Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image april lia

PANDEMI INI, MENGHALANGIKU MELIHAT BUAH HATIKU!

Lomba | Thursday, 16 Sep 2021, 13:21 WIB

Saat ini saya masih dalam keadaan pilu. Hati saya hampa, lidah saya kelu, senyum saya terasa pahit. Kaki melangkah begitu berat. Buah hati yang saya kandung selama 7 bulan menuju 8 bulan kandungan itu telah mendahului saya ke hadapan Allah. Saya melahirkannya pada hari Jumat, 13 Agustus 2021 dalam keadaan prematur. Kemudian Allah mewafatkannya dalam usia 22 hari tepat pukul 08.15 WIB pada hari Jumat, 3 September 2021. Saat itu ia masih mengalami perawatan di ruang NICU salah satu rumah sakit di Solo.

Dalam keadaan yang belum bisa menangis, ia masuk ke ruang HCU neonatus untuk mengalami perawatan intensif. Setelah operasi jahitan yang saya alami, saya baru bisa menengoknya saat ia berusia 3 hari. Terlihat betapa kecilnya ia, tangannya melambai di ruang inkubator, kakinya ia gerak-gerakkan dan sekujur tubuhnya diberi alat bantu. Alat bantu tersebut untuk membantunya bernafas, memompa darah dan mengeluarkan sisa metabolisemenya, disebabkan organ vitalnya belum matang. Menurut hasil scan laboratorium, semua organnya baik dan sempurna.

Pada bulan ini, angka kasus Covid-19 memang melonjak. Banyak tenda terpasang di depan rumah sakit. Ketika saya masuk ke rumah sakit ini, bangsal khusus perawatan pasien covid-19 sudah penuh. Sayapun terpaksa dirawat di bangsal tindakan. Ada kekhawatiran tentunya, jika keadaan saya harus melahirkan disini dengan resiko yang sudah dijelaskan petugas medis.

Kekhawatiran sayapun terjadi. Menurut peraturan rumah sakit disini, keluarga tidak diperkenankan menengok, melihat, bahkan menyentuh anaknya, yang sedang dirawat di ruang khusus tersebut. Petugas rumah sakit tersebut menjelaskan bahwa kondisi diri kita bisa membawa virus kepada bayi-bayi dalam ruang HCU. Baik, saya mencoba memahaminya. Hari demi hari saya lalui tanpa melihat buah hati kami.

“Doakan selalu ya bu... doa dari ibu dan bapaknya insyaallah akan didengar Allah. Dan Allah akan berikan yang terbaik untuk bayi ibu.” Petugas medis berusaha menenangkan kami.

Namun bagaimana bisa terjadi. Seorang ibu yang melahirkan anaknya tidak boleh menjenguk anaknya dengan alasan diri kita, baju kita, kesehatan kita, membawa virus mematikan tersebut. Jika saya boleh mengungkapkannya, saya ingin menjelaskan pada petugas kesehatan.

“Pak bu, izinkan saya bertemu, saya akan lakukan tes swab, dan sebagainya asal saya bisa melihat bayi kami. Dia butuh sentuhan saya. Dia pasti merasakan kekuatan jika kami melihatnya dari dekat. Tentu atas izin Allah. Bolehlah kita memakai pakaian APD jika masuk ke ruang khusus bayi tersebut.”

Sungguh sangat tidak masuk akal bagi saya saat itu. Pandemi ini terasa aneh. Alasan mereka tidak membolehkan kami untuk melihat bayi karena kami bisa memaparkan virus. Padahal vaksin sudah disebarluaskan untuk konsumsi masyarakat Indonesia. Jika memang harus menerima vaksin, kami pun sebagai orangtua siap.

Saya terus berusaha berdamai dengan pikiran saya sendiri. Setiap hari selama masih dalam perawatan di ruang khusus dan sempat dipindah di ruang NICU, saya hanya boleh melihatnya dari kejauhan. Saya diperbolehkan konsultasi kepada dokter madya spesialis anak setiap hari. Dan setelah selesai saya harus segera keluar dari ruang NICU.

Di depan ruang NICU, saya berdoa. Saya pernah sekali menangis sesenggukan karena tidak bisa juga melihatnya. Saya membaca Al Quran dengan hati teriris. Andai pandemi ini pergi, saya mungkin bisa melihatnya setiap saat. Memastikan angka pada layar monitor tetap stabil dan memberitahukan pada suster atau perawat.

Andai pandemi ini tidak ada, andai peraturan rumah sakit dibuat berbeda. Saya pun sebenarnya tidak bisa mengubah takdir usia anak kami. Namun, sekali lagi betapa aneh peraturan rumah sakit ini. Yang saya tahu kondisi bayi prematur bisa digendong, bisa mendapat ASI dari ibunya. Namun terhalang kondisi pandemi.

Tidak hanya saya yang mengalami kondisi seperti ini. Banyak ibu dari berbagai daerah mengalami hal yang sama. Mereka tidak bisa menjenguk bayinya, tidak bisa memberikan ASI, tidak boleh melihatnya pula. Pada bayi yang dilahirkan pada bulan Agustus tersebut, setau saya ada 3 bayi prematur, beberapa bayi lainnya dalam keadaan kelainan organ pernafasan, kelainan organ jantungnya dan sebagainya. Satu per satu bayi tersebut meninggal. Sejak hari pertama dilahirkan hingga anak kami berusia 22 hari tersebut.

Selama 22 hari tersebut, hati saya tentu berkecamuk. Selain pandemi, kabar bayi yang meninggal membuat saya tidak nyenyak tidur. Hampir setiap hari saya harus menuju rumah sakit untuk sekedar membaca doa di depan ruang NICU. Saya juga sudah tidak mempedulikan kondisi pandemi ini.

Adakah ini keadilan dari Tuhan? Pasti. Manusia agaknya harus selalu berjaga-jaga. Bahwa setiap kejadian pastilah atas ulah manusia serta takdir Tuhan. Saya berharap semua dalam lindungan Allah sampai pandemi ini diangkat olehNya.

Andai pandemi pergi? Saya harus terus meningkatkan keimanan. Iman kepada segala ketentuan dariNya. Sabar dan ikhlas dalam menjalani skenario serta peran saya di dunia ini. Bersungguh-sungguh menjadi hamba yang bertaqwa dengan terus meningkatkan amal ibadah dan menjahui larangan-laranganNya. Dengan sedikit ilmu yang saya pahami, semoga Allah senantiasa membimbing dan merahmati saya dan keluarga saya. AAMIIN.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image