Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Taufiq Sudjana

Tantangan Guru Memulihkan Kondisi Psikologis Pembelajaran

Guru Menulis | Tuesday, 14 Sep 2021, 16:29 WIB
Sejumlah siswa berjalan kaki pulang dari sekolah di Mamuju, Sulawesi Barat, Senin (13/9/2021). Setelah hampir dua tahun belajar secara daring akibat pandemi COVID-19, Pemerintah setempat memberlakukan proses belajar secara tatap muka terbatas di zona hijau dan kuning dengan penerapan protokol kesehatan ketat sebagai upaya pencegahan penyebaran COVID-19. (Foto: Antara/Akbar Tado)

Tidak dipungkiri meluasnya paparan Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) mengakibatkan dunia mengalami masa pandemi. Penyebarannya yang begitu masif melanda dunia. Tidak terkecuali Indonesia.

Penyebaran penyakit ini telah memberikan dampak luas secara sosial dan ekonomi. Bahkan hampir menyeluruh menyentuh setiap sisi kehidupan. Terlebih ketika pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).

Kebijakan dan pemberlakuan protokol kesehatan yang diputuskan oleh pemerintah dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19. Imbas di dunia kerja yaitu WFH (Work from Home).

Dunia pendidikan pun mengalami imbasnya. Kegiatan pembelajaran di sekolah dialihkan menjadi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau Belajar dari Rumah (BDR). Sekolah-sekolah ditutup dan pembelajaran daring pun dilakukan.

Kesiapan Pendidikan Menghadapi Masa Pandemi

Berbagai masalah muncul mulai dari orang tua yang kurang memahami pelajaran sekolah karena latar belakang pendidikan sebelumnya, belum melek teknologi, bahkan membengkaknya biaya bulanan karena harus membeli kuota namun juga tetap membayar uang sekolah.

Dari sisi hasil pembelajaran, siswa tentu tidak semudah menangkap pembelajaran secara langsung seperti berada di sekolah. Diperlukan penguasaan alat pembelajaran, materi pembelajaran dan komunikasi yang baik dalam menyampaikan pembelajaran melalui daring.

Seperti hasil survei awal yang dilakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud, sekarang Kemdikbudristek) dan Kementerian Agama (Kemenag), perubahan pola mengajar ini menuntut kesiapan yang cukup ekstra.

Ulasan mengenai hasil survei Kemdikbudristek dan Kemenag ini dapat dibaca melalui tulisan Potret Dunia Pendidikan di Masa Pandemi.

Guru dan siswa bukan hanya gagap menghadapi pola PJJ ini. Kegiatan belajar mengajar dengan melakukan BDR ternyata menghadapi kendala mendasar, baik dari sisi guru, siswa, dan orang tua siswa.

Menghadapi kondisi pandemi ini pemerintah menyiapkan serangkaian ketentuan dengan memperhatikan keselamatan, kemaslahatan, dan tetap menjalankan keberlangsungan pendidikan di negeri kita. Antara lain dengan menerbitkan ketentuan Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Tahun Ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19).

Ketentuan tersebut berdasarkan Keputusan Bersama 4 Menteri; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan Menteri Dalam Negeri. Diperkuat dengan Surat Edaran Mendikbud Nomor 4 Tahun 2020, Surat Edaran Sekretaris Jenderal Kemendikbud Nomor 15 Tahun 2020, serta Kepmendikbud Nomor 719/P/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Kurikulum pada Satuan Pendidikan dalam Kondisi Khusus.

Kemenag melalui Dirjen Pendidikan Islam pun menerbitkan Panduan Kurikulum Darurat pada Madrasah dalam Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 2791 Tahun 2020 berlaku bagi jenjang pendidikan madrasah mulai dari Raudhatul Athfal (RA), Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), hingga Madrasah Aliyah (MA).

Kemudian pemerintah pun menyalurkan bantuan untuk guru dan siswa di seluruh pelosok negeri. Bantuan kuota belajar untuk mendukung terlaksananya BDR.

Kompetensi Guru dalam Pembelajaran di Masa Pandemi

Guru perlu memiliki kompetensi yang mendukung keberhasilan pembelajaran siswa pada masa pandemi ini. Bahkan sebetulnya bukan hanya ketika pandemi. Guru dituntut untuk terus meningkatkan kompetensinya. Sebagai agen pembelajaran untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional.

BDR hingga saat ini masih dilakukan dengan memanfaatkan teknologi komunikasi dan informasi. Berbagai bentuk kegiatan pembelajaran daring dilaksanakan supaya kegiatan pendidikan tetap berlangsung. Meski di beberapa daerah sudah dimulai persiapan Pembelajaran Tatap Muka (PTM), justru hal ini semakin memacu guru agar lebih mempersiapkan diri terhadap berbagai perubahan yang terjadi.

Berdasarkan survei kedua yang dilakukan Kemdikbud pada Agustus 2020 lalu diperoleh data perubahan positif yang dialami guru. Perubahan ini terkait penguasaan guru dalam penguasaan teknologi.

Untuk guru di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar), peningkatan penguasaan teknologi yang mendukung pembelajaran masih relatif rendah sebesar 15,2% dibanding guru di daerah Non-3T yang menunjukkan jumlah peningkatan sebesar 44,1%.

