Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Syahrial, S.T

Sutradara Kehidupan

Sastra | 2024-11-20 16:15:54
Sumber foto: Canva

Rak-rak buku tua di perpustakaan kampus berdiri dengan anggun, seolah mengenakan gaun panjang berdebu yang telah mereka kenakan selama bertahun-tahun. Mereka berbisik satu sama lain, menceritakan rahasia-rahasia yang tersimpan dalam lembaran-lembaran kertas yang mereka jaga. Di sudut ruangan, jam dinding tua berdetak dengan irama konstan, seperti seorang koreografer yang mengatur tempo kehidupan di dalam ruangan sunyi ini.

Maya duduk sendirian di salah satu meja kayu yang telah aus dimakan waktu. Tangannya menari di atas keyboard laptop, sesekali berhenti untuk memikirkan kata-kata yang tepat. Skripsi yang sedang ia kerjakan terasa seperti film yang sulit ia arahkan. Sebagai mahasiswa tingkat akhir jurusan Perfilman, ia terbiasa memegang kendali atas setiap adegan dalam karya-karyanya. Namun kali ini, ia merasa seperti pemeran figuran dalam film kehidupannya sendiri.

Perpustakaan sore itu tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa mahasiswa yang tersebar di berbagai sudut. Suara pendingin ruangan berdengung halus, berpadu dengan bisikan-bisikan dari para pengunjung yang berdiskusi. Aroma kertas tua dan kayu bercampur dengan wangi kopi dari tumbler milik mahasiswa yang duduk dua meja dari Maya.

Jendela-jendela tinggi perpustakaan mengintip dari balik tirai tipis, membiarkan sinar matahari sore menerobos masuk dan menciptakan pola-pola cahaya yang menari di lantai marmer. Bayangan pohon di luar bergoyang lembut, seperti penari balet yang sedang melenggok mengikuti musik yang tak terdengar.
"Kamu tahu," bisik sebuah buku tua dari rak Filsafat kepada tetangganya, "gadis itu sudah duduk di sana selama dua jam, menatap layar dengan pandangan kosong."

"Ah, aku mengenalnya," sahut buku di sebelahnya. "Dia sering meminjam buku-buku tentang teori film. Tapi hari ini ada yang berbeda dari sorot matanya."
"Mungkin dia sedang mencari inspirasi," timpal buku ketiga, sebuah novel klasik yang sampulnya sudah menguning. "Aku sering melihat mahasiswa-mahasiswa seperti itu, mencari jawaban di antara lembar-lembar kami."

Maya menghela napas panjang, mengamati orang-orang yang berlalu lalang di perpustakaan. Ada mahasiswa yang tertidur di pojok, buku terbuka di hadapannya seperti selimut yang gagal melindungi. Ada yang berbisik-bisik di balik rak, mencuri waktu untuk bertukar cerita. Sepasang mahasiswa sedang berdebat pelan tentang teori ekonomi di meja seberang. Semua seperti adegan film yang sedang berputar dalam gerak lambat.

Pikiran Maya melayang ke perkataan dosennya minggu lalu: "Hidup ini seperti film, dan kamu adalah sutradaranya. Setiap keputusan yang kamu ambil adalah bagian dari naskah yang kamu tulis sendiri. Tidak ada yang namanya kesalahan dalam proses kreatif, yang ada hanya pembelajaran."

Kalimat itu terus berputar dalam benaknya, seperti rol film yang tak kunjung berhenti. Maya memandang ke arah laptop, di mana cursor berkedip-kedip menunggunya melanjutkan tulisan. Skripsinya tentang "Pengaruh Sutradara dalam Membentuk Realitas Film" terasa begitu ironis sekarang.

Ia teringat film pendek pertamanya yang gagal total di festival kampus tahun lalu. Saat itu, ia merasa dunianya runtuh. Tapi bukankah kegagalan itu juga bagian dari plot yang ia tulis? Bukankah setiap sutradara besar pernah membuat karya yang tidak sempurna?

Sinar matahari semakin condong, menciptakan bayangan panjang yang merangkak perlahan di lantai perpustakaan. Lampu-lampu mulai menyala satu persatu, seperti bintang-bintang yang bangun dari tidur siangnya. Maya merasakan kegelisahan dalam dirinya semakin menguat.

"Aku tidak bisa terus begini," bisiknya pada diri sendiri. "Kalau aku memang sutradara dalam film kehidupanku, sudah saatnya aku mengambil kendali."
Dengan tekad baru, jari-jarinya mulai menari lagi di atas keyboard. Kali ini dengan ritme yang berbeda, lebih mantap, lebih yakin. Ia mulai menulis bukan hanya tentang teori film, tapi tentang bagaimana seorang sutradara harus berani mengambil keputusan, menghadapi ketidakpastian, dan tetap berkarya meskipun takut gagal.

Di luar, awan-awan berarak pelan, mengubah intensitas cahaya yang masuk ke perpustakaan. Bayangan-bayangan bergerak seperti pemain pantomim yang sedang mementaskan kisah tanpa suara. Sekelompok burung merpati hinggap di kusen jendela, mengintip ke dalam seperti penonton yang penasaran.
Angin sore menerobos masuk melalui celah jendela, membelai lembaran-lembaran buku yang terbuka seperti tangan tak kasat mata yang memberikan dukungan. Suara ketikan Maya berpadu dengan detak jam dinding, menciptakan simfoni kehidupan yang khas perpustakaan.
"Lihat," bisik buku tua itu lagi, "sepertinya dia sudah menemukan jawabannya."

"Ya," sahut buku di sebelahnya, "kadang kita harus membiarkan pembaca kami menemukan sendiri makna yang mereka cari."
Maya tersenyum kecil. Ia sadar bahwa selama ini ia terlalu fokus mencari kesempurnaan dalam setiap scene kehidupannya. Padahal, justru ketidaksempurnaan itulah yang membuat sebuah film menjadi lebih manusiawi, lebih nyata. Seperti perpustakaan ini – dengan debu-debunya, dengan bisikan-bisikannya, dengan segala ketidaktertataannya – tetap menjadi tempat yang sempurna untuk menemukan inspirasi.

Ketika jam menunjukkan pukul lima sore, Maya mulai membereskan barang-barangnya. Progres skripsinya hari ini mungkin tidak seberapa, tapi ia telah menemukan sesuatu yang lebih berharga: kesadaran bahwa ia memang sutradara dalam film kehidupannya sendiri.

Saat Maya melangkah keluar, rak-rak buku tua itu masih berdiri dengan anggun, menyimpan ribuan cerita dalam pelukan mereka. Jam dinding masih berdetak, menghitung waktu dengan setia. Dan perpustakaan, dengan segala kebisuannya yang bijaksana, telah menjadi saksi bagaimana seorang sutradara muda menemukan kembali kendali atas film kehidupannya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image