Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sutanto

Cernak: Anak Udik

Sastra | Tuesday, 07 Sep 2021, 22:44 WIB

Namaku Wulandari, gadis dusun tepi pantai selatan Yogyakarta. Aku duduk di kelas 5 Sekolah Dasar Bantul Kota. Awalnya aku sekolah di dusun seperti teman bermainku yang lain, namun karena ibuku meninggal menjelang kenaikan kelas 5 aku dirawat bulik Surti, pedagang sayur yang tinggal di dekat Pasar Bantul. Sedangkan paklik Bardi bengkel sepeda.

“Wulan, kalau tidur jangan terlalu malam agar tidak bangun kesiangan.”

Kalimat itu yang selalu dipesankan bulik kepadaku, dan aku patuhi. Sebagai anak yang dirawat dan dibiayai sekolah, aku harus tahu diri dan mendengar nasehatnya. Aku tak pernah bangun kesiangan, menjelang Subuh membantu menyiapkan dagangan.

“Kang, sayurannya pagi ini lumayan banyak. Tolong dibantu mengantar ke pasar ya,” pinta bulik kepada paklik Bardi.

“Ya dik, aku siapkan sepedanya dulu,” jawab Paklik.

Meskipun paklik dan bulik bukan tergolong orang berada, namun aku mengagumi mereka. Keduanya sangat rukun, saling membantu dalam pekerjaan. Paklik tak segan-segan membantu mencuci, memberi makan ayam, merawat tanaman bila bulik kerepotan mengerjakannya. Dari merekalah saya belajar tidak silau dengan gemerlapnya dunia fana ini.

“Wulan, kalau mau berangkat sekolah jangan lupa sarapan biar tenang mengikuti pelajaran sampai siang,” pesan bulik saat mau berangkat ke pasar.

“Iya bulik, saya selalu sarapan kok,” jawabku.

***

Jam setengah tujuh aku sudah sampai sekolah, Bu Ratna guru kelasku telah menyambut di pintu gerbang sekolah. Setelah berjabat tangan dan mengucap salam aku menuju kelas langsung mengambil kemucing untuk membersihkan meja dan kursi.

“Wulan, kok kamu ikut membersihkan meja kursi. Kamu kan tidak piket, mengapa ikut repot bersih-bersih?” tegur Nisa temanku sebangku.

“Tak apa-apa Nis, di rumah bulik aku juga biasa bantu bersih-bersih kok,” jawabku.

Beberapa menit kemudian teman lain mulai berdatangan, meletakkan tas mereka dikursi masing-masing.

“Rupanya ada yang cari muka ikut membersihkan meja, bukan jadwalnya kok ikutan membantu segala,” Desi mulai meledekku.

“Biar saja Des, orang berbuat baik kok kamu ledek,” timpal Nisa membelaku.

“Aduh-aduh, teman sebangku membelanya,” sahut Desi sambil melengos.

“Sudah-sudah, pagi-pagi kok malah ribut. Itu bu Ratna sudah berjalan ke kelas kita. Ayo semuanya bersiap,” Candra sang ketua kelas menengahi.

Menghadapi teman seperti Desi lebih baik aku diamkan saja, toh aku ke sekolah untuk belajar bukan untuk memikirkan hal yang lain.

”Selamat pagi anak-anak,” sapa bu Ratna.

“ Selamat pagi bu,” semua menyahut hampir bersama.

Bu Ratna mengabsen satu persatu sambil berkeliling ke seluruh sudut kelas.

“Seperti kalian ketahui bahwa 19 Juli 2020 lalu, sastrawan Indonesia Prof.Dr.Sapardi Djoko Damono atau sering disebut SSD telang berpulang menghadap Tuhan. Dalam rangka menghargai jasa beliau dalam bidang puisi, Perpustakaan Daerah Kabupaten Bantul mengadakan lomba mencipta puisi. Ada sepuluh puisi terbaik yang saya ikutkan lomba.”

“Karyaku mesti masuk nominasi dan juara, Desi gitu loh, beda dengan Wulan yang anak udik” teriak Desi penuh percaya diri.

“Jangan sok pede, diumumkan bu Ratna saja belum mengumumkan kok. Apalagi meremehkan teman lain,” sahut Nisa.

“Kamu nggak percaya sama kemampuanku, Nis.” tantang Desi.

“Hu...,” teriak hampir semua teman mendengar kata-kata Desi.

“Kalian bisa tenang tidak? Kalau kalian tidak bisa tenang, ibu tak akan melanjutkan pengumuman penting ini,” bu Ratna bersuara agak keras.

Kami semua segera diam, barulah bu Ratna meneruskan kata-katanya.

“Dari sepuluh puisi yang kita ikutkan lomba, ada dua yang mendapat penghargaan sebagai puisi terbaik pertama dan terfavorit. Puisi terbaik diraih oleh Wulandari, sedangkan puisi terfavorit diraih Nisa.”

Aku dan Nisa saling berpandangan, rasanya tak percaya dengan apa yang disampaikan bu Ratna, sementara kulirik Desi tertunduk.

“Silakan Wulan dan Desi maju menerima penghargaan,” panggil bu Ratna.

Aku dan Nisa maju berjajar menghadap teman-teman yang memandang kami tak berkedip. Bu Ratna memberikan piagam penghargaan sambil memeluk kami berdua.

Tiba-tiba Desi beranjak dari kursi menghampiriku sambil mengulurkan tangan, “Maaf Wulan, selama ini saya terus meledekmu. Namun ternyata kau menyimpan potensi yang luar biasa.”

Aku menyambut uluran tangannya,”Aku memaafkanmu Des, semoga kita bisa menjadi sahabat yang baik.”

Desi mengangguk sambil tersenyum.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image