Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Aniyatul Ain

Wabah dan Relevansi Hijrah

Agama | Monday, 06 Sep 2021, 03:49 WIB

Oleh: Aniyatul Ain

Alumnus UPI Bandung dan Pegiat Literasi Islam

Laporan ketahanan terhadap Covid-19 yang dibuat Bloomberg pada 27 Juli 2021, Indonesia disebut sebagai negara yang berada di peringkat terbawah dari 53 negara yang dianalisis Bloomberg. Indonesia berada pada urutan akhir dan disebut sebagai negara yang paling buruk dalam menangani pandemi/wabah. Setidaknya ada beberapa indikator yang menunjukkan hal tersebut: mulai dari kualitas faskes, cakupan vaksinasi, tingkat kematian, pelonggaran perbatasan, keketatan soal pembatasan wilayah dan juga proses perjalanan.

Apa yang disampaikan Bloomberg sangat menohok kita. Namun, jika kita renungkan, yang termuat di laporan tersebut ada benarnya. Karena berdasarkan fakta di lapangan, memang pandemi saat ini sudah liar, sulit dikendalikan! Baik di perkotaan maupun di pedesaan tingkat terinfeksi masih tergolong tinggi. Bahkan, yang terbaru ada lima provinsi di luar Jawa-Bali yang mengalami lonjakan kasus yang cukup tinggi yaitu berkontribusi 54% ke penambahan kasus nasional. Provinsi tersebut adalah Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Papua, Sumatera Barat dan Kepulauan Riau. Bukan hanya itu, Juli lalu Indonesia sempat mengalami kasus kematian tertinggi di dunia akibat Covid-19 yaitu 1300 orang/hari.

Dari laporan Bloomberg tersebut, seyogyianya menjadikan kita lebih tercemeti untuk serius menyelesaikan masalah wabah. Karena jika kita flashback merunut perjalan wabah dari Wuhan (sebagai episentrum wabah) dan sampai masuk ke negeri ini, mitigasi dini tidak dilakukan di negeri ini. Yang ada, justru kelakar-kelakar para pejabat yang menyepelekan hal ini. Sungguh ironis.

Demokrasi-Kapitalisme Memperlama Penyelesaian Pandemi?

Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level empat di beberapa daerah masih diterapkan. Masyarakat bagai menelan simalakama. Ingin terus berjuang menyambung hidup dan menafkahi keluarga, terhambat PPKM dan dihadang virus. Namun, ketika mereka tetap di rumah, masyarakat tidak ada yang menjamin semua kebutuhannya terpenuhi karena kebijakan setengah hati penguasa. Seharusnya pejuang nafkah yang terpaksa keluar rumah ini, ia terlindungi UU Karantina Kesehatan. Tetap di dalam rumah dan disantuni negara. Namun, lagi-lagi sangat disayangkan pemerintah tidak juga mengambil langkah lockdown dengan alasan tidak ada dana dan pertimbangan sektor ekonomi.

Dari sini dapat kita lihat, bahwa corak kepemimpinan di dalam sistem demokrasi-kapitalisme lebih menitik beratkan kepada aspek ekonomi ketimbang nyawa rakyatnya. Aspek ekonomi digadang-gadang agar tetap berjalan bahkan meroket. Pertanyaannya ekonomi siapa? Ekonomi rakyat atau oligarki? Di saat awal mula Covid-19 muncul ke permukaan, negara lain sibuk menutup bandara sebagai akses keluar masuk warga asing. Negeri ini justru sengaja mempromosikan pariwisata agar wisatawan mancanegara berdatangan ke sini. Di saat kasus meledak di tanah air dengan memakan korban jiwa kurang lebih 1000 orang/hari, bandara pun masih tetap dibuka, tetapi rakyat dipaksa tinggal di rumah.

Kejomplangan kebijakan yang diterapkan membuat masyarakat menutup mata dan tidak memberi ruang percaya kepada penguasa. Kritik-kritik yang disampaikan dianggap sebagai bentuk ujaran kebencian. Padahal itu murni hanya menyampaikan suara hati nurani. Tidak sedikit orang kritis dipenjarakan! Ironis bukan? Pada akhirnya, masyarakat kehilangan ruang untuk mengadukan nasib mereka sehingga mural menjadi jalan penyaluran keluh-kesah. Namun, sekali lagi, alih-alih didengarkan jeritan suara rakyat, yang ada justru pembuat mural diburu layaknya koruptor berdasi.

