Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Yudha Ogara

Andai Pandemi Pergi

Lomba | Monday, 06 Sep 2021, 01:45 WIB

Berandai-andai terkadang memang enak, menghibur diri. Misalnya berandai-andai pandemi Covid-19 pergi mengingat beragam dampak yang memantik beragam perasaan tidak menyenangkan saat ini.

Kita harus selalu memakai masker. Tentu rasanya tidak nyaman. Lebih dari itu, para tenaga kesehatan yang harus memakai alat pelindung diri (APD) lengkap saat bertugas. Bukan lagi sebatas bosan, perasaan pasti bercampur baur.

Nyatanya, virus SARS-CoV-2, sumber penyakit Covid-19, masih eksis. Bahkan varian baru virus itu terus bermunculan. Jadi apa mau dikata, pandemi mungkin masih akan berlangsung dalam dua atau tiga tahun ke depan. Bahkan menteri kesehatan menyatakan bisa saja sampai puluhan tahun. Tentu malas membayangkan kehidupan seperti sekarang dalam waktu puluhan tahun.

Amerika Serikat belum lama ini mengumumkan peningkatan kasus aktif Covid-19 sampai 1.000 persen dalam dinamika pelonggaran protokol kesehatan. Banyak kota di dunia yang terpaksa menarik ulur kebijakan dalam penanganan pandemi ini karena korban terus bertambah.

Di negara kita, vaksinasi Covid-19 tengah digencarkan sejalan dengan penerapan berbagai level pembatasan kegiatan. Terjadi penurunan kasus aktif Covid-19. Yang paling menonjol di Jakarta, di mana vaksinasi Covid-19 berjalan optimal dan warga terasa sangat mendukung penerapan kebijakan pembatasan kegiatan.

Bahkan di kota dengan penduduk sekitar 10 juta jiwa ini, masyarakat tampak sudah terbiasa dengan protokol kesehatan Covid-19. Tetapi bukan berarti mereka siap untuk berlama-lama dalam situasi seperti ini. Kalau ditanya, semua pasti ingin segera membuka masker dan beraktivitas secara normal.

Akhirnya, kita tidak akan mau berandai-andai terlalu lama karena semakin banyak tantangan hidup yang harus dihadapi dengan pikiran dan aksi yang nyata mengingat pandemi ini adalah kenyataan. Mungkin banyak orang malah berandai-andai yang lebih positif.

Andai tidak ada pandemi Covid-19, kita tidak akan semakin mengerti tentang pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan. Kita juga mungkin tidak akan pernah meningkatkan kepedulian kepada sesama. Maka pandemi ini nyata sebagai teguran untuk kebaikan bersama ke depan.

Bicara kenyataan di Indonesia saat ini, yang menarik justru menghadapi pandemi ini bersama-sama secara ilmiah. Mendukung vaksinasi dan pelaksanaan berbagai level pembatasan kegiatan contohnya. Dengan begitu akan muncul pertanyaan-pertanyaan menarik. Misalnya, benarkan setelah vaksinasi optimal kekebalan kelompok atau herd immunity terwujud sehingga kita secara bertahap bisa mengembalikan kehidupan ke kondisi normal?

Pertanyaan lain, bagaimana mungkin herd immunity terbentuk dalam waktu dekat ketika efek dua kali vaksinasi belum sesuai harapan? Nyatanya pemerintah melakukan vaksinasi ketiga. Bahkan ada wacana empat kali vaksinasi. Lalu, benarkah tidak akan ada kekebalan terhadap Covid-19 sampai 100 persen selama penelitian soal asal muasal SARS-CoV-2 tidak tuntas? Dan banyak lagi.

Rasanya lebih menyenangkan menghadapi kenyataan dengan kesadaran akan kenyataan itu sendiri. Melihat kenyataan saat ini, maka belum saatnya kita menyatakan andai pandemi pergi, tanpa perlu jengkel apalagi putus asa. Karena apalah artinya hidup, tanpa ujian.

Mungkinkah Indonesia mendapat hasil berbeda dari negara-negara lain dalam penanganan masalah ini? Pertanyaan itu wajar karena pernah terjadi ketika Siti Fadilah menjabat menteri kesehatan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu Indonesia mengambil cara yang tidak sesuai dengan arahan WHO dalam penanganan flu burung. Dalam berbagai kesempatan, Siti menyatakan bahwa vaksin bukan obat sehingga tidak mungkin menciptakan kesembuhan atau kekebalan 100 persen.

Tetapi tentu pandemi Covid-19 saat ini tidak sama dengan flu burung pada 2004. Apa yang disampaikan Siti Fadilah juga dijawab bahkan dibantah oleh banyak pihak. Jika para ahli masih saling menjawab, belum satu suara, jangan sampai kita menyalahi kebijakan pemerintah. Juga jangan sampai melontarkan pendapat tanpa dasar yang bisa dipertanggungjawabkan. Karena masalah besar dalam pandemi ini salah satunya hoaks. Karena informasi yang salah, orang bisa meninggal karena SARS-CoV-2.

Faktanya, dengan mengikuti WHO, situasi di negara kita terus membaik. Jika korban terus berkurang, tidak mengapa kita menjalani pembatasan dan melaksanakan protokol kesehatan dalam waktu yang lama. Karena keselamatan bersama adalah hukum tertinggi.

Sebagai penutup, mari hadapi tantangan ini dengan penuh semangat. Seperti semangat kita memecahkan teka-teki untuk mendapat sesuatu yang didamba. Mari menikmati kenyataan ini sebagai teguran dan didikan. Maka, mulai sekarang, jangan lagi katakan andai pandemi pergi.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image