Toleransi Perlu Standart (?)
Eduaksi | 2021-09-17 14:54:23Isu pemaknaan toleransi yang digaungkan kembali menuai tanda tanya, kali ini pertanyaan besar tentang makna kata tersebut hadir akibat booming komentar beberapa seorang public figure pada para santri penghafal qurâ an. Komentar yang disampaikan terbaca tendensius pada video santri yang tengah menutup telinga saat menunggu antrian vaksin karena pihak penyelenggara menyetel musik (Galamedia,17/9/21) Bagaimana tidak komenter dari public figure tersebut berpendapat bahwa tindakan para santri tersebut merupakan hasil dari pendidikan yang keliru (Tempo, 15/9/21) Sontak, fakta tersebut membuat geger sosial media. Hujatan pada public figure kian panas diiringi dukungan pada para santri oleh berbagai kalangan.
Komentar atau bahkan anggapan tendensius pada kaum muslim memang bukan satu dua kali saja terjadi di negeri ini. Tendensi negative itu tak lain bernarasikan radikalisme dan intoleransi yang terus berusaha digoreng. Seolah-olah semua aktivitas yang identic dengan kecenderungan pada Islam menjadi pantas disandingkan dengan kedua tuduhan tersebut. Padahal dari fenomena yang tengah hangat ini ketika dianalisis bersama justru akan semakin jelas sikap toleransi yang sebenarnya dimiliki oleh siapa.
Pada dasarnya, musik sendiri bagi kaum muslim terdapat perbedaan perbedaan pendapat dikalangan ulama sejak zaman dahulu. Hal ini juga diungkapkan ketua MUI pusat Cholil Nafis pada Galamedia 17/9/2021. Alasan dari para santri untuk memilih tidak memasukkan music ke telinga mereka juga bagian dari implementasi perbedaan pendapat tersebut. Selain itu hafalan Qurâ an mereka perlu dijaga dengan baik, apalagi mengingat proses menghafal yang memang sukar dan penuh pengorbanan. Masuknya music ke diri mereka sangat ditakutkan akan merusak hafalan mereka selama ini. Dengan alas an tersebut mereka memilih untuk melindungi hafalan mereka tanpa harus mmeinta pihak penyelenggara untuk mematikan musiknya.
Jika ditelisik lebih dalam, makna toleransi justru hadir dalam diri para penghafal ini. Mereka berusaha melindungi apa yang mereka anggap penting sekaligus menghormati pihak penyelenggara yang menginginkan music disetel. Taka da makian, tak ada protes dari lisan mereka. Apakah semacam itu layak diberi segel intoleran dan hasil didikan yang keliru? Jika memang keliru mengapa akhlak mereka begitu luhur?
Polemik memang, ketika label toleran dan intoleran justru terkesan tendesius pada aktivitas tertentu yang berbau ketauhidan pada Allah, namun begitu lunak pada penyimpangan moral layaknya korupsi, narkoba bahkan LQBT. Apalagi fenomena pengasumsikan diri paling toleran bukan lagi hal biasa. Namun, nyatanya apa yang ditoleransi dan yang tidak ditoleransi justru abstrak. Nyatanya mengapa diam ketika koruptor ditemukan dimana-mana serta narkoba berambahi dunia jagad maya? Bukankah perkara itu yang justru membahayakan generasi muda atau sekedar followernya? Sebenarnya apa makna toleransi itu? Pada siapa harusnya toleransi dilakukan dan pada siapa teguran keras dilayangkan? Sepertinya hal itu kini nampak abu-abu.
Ya,,,seperti itulah ketika sikap tak distandarkan pada hal yang jelas. Ketika benar salah semakin disamarkan. Maka sikap juga semakin tak jelas dipertontonkan. Namun, sampai kapan hal semacam ini akan terus terjadi? Tak inginkan mencari bagaimana standart kebenaran yang sesungguhnya sehingga menyikapi segala hal menjadi jelas adanya? Semoga keinginan itu ada dan berusaha diraih karena menjadi liberal dan bebas tanpa standart hanya akan memenjakan Anda pada kebebasan itu sendiri.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.