Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dzhilaal Bahalwan

Membantu Sesama dengan Menurunkan Gaya Hidup

Gaya Hidup | Monday, 20 Sep 2021, 10:51 WIB
ilustrasi hidup sederhana. Sumber: unsplash.com

Pandemi Covid-19 menjadi paradoks dalam hal berbagi. Di satu sisi, kondisi sulit menjadi momentum untuk dapat membantu yang sedang kesulitan. Namun di sisi lain, kondisi sulit menjadi alasan untuk sulit membantu. Beberapa orang terketuk hatinya untuk membantu yang sedang jatuh ekonominya. Sedangkan bebera orang yang lain, semakin tertutup hatinya karena usahanya sedang mengalami penurunan. Nah, dalam kesempatan kali ini, akan dibahas yang kedua.

Pada dasarnya prinsip berbagi adalah ‘membagi’ apa yang kita miliki. Bukan memberi jika ada harta lebih. Dengan prinsip seperti itu, maka berbagi tidak mengenal waktu. Entah ada lebih atau tidak, apa yang kita miliki saat itu, kita bagi. Hal itu dipertegas oleh Allah dalam firman-Nya:

“Bahwa dalam setiap harta terdapat hak orang lain (orang yang meminta-minta dan orang yang tidak meminta-minta).” (QS. Adz-Dzaariyat : 19).

Berbagi lewat Mengurangi Gaya Hidup

Bagi orang-orang yang berdalih ‘merasa kekurangan’, mari ditelaah lebih jauh terhadap hartanya. Sesungguhnya pula, biaya hidup tidaklah mahal. Hanya perlu makan agar tidak lapar, listrik agar rumah tidak gelap, pakaian agar tidak telanjang, pulsa agar tidak terputus tali silaturahmi, bensin untuk mencari nafkah, dan peralatan mandi agar tidak bau.

Jika biaya-biaya hidup tersebut dijumlah, lalu dibandingkan dengan biaya pemenuhan gaya hidup, maka biaya yang kedua adalah yang lebih besar. Biaya makan enak dan puas, ngopi di kafe kekinian, listrik untuk menyalakan AC dan TV layar lebar, pakaian bermerek, bensin untuk melancong ke tempat wisata, paket internet 50 GB, dan peralatan lengkap rawat wajah.

Apabila setelah dikalkulasi ditemukan bahwa biaya yang kedua lebih besar, maka sesungguhnya kita sangat bisa untuk ‘membagi’ harta kita. Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan: “Tidaklah beriman kepadaku orang yang kenyang semalaman sedangkan tetangganya kelaparan di sampingnya, padahal ia mengetahuinya." (HR At-Thabrani).

Dengan konsep seperti itu, maka tidak perlu lagi menunggu kelebihan harta untuk berbagi. Dengan mengurangi biaya makan enak, biaya ngopi, biaya listrik AC, dan biaya wisata, akan banyak membantu kaum dhuafa dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Paket internet, langganan wifi super cepat dan biaya skincare dialihkan untuk membantu paket internet siswa dalam belajar daring.

Kebanyakan orang dalam meninggikan standar hidupnya adalah untuk mendapatkan kebahagiaan. Dengan makan enak, berpakaian mewah, dan berwisata, diharapkan kebahagiaan akan datang. Padahal, jalan kebahagiaan tidak hanya itu. Rasa syukur adalah salah satunya. Robert A. Emmons, dari University of California, melakukan riset tentang dampak positif bersyukur. Menurutnya, bersyukur bisa membuat orang merasa lebih bahagia dan tidak mudah depresi.

Dengan bersyukur atas segala kecukupan hidupnya terpenuhi, maka kebahagiaan akan datang. Tidak perlu hidup mewah nan glamor untuk bisa mengucapkan rasa syukur dan kemudian bahagia. Justru, hidup hedon adalah jalan kebahagiaan yang egois. Dengan menumpuk harta sebanyak-banyaknya dan memakan semua untuk dirinya sendiri, berarti tidak membiarkan orang lain untuk menikmati hartanya. Cukup dia dan kerabatnya saja.

Mengurangi Gaya Hidup untuk Mengurangi Kesenjangan Sosial

Pembatasan dan pengurangan gaya hidup memiliki beberapa keutamaan. Pertama adalah mengindari dosa sebagaimana firman Allah: “ . dan orang-orang yang zalim hanya mementingkan kenikmatan yang mewah yang ada pada mereka, dan mereka adalah orang-orang yang berdosa.” (QS. Hud: 116). Lalu yang kedua adalah dapat mengurangi kesenjangan sosial.

Telah nampak beberapa fenomena di kota besar seperti Jakarta, Tangerang, atau Surabaya. Di dalam satu area yang sama, terdapat orang super kaya dengan aset miliaran dan terdapat pula orang super miskin yang ragu apakah besok bisa makan. Hal ini disebabkan oleh terpusatnya kekayaan di beberapa orang saja, tidak tersebar merata.

Orang dengan aset miliaran tersebut bukanlah orang dengan biaya hidup tinggi, namun orang dengan gaya hidup tinggi. Lampu rumah gemerlapan, mobil puluhan, pakaian jutaan rupiah, dan berwisata ke luar negeri tiap tahun. Jika biaya-biaya tersebut dialihkan untuk berbagi, si kaya tersebut akan masih bisa hidup dan si miskin dapat hidup lebih baik.

Namun tidak perlu menunggu hidup miliaran untuk dapat berbagi. Jika kita masih membeli pakaian agar terlihat lebih keren, masih berwisata jauh, masih ngafe dan nge-restoran, dan masih sehat saat berkeringat di rumah, sesungguhnya kita sudah dapat berbagi dan berkontribusi dalam mengurangi kesenjangan sosial.

Tentu dalam melakukan hal tersebut bukanlah hal mudah. Terlebih jika masih terus memandang dan membandingkan hidup dengan orang yang lebih kaya. Pepatah lama mengatakan: “jika terus memandang ke atas, engkau akan terus merasa kekurangan. Tundukkan pandanganmu ke bawah, maka kau akan bersyukur.” Dibutuhkan niat yang teguh, keimanan yang kuat, serta kesadaran yang kokoh agar yakin bahwa “kita cukup hidup seperti ini” dan selebihnya akan kita sumbangkan.

Maka sesungguhnya dalam kondisi sulit akibat pandemi seperti ini, mengajarkan bahwa sesungguhnya kita sudah hidup lebih dari cukup. Tidak perlu harus menjadi super kaya baru dapat membantu. Dengan mengurangi gaya hidup saja, kita sudah memiliki harta untuk diberikan kepada yang membutuhkan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image