Lost Learning, Antara Restu dan Gerakan Kembali ke Sekolah (Sub-tema: Pandemi dan Potret Pendidikan)
Guru Menulis | 2021-09-21 13:00:05Masih teringat jelas dalam kepala tatkala China dilanda wabah penghancur dunia, mereka ketar-ketir namun mereka juga sigap, dalam hitungan hari rumah sakit khusu dibuka guna menanggulangi bahaya dengan cepat. Saking kuatnya mereka tetap bertahan walaupun beberapa sendinya keseleo karena petaka ini. Bagaimana dengan kita, Indonesia?
Petaka ini muncul dengan branding Covid-19 atau Coronavirus Disease Of 19, terdengar gaul bagi beberapa orang yang tak begitu fasih berbahasa asing. Lahir pada tahun 2019, petaka ini membawa seluruh dunia dalam kemalangan yang hingga kini belum usai, masih banyak masalah tetapi perlahan diperbaiki dengan vaksin berbagai merek yang lahir dari kepala orang-orang jenius untuk mencapai yang namanya Herd Immunity, oleh karena itu saya menyempatkan diri untuk berterima kasih atas kerja keras kalian. Herd Immunity sekarang ini masih menjadi cita-cita yang terus dipupuk dengan baik diseluruh dunia tak terkecuali di negara kita.
Indonesia sendiri masih dalam proses penanaman bibit melalui vaksinasi yang dilakukan secara massif diseluruh penjuru agar mencapai hasil yang diinginkan semua pihak dan tentunya semua bidang kehidupan. Salah satu bidang yang menjadi korban petaka ini adalah pendidikan.
Pendidikan adalah fondasi kokoh guna membangun kehidupan yang utuh dikemudian hari, pendidikan juga dibentuk agar manusia tidak asbun atau selalu salah dalam bertindak maupun berpikir. Dimasa petaka ini, pendidikan dimodifikasi sedemikian rupa untuk tetap berjalan dengan semestinya, modifikasi ini lahir dalam istilah Pembelajaran Daring yang digaungkan untuk mendorong kalangan pendidik maupun peserta didik untuk tetap belajar. Namun modifikasi ini hanya tampak pada bagian luarnya saja, tanpa menyarat isi kepala yang sebenarnya menjadi tujuan adanya pendidikan yaitu memanusiakan manusia. Hilangnya tujuan ini biasa orang sebut dengan istilah Lost Learning.
Pengurangan interaksi dan intensitas belajar disekolah menjadi salah satu alasan istilah lost learning ini lahir. Contohnya nyata hadirnya istilah ini ada ditempat saya mengabdikan diri sebagai pendidik. Peserta didik yang seharusnya dapat menguasi kompetensi pada tingkatan kelasnya hampir tidak bisa melakukan apa-apa. Kompetensi membaca dan menulis seharusnya bisa dikuasai saat seorang peserta didik duduk di kelas 3 atau 4, di kelas 6 masih ada peserta didik yang belum menguasainya. Mungkin beberapa orang mengkambinghitamkan pendidik sebagai atribut pendidikan yang gagal memajukan kompentensi tersebut, dari tulisan ini saya berani katakan bahwa persepsi itu tidak mendasar. Lost learning ini tidak hanya terjadi di negara kita, bahkan sekelas negeri paman sam pun kewalahan. Meski modifikasi sudah diakomodasi dengan baik oleh pemerintah melalui seminar-seminar maupun pelatihan terhadap pendidik, namun apakah kami mampu mengakomodasi peserta didik dengan gaji kami yang hanya cukup untuk makan kami sehari-hari? Tentu tidak. Alasan paling kuat dari gagalnya penanganan lost learning melalui modifikasi pembelajaran daring dari adalah koneksi jaringan dan ketersedian gawai bagi peserta didik. Oleh karena itu itu untuk mengatasi masalah ini perlu ada sinergitas antara pemerintah sebagai pemangku kebijakan dengan kami sebagai tenaga pendidik yang berdiri dipinggiran sekolah.
Saya berpendapat bahwa cara terbaik adalah dengan memberlakukan pembelajaran tatap muka dengan skema-skema tertentu sebagai langkah awal penaggulangan lost learning. Skema seperti penjadwalan masuk sekolah berdasarkan tingkatan kelas perlu diberlakukan dengan dibarengi protokol kesehat yang ketat sambil menunggu Indonesia tercinta mencapai herd immunity. Dengan ini saya percaya bahwa peserta didik sangat antusias untuk belajar mengingat mereka sudah dua tahun lamanya meninggalkan tempat duduk mereka dikelas dan tentunya kompetensi membaca, menulis dan kompetensi lainnya akan secara bertahap terpenuhi dengan baik meski membutuhkan waktu yang cukup lama. Untuk mewujudkan gerakan kembali ke sekolah ini, perlu ada kebijakan khusus dari pemerintah sebagai restu terindah yang akan selalu dinanti kedatangannya.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.