Mengenal Saru dan Ora Elok, Pembelajaran Prilaku Positif Orang Jawa
Sastra | 2021-09-09 22:11:18Bahasa memiliki peranan sebagai alat untuk berinteraksi dan berkomunikasi. Hampir tidak ada kegiatan manusia modern yang berlangsung tanpa penggunaan bahasa.
Bahasa amat diperlukan dalam berbagai hal yang bertujuan memudahkan masyarakat dalam berinteraksi dengan sesama manusia.
Sebagai alat komunikasi verbal, bahasa juga digunakan sebagai sarana yang berfungsi sebagai media penyampai keinginan, gagasan, emosi, dan kehendak dari seseorang kepada manusia lainnya.
Dalam penggunaan Bahasa saat berkomunikasi dengan orang lain terdapat kata atau rangkaian kata yang memiliki makna. Saru dan Ra-Elok merupakan sebuah kata atau rangkaian kata yang memiliki pesan positif bagi Orang Jawa dan keturunannya.
Keduanya menjadi pengingat bagi Orang Jawa untuk berprilaku baik dari sisi kesopanan maupun menghormati hak orang lain. Namun, kedua kata ini saat ini mulai terkikis dengan budaya baru di era ini.
Pembelajaran hidup dari Ibu dan Almarhum Bapak masih berusaha daku (saya) coba pertahankan ialah tidak melanggar Saru dan Ra-Elok. Walupun kenyataannya dalam beberapa situasi, daku pun terpeleset melanggar Saru dan Ora Elok di era saat ini yang bercanda kebablasan.
Orang Jawa memandang pengertian Saru mengenai hal-hal tabu untuk dilakukan atau diucapkan. Kata Saru sebagai ungkapan yang singkat atau perumpamaan terhadap makna yang luas. Saru lebih dekat dengan pelarangan terhadap tindakan atau ucapan yang mengarah pada seksual.
Kata Saru disebutkan dengan mengingatkan orang lain jika terdengar tidak pantas, misal dengan menyebut alat kelamin atau sesuatu yang seksual. Bercanda yang menyerempet seksual entah kenapa sepertinya umum kita dengar di kota-kota besar.
Saru merupakan salah-satu karakter pendidikan sex Orang Jawa dengan menggunakan banyak simbol Bahasa. Saru digunakan untuk ungkapan menghaluskan penyebutan, yang dalam ilmu linguistik disebut sebagai kramanisasi seksual.
Banyak orang Jawa menyadari bahwa alat kelamin adalah tanda yang menunjukkan perbedaan antara laki-laki atau perempuan. Tetapi penyebutan untuk alat kelamin bukan sesuatu yang pantas untuk diucapkan atau dijadikan bahan guyonan.
Para orang tua yang masih memegang tradisi Jawa akan melarang keturunannya berbicara kotor / jorok,
Larangan itu juga untuk seorang laki-laki bercanda dengan menyentuh bagian tubuhnya dengan bagian tubuh wanita yang bukan mukhrimnya termasuk sepupu.
Saru juga digunakan untuk mengungkapkan sesuatu perilaku yang membuat seseorang akan berfikir buruk tentang Kita, misal memasukkan makanan yang disajikan untuk umum (prasmanan) ke berkat (Box Makanan) yang khusus untuk kita terima, tangan kanan masih memegang makanan sedangkan tangan kiri meraih makanan yang lain (celamitan), duduk mengangkang sehingga aurat Kita terkuak.
Sedangkan Ora Elok merupakan istilah Bahasa Jawa yang berarti tidak baik, tidak bagus, dan tidak etis. Ora elok lebih tegas daripada Saru karena berisi larangan.
Ungkapan tersebut dimaksudkan agar seseorang tidak melanggar unggah-ungguh. Masyarakat Jawa merupakan kumpulan individu yang memiliki aturan kesopanan yang tidak tertulis tetapi dipegang sangat kuat.
'Ora Elok' digunakan untuk mengingatkan sesuatu hal kepada anak-anak, remaja dan orang dewasa. Rangkaian kata ini mengandung nasihat-nasihat berisi pelajaran unggah-ungguh, etika, atau budi pekerti.
Ada edukasi dibalik kata Ora Elok, tetapi para tetua memberikan kata yang membuat pelaku Ora Elok akan menerima sesuati negatif pada fisik / jiwanya. Padahal dibalik pelarangan itu ada hal yang amat penting bagi kehidupan.
Berbagai contoh 'Ora elok seperti ; nglungguhi bantal, engko wudunen' (Tidak baik menduduki bantal, nanti bisa bisulan) bila diperhatikan ini lebih kepada kesehatan karena celana bisa jadi terdapat bakteri / virus yang dapat menyebarkan penyakit.
'Ora elok dolanan beras, engko tangane kithing' (Tidak baik bermain beras, nanti jari tangannya bertumpang tindih). Maksud dari pernyataan ini agar jangan mempermainkan makanan agar tidak terbuang.
Kemudian 'Ora elok ngidoni sumur, mengko lambene guwing (Tidak baik meludahi sumur, nanti bibirnya sumbing), ini dapat diartikan apabila kita sakit akan dapat menyebarkan penyakit bila kita meludahi sumur yang digunakan orang lain.
Pantangan-pantangan tersebut, terdapat pesan moral yang ingin disampaikan. Apalagi orang Jawa identik dengan menyampaikan tidak langsung pada pokok dan inti permasalahannya. Orang Jawa mengungkapkan sesuatu dengan simbol-simbol / perumpamaan.
Banyak sekali hal-hal menarik dan unik yang dapat digali dari Jawa, salah-satunya berbau takhayul maupun mitos. Mitos adalah suatu cerita, pendapat, atau anggapan dalam sebuah kebudayaan yang dianggap mempunyai kebenaran menganai suatu perkara yang pernah berlaku pada suatu masa yang kebenarannya masih tanda tanya (Azizah dan Alee, 2014: 5).
Mungkin saja, orang Jawa terdahulu yang melahirkan Ora Elok dengan ucapan pantangan disertai akibat-akibatnya, sulit memberikan edukasi tentang dampak buruk sebuah perilaku. Akhirnya mitos dan tahayul dijadikan jalan agar banyak orang dapat melakukan hal yang lebih sehat.
----
Salam hangat Blogger Udik dari Cikeas - Andri Mastiyanto
Instagram I Twitter I Email: [email protected]
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.