Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Kiki F. Wijaya

MENGETUK PINTU REZEKI

Agama | Saturday, 04 Sep 2021, 10:47 WIB

Ada sebuah doa yang diajarkan Rosulullah untuk kita baca di pagi hari, “Allahumma inni as aluka ‘ilman naafi’aa wa rizqon thayyibaa wa amalan mutaqobbalaa”. Artinya, “Ya Allah, Aku memohon kepadamu ilmu yang bermanfaat, rezeki yang baik serta amal yang diterima”.

Inilah doa yang menunjukkkan pengharapan kita atas karunia Allah. Nabi sengaja menyebutkan tiga hal tersebut karena barangkali Rosulullah tahu bahwa ketiga hal itulah yang menjadi sumber kebahagiaan hakiki manusia. Ilmu yang bermanfaat membuat hidup kita terang benderang dan terhindar dari kesalahan. Rezeki yang baik membuat tubuh kita sehat dan mampu menjalankan aktivitas kehidupan dengan normal. Di atas segalanya, rejeki yang baik juga membuat kita makin dekat dan taat kepada Allah. Sementara amalan yang diterima membuat hidup kita bermakna. Betapa tidak, amal kebaikan itu tidak hanya berimplikasi