Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yogie Alwaton

Perjalanan Pasal Karet UU ITE dan Problematikanya

Politik | Tuesday, 07 Sep 2021, 19:45 WIB
Sederet 'pasal karet' UU ITE dan permasalahannya.

UU ITE merupakan salah satu produk regulasi yang tercipta setelah reformasi yang memiliki dinamika panjang. Substansinya, UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini mengatur soal informasi elektronik dan transaksi dunia maya yang menyertainya. Tentang mengapa kemudian kebijakan ini diperlukan ialah karena secara normatif UU ITE akan memayungi regulasi sosial dalam ranah digital. Meski begitu, implementasinya punya kisah berbeda.

UU ITE dinilai mengancam kebebasan berpendapat bagi masyarakat sipil maupun kebebasan pers. Setidaknya, berikut beberapa ‘pasal karet’ yang bias demokrasi:

Pasal 26 Ayat 3 tentang Penghapusan Informasi Elektronik yang dinilai bertabrakan dengan UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi yang menjamin hak publik atas informasi dan kebebasan berekspresi.

Pasal 27 tentang Pencemaran Nama Baik dan Penghinaan yang memiliki risiko kriminalitas tinggi terhadap wartawan yang melakukan kerja jurnalistik dengan tuduhan pencemaran dan penghinaan.

Pasal 28 tentang Ujaran Kebencian yang kerap digunakan untuk alasan membungkam pengkritik Presiden.

Pasal 40 ayat 2b tentang Pemblokiran dimana terdapat kewenangan pembatasan internet yang kerapkali menjadi alat politis.

Untuk itu, LBH Pers dan AJI Indonesia kemudian merekomendasikan pemerintah dan DPR untuk segera melakukan revisi menyeluruh terhadap UU ITE, tidak hanya sebatas pasal penghinaan, pencemaran nama baik hingga ujaran kebencian. Alhasil, pada tanggal 25 November 2016 Presiden Joko Widodo menandatangani naskah perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tersebut menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.

Pada prinsipnya, amandemen tersebut nyatanya tidak mengubah substansi pasal karet seperti apa yang dituntutkan oleh masyarakat. Karena dalam perjalanannya, perubahan regulasi tersebut hanya bersifat formal semata. Misalnya, pada pasal 27 ayat 3 yang sebelumnya ditegaskan bahwa ancaman pidana bagi seseorang yang melakukan pencemaran nama baik akan di denda senilai Rp 1 miliar. Namun setelah perubahan ternyata hanya mengurangi kuantitas denda menjadi Rp 750 juta.

Selain itu, melalui revisi UU ITE tersebut, pemerintah kembali ditegaskan bahwa tetap memiliki kewenangan untuk memutus akses dan/atau memerintahkan penyelenggara sistem elektronik untuk memutus akses terhadap informasi elektronik yang bermuatan melanggar hukum. Namun kepalangnya, dinamika panjang revisi regulasi tersebut akhirnya tidak menemukan titik temu hingga akhirnya tidak masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2021.

Regulasi UU ITE tidak hanya memiliki makna ambiguitas yang menjadi diskursus masyarakat di era konvergensi saat ini. Namun juga melanggengkan kasus-kasus sebagai implikasinya.

Kasus mantan guru asal Mataram, Baiq Nuril menjadi salah satu persoalan pelik yang pernah terjadi akibat UU ITE. Baiq Nuril dinyatan melanggar pasal 27 karena dianggap menyebarluaskan konten asusila. Padahal, Baiq membuat pernyataan itu untuk alasan pertahanan diri. Ia diketahui menjadi korban perbuatan tercela dari atasannya, namun Ia malah terjerat pasal karet ini.

Disamping itu, kasus Prita Mulyasari juga menjadi korban dari ambigunya UU ITE. Sama seperti sebagian besar kasus yang dihadapi jurnalis yang kritis, Ia dituntut atas kasus pencemaran nama baik.

Catatan SAFEnet, pada 2018 ayat pencemaran nama baik memang mendominasi laporan terkait biasnya UU ITE. “Laporan yang dihimpun koalisi masyarakat sipil menunjukkan sejak 2016 sampai dengan Februari 2020, untuk kasus-kasus dengan pasal 27, 28 dan 29 UU ITE, menunjukkan penghukuman (conviction rate) mencapai 96,8% (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan yang sangat tinggi mencapai 88% (676 perkara). Laporan terakhir SAFEnet menyimpulkan bahwa jurnalis, aktivis, dan warga kritis paling banyak dikriminalisasi dengan menggunakan pasal-pasal karet yang cenderung multitafsir dengan tujuan membungkam suara-suara kritis.”

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image