-Nya bagai cambuk yang menggugah rasa kemanusiaan sebagai sesama mahluk ciptaan. Memaksa memungut lembaran Rp. 5.000-an sampai keping receh penghabisan.

Kita akan begitu saja meninggalkan kebosanan dalam jaringan dan kembali menikmati kebisingan yang menjadikannya sebagai alasan berlibur di luar kota, tak kala semua ini berakhir?

Malah, jangan-jangan semua aktivitas dalam jaringan itu diteruskan? Hingga pada akhirnya masing-masing kita akan disibukkan memandang wajah dibalik layar gawai? Kita dipuaskan dengan kemudahan berkenalan dan berkencan secara virtual.

Kita dibuai dan terlena akan semua kemudahan, rapat tanpa batas dinding kantor, tak perlu dipusikan dengan jibaku keruwetan jalan ibu kota, dipuaskan dalam mudahnya cuan yang mengalir ke rekening dengan rebahan di rumah.

Apakah manusia akan enggan bertemu dengan sesamanya secara nyata? Menghindari konflik yang kerap terjadi tak kala kita saling berpapasan. Menjadikan dunia maya itu sebagai tempat pengasingan yang aman. Di sana kita bisa menjadi apa saja dan siapa saja. Tak ada yang dapat menyentuh dan menyakiti kita.

Semenjak pandemi tiba, mengharuskan kita berada dalam pengasingan, bertumpu dan bertapa yang pada akhirnya memunculkan karakter terdalam jiwa manusia. Semoga semua ini tak merubahnya menjadi makhluk anti sosial.

Semoga, bercengkrama nyata sebagai sejatinya manusia tetap dipertahankan. Berdampingan dengan media sosial yang telah menancapkan akar yang mengikat dalam hati manusia.

Semoga bersentuhan, memeluk, mencium dan menikmati mewangian yang keluar dari dalam mulut ketika menikmati kopi dan berbicara bersama tetap hadir setelah pandemi berakhir.

Semoga semua aspek kehidupan yang telah dirusaknya, berangsur-angsur pulih. Akan ada lapangan pekerjaan yang menghapus derai air mata seorang ayah yang susah memberikan susu pada anaknya pasca PHK sejak pandemi tiba.

Seorang ibu akan tersenyum lebar dan tak lagi mengeluarkan taringnya tak kala mendampingi anak-anaknya bersekolah dalam jaringan.

Sepasang kekasih akan kembali memadu kasih tanpa sekat akan batas ruang dan restu orang tua. Kemudian melampiaskannya dengan sebuah lamaran terbuka dan pernikahan sakral yang dihadiri banyak kalangan.

Meski semua tetap menjadi misteri, “Kesalahan siapkah semua ini?” Apakah izin dari-Nya atau sebatas kesalahan manusiawi? Semoga kita tetap terkoneksi dengan sesama sebagai wujud keeratan koneksi kita dengan Sang Pencipta. Kita bisa, pulih bersama, bangkit bersama.

Sumber:

https://republika.co.id/berita/jurnal-haji/filantropi/qzqekj313/zakat-berperan-dalam-kondisi-sulit-akibat-pandemi

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image