Beginilah â huru-haraâ pandemi di alam demokrasi. Aspek ekonomi yang dipertahankan dan dibela mati-matian kala wabah, nyatanya belum mampu mengubah wajah ekonomi bangsa ini. Justru yang nampak, hutang Indonesia semakin membengkak mencapai 8000T. Saran para pakar kesehatan, ahli epidemiologi, ormas, tokoh agama dan masyarakat yang meminta penghentian wabah dengan lockdown tidak didengar sedari awal. Katanya demokrasi menjunjung tinggi suara rakyat? Fakta di lapangan, suara dan kepentingan elit oligarki lah yang justru diperhatikan. Untuk sekadar berdaulat dalam penanganan wabah, penguasa masih terbelenggu. Sungguh, ironis.

Tidak berdaulatnya penguasa dalam menentukan kebijakan persoalan wabah, hal inilah yang memperlama penyelesaian wabah itu sendiri. Jika kelak kita dapati penurunan kasus harian yang cukup signifikan, maka jangan senang dulu. Euforia masyarakat yang merasa kondisi sudah membaik, kemudian kembali berkerumun, juga difasilitasi dengan dibukanya tempat-tempat wisata dan fasilitas publik yang lain, maka bukan tidak mungkin masyarakat kembali terpapar karena kerumunan sulit dihindarkan. Hal ini membentuk siklus yang tak berujung (menurunnya kasus-kemudian dibuka kembali tempat hiburan dan ruang publik-meningkat lagi kasus-ditutup lagi). Semakin lama bukan wabah ini teratasi?

Hijrah Menuju Perubahan Lebih Baik

Lain demokrasi, lain pula Islam dalam menjawab semua persoalan manusia. Jika di dalam sistem demokrasi diklaim suara dan kepentingan rakyat diutamakan, (namun fakta di lapangan justru kepentingan elit oligarki yang dinomorsatukan), tentu hal ini berbeda dengan Islam. Sebagai sebuah diin (agama) dan sistem hidup, Islam mempunyai seperangkat aturan yang sangat rinci dalam memecahkan problem kehidupan manusia. Ya, kita patut bersyukur, hadirnya Islam di dunia ini punya kekhasan tersendiri yakni sebagai problem solver kehidupan manusia. Termasuk dalam hal ini persoalan tentang wabah.

Wabah yang terjadi saat ini di dunia, bukan yang pertama bukan? Manusia pada zaman dahulu pun pernah mengalami. Termasuk saat khilafah islamiyyah (sistem pemerintahan Islam) masih tegak berdiri. Kita ingat, di masa Khalifah Umar bin Khattab pernah terjadi wabah thaâ un yang memakan korban tidak sedikit. Termasuk yang gugur dari mereka adalah dari kalangan sahabat senior, seperti: Abu Ubaidah, Muadz bin Jabbal, Syarhbil bin Hasanah, Al-Fadl bin Al Abbas dan Yazid bin Abu Sufyan. Maka, Khalifah Umar bin Khattab segera mengambil langkah lockdown. Melarang siapapun masuk ke wilayah yang terkena wabah. Juga melarang siapapun (yang berada di wilayah terkena wabah) keluar dari wilayah tersebut. Hal ini sebagaimana hadis Nabi Saw â Jika kamu mendengar wabah thaun di suatu wilayah, maka janganlah kamu memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu. (HR. Al-Bukhari).

Di dalam bukunya â The Great Leader of Umar bin Khattabâ karya DR. Muhammad Ash-shalabi, diceritakan bahwa Khalifah Umar adalah orang yang paling terakhir makan. Ia mendahulukan rakyatnya di masa sulit seperti saat itu. Beliau juga menunda pemungutan zakat, karena semua terdampak wabah thaun. Beliau menampung 70.000 rakyatnya yang kelaparan, semakin mendekat kepada Allah seraya melakulan taubat secara terus-menerus. Inilah yang dilakukan Khalifah Umar tatkala wabah melanda negeri Syam.

Khalifah Umar lebih memilih menyelamatkan nyawa rakyatnya dibanding penggenjotan ekonomi. Sehatkan dulu masyarakatnya, kelak ekonomi pun akan membaik. Inilah relevansi hijrah di kala wabah. Sudah selayaknya kita hijrah menuju perubahan lebih baik. Dengan menjadikan Islam sebagi suatu pedoman dalam hidup. Agar persoalan buntu dapat menemukan jalannya. Jalannya itu adalah dengan berpegang-teguh pada seluruh aturan Islam. Dengan kita berpegang-teguh pada aturan Allah, niscaya Allah akan menolong hambaNya di luar batas nalar. Wallahuaâ lam.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image