Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Dzhilaal Bahalwan

Akankah Digitalisasi Pendidikan Akan Mati Jika Pandemi Pergi?

Lomba | Friday, 17 Sep 2021, 23:17 WIB
ilustrasi ruang sekolah. Sumber: Pixabay

Akankah Digitalisasi Pendidikan Akan Mati Jika Pandemi Pergi?

Semua orang ingin agar pandemi Covid-19 bisa benar-benar selesai. Tidak ada lagi istilah positif corona, isolasi mandiri, dan PPKM dengan berbagai jenisnya. Selain alasan kematian dan kesehatan, alasan terbatasi juga sangat mengganggu kehidupan manusia. Pembatasan itulah yang mengakibatkan hajat orang banyak tidak dapat terkabul. Bisnis macet, silaturahmi terputus, liburan tertunda, anak sekolah tidak punya teman baru, hingga jadilah layar biru sebagai teman hidup semua orang dari pagi hingga malam.

Meski pandemi terasa menimbulkan berbagai dampak negatif, namun ternyata tidak semuanya demikian. Hal-hal baru dan hal-hal baik justru muncul di tengah kekacauan ini. Semacam blessing in disguise. Anugerah itu justru muncul di salah satu sektor yang terkena dampak besar yaitu pendidikan. Namun begitu, anugerah yang muncul itu, tidak ada jaminan bahwa akan terus berlanjut jika pandemi usai. Bisa jadi, kebiasaan lama akan kembali.

Blessing in Pandemic

Pendidikan merupakan sektor terdampak yang kompleks. Bagi anak, aspek psikologis, sosiologis dan taksonomi bloom (kognitif, afektif, psikomotorik) mereka adalah aspek yang ‘dihajar’ oleh pandemi. Mereka terkungkung dalam rumah, tidak memiliki teman bermain, dan skill mereka pun tidak bertambah akibat ketidak efektifan pembelajaran.

Bagi wali murid, beban mereka bertambah berat. Sebelum pandemi, mereka hanya memiliki beban membayar biaya, menyediakan persiapan keberangkatan sekolah, dan menghadiri pertemuan wali murid di sekolah. Untuk pembelajaran, diserahkan penuh pada pendidik. Namun kini, mereka mesti mendampingi anaknya agar lebih fokus memperhatikan gurunya.

Bagi para pengajar pun demikian. Tanpa adanya pembekalan maupun orientasi, mereka dituntut untuk bisa dalam waktu singkat mengajar daring. Bagi para guru muda mungkin dapat beradaptasi dengan cepat. Bagi para guru berusia 50 tahun ke atas, itu hal yang tidak mudah. Belum lagi ditambah dengan penyerapan SPP yang berkurang bagi sekolah swasta, tentu membuat para guru ‘megap-megap’.

Meski kondisi tidak ideal, bukan berarti tidak ada hal baik sama sekali. Dengan keterpaksaan kondisi, kemampuan cakap digital tiga kelompok manusia tadi meningkat seketika. Para murid telah lebih dini memahami proses komputerisasi, internet, dan pembuatan konten digital. Mereka telah dapat mengakses informasi dan pembelajaran dari luar sekolah. Sebagaimana dilansir Republika pada 17 Juni 2021, gawai mampu menumbuhkan kreativitas anak.

Bagi orang tua pun demikian. Bisa tidak bisa, mereka harus familiar dengan penggunaan gawai dan internet dengan segala prosesnya. Bagi pengajar, mereka harus mempelajari pembuatan konten, metode pembelajaran daring, dan assessment daring. Singkatnya, digitalisasi pendidikan terakselerasi secara meluas, tak terkecuali pihak kedinasan terkait.

Pada sektor pembelajaran yang lebih luas, kalangan milenial juga mendapat gelombang positif. Jika sebelumnya keikutsertaan seminar dibatasi oleh tempat, waktu dan biaya, maka kini tidak lagi berlaku. Webinar gratis berceceran di media sosial. Segala macam topik tersedia. Entah itu bisnis, public speaking, kepenulisan, etika, sejarah, hingga tips perawatan kulit.

Di masa pandemi, akses pendidikan menjadi semakin mudah, murah, dan luas.

Kembali Pada Tradisi

Beberapa pihak termasuk pemerintah dan elemen masyarakat berupaya agar pembelajaran tatap muka dapat segera terwujud seratus persen. Hal ini dilakukan agar learning loss yang dikhawatirkan banyak orang tidak benar-benar terjadi. Pembelajaran a la pra-pandemi perlu diselenggarakan kembali.

Kebijakan pengembalian tersebut bisa berakibat baik sebagaimana harapan masyarakat, atau justru berakibat pada pudarnya kembali aspek-aspek positif dalam pembelajaran era pandemi, yaitu digitalisasi pendidikan.

Para guru yang baru bernafas lega karena kebiasaan lama kembali dapat dilakukan, sangat memungkinkan untuk terus dilakukan. Pembelajaran satu arah serta terpaku pada papan tulis dan ucapan guru akan mendapat panggungnya kembali. Menjawab soal Lembar Kerja Siswa (LKS) akan jadi rutinitas kembali. Pena dan kertas juga kembali menjadi senjata tunggal. Layar biru akan digeser karena dianggap membebani mata.

Pembuatan konten berbasis audio dan video ditinggalkan. Laman google yang ringan, murah dan tak terbatas akan kembali digantikan oleh buku paket yang tebal, mahal, dan sebatas 100 halaman. Karena dibatasi oleh buku yang disediakan oleh sekolah, maka informasi lain dianggap anak tidak diperlukan.

Pada sektor pendidikan yang lebih luas, seminar-seminar di gedung akan diselenggarakan kembali. Oleh karenanya, mimbar informasi tersebut akan kembali berbayar, terbatas jarak, dan terbatas pada pembicara lokal. Potensi ini sangat mungkin terjadi karena pembuatan seminar adalah bisnis yang cukup menguntungkan.

Akses informasi akan mengubah bentuknya kembali yang sempit, mahal, dan terbatas jarak.

Tentu saja kekhawatiran-kekhawatiran tersebut bukan mengartikan pemberlakuan pembelajaran tatap muka (PTM) itu buruk. PTM sangatlah baik untuk kebaikan peserta didik. Mereka berhak mendapatkan pembelajaran yang sehat dan sepenuhnya menjadi makhluk sosial. Keefekifan pembelajaran akan tercipta kembali.

Anggap saja akselerasi digitalisasi pendidikan pada masa pandemi menjadi sebuah pencuat revolusi pendidikan. Nilai tambah itu, yakni digitalisasi pendidikan, perlu diterapkan pada pendidikan pasca pandemi. Dengan harapan itulah, pendidikan yang konservatif akan berubah menjadi pendidikan yang modern.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image