Namun demikian, angka yang relatif tinggi masih menunjukkan tidak terjadinya perubahan positif yang dialami guru. Sebesar 39% guru 3T dan 28,1% guru Non-3T mengakui tidak adanya perubahan yang terjadi.

Mencermati hal tersebut, pentingnya peningkatan kompetensi profesional guru adalah keniscayaan yang harus dilakukan oleh seluruh guru di Indonesia. Amanat undang-undang sudah jelas. Namun yang rancu ketika membaca bunyi pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa kompetensi guru yang dimaksud meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi.

Kalimat terakhir yang perlu digarisbawahi, “kompetensi profesional yang diperoleh melalui pendidikan profesi”. Sementara ini kompetensi profesional tersebut hanya dikaitkan dengan Pasal 2 Ayat (2) yang berbunyi “Pengakuan kedudukan guru sebagai tenaga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat pendidik.”

Sertifikat pendidik merupakan bukti pengakuan kedudukan guru profesional menurut pasal tersebut. Anggota Komisi X DPR RI, Ferdiansyah menyebut data per 11 Desember 2019 guru SMP yang sudah tersertifikasi sebanyak 47,4%, SD sebanyak 45,77%, dan paling kecil SMK yaitu 28,49% (Republika, 11/06/2020).

Jika melihat data tersebut maka jumlah guru profesional secara nasional masih di bawah 50%. Apakah dapat dikatakan guru di Indonesia belum profesional? Bagaimana dengan 3 aspek lainnya, kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial?

Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Interaksi atau hubungan timbal balik antara guru dan siswa itu merupakan syarat utama bagi berlangsungnya proses belajar mengajar.

Dalam berbagai kondisi, peran guru belum tergantikan. Bahkan ketika kemajuan teknologi Artificial Intelligence (AI) sekali pun.

Prasyarat kompetensi guru tentu akan menentukan ia layak disebut kompeten atau tidak. Sebab sebutan kompetensi hanya sebuah kata benda. Untuk mewujudkan kompeten sebagai kata sifat pada profesi guru, pastinya perlu menjadi karakter yang melekat pada guru itu sendiri.

Dalam situasi pandemi ini, ada baiknya mencermati pendapat Mohamad Surya (1997:15) yang melihat sosok guru dari tinjauan sudut pandang psikologis.

(1) Guru sebagai pakar psikologi pendidikan, artinya seseorang yang memahami psikologi pendidikan dan mampu mengamalkannya dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik;

(2) Guru sebagai seniman dalam hubungan antar manusia (artist in human relations), artinya guru adalah orang yang memiliki kemampuan menciptakan suasana hubungan antar manusia khususnya dengan para siswa sehingga dapat mencapai tujuan pendidikan;

(3) Guru sebagai pembentuk kelompok (group builder), yaitu mampu menciptakan kelompok dan aktivitas-aktivitas untuk mencapai tujuan pendidikan;

(4) Guru sebagai catalytic agent atau inovator, yaitu orang yang mampu menciptakan suatu pembaharuan untuk membuat suatu hal yang lebih baik; dan

(5) Guru sebagai petugas kesehatan mental (mental hygiene worker), artinya guru bertanggung jawab bagi terciptanya kesehatan mental para siswa.

Berdasar tinjauan tersebut, guru seyogyanya selalu tanggap beradaptasi menghadapi berbagai kondisi. Selayaknya seorang petugas pemadam kebakaran, ia akan selalu siaga menghadapi informasi kebakaran yang ia terima. Kemudian segera menyiapkan regu, mobil pemadam, dan lekas menuju lokasi kebakaran. Keterlambatan mereka tentu akan berakibat fatal, menghanguskan lokasi kebakaran dan tidak mustahil memakan korban yang lebih besar.

Sama halnya dengan guru, jika dia tidak sigap dan tidak dengan segera meng-upgrade dirinya, maka niscaya ketertinggalan akan semakin jauh dari perkembangan dunia. Bahkan tertinggal oleh muridnya sendiri. Peribahasa “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” itu sekarang sudah terbalik. “Murid sudah kencing duluan, guru baru mau kencing”. Bahkan mungkin terjadi peribahasa "guru kencing berlari, murid kencing marathon".

Artinya, selain guru itu sebagai teladan baik, ia juga akan menularkan contoh buruk kepada muridnya. Namun secara positif dapat dimaknai bahwa sekarang ini guru lebih banyak ketinggalan dari murid-muridnya.

Nah, bagaimana supaya murid kencing tidak di celana, atau kencing di sembarang tempat? Guru tetap berperan mengarahkannya supaya murid-muridnya tidak kencing sembarangan. Guru tentu harus mengarahkan supaya muridnya kencing di toilet, jamban, atau kamar mandi.

Kondisi pandemi ternyata tidak hanya menyibukkan guru dengan upaya mereka meningkatkan kompetensi dirinya. Ia pun harus mampu memulihkan kondisi psikologis pembelajaran yang terdampak pandemi selama hampir 2 tahun melanda negeri. Minat belajar, etos belajar, dan yang tidak kalah penting adalah tetap memperkuat karakter peserta didik.

#GuruHebatBangsaKuat

#GuruMenulis

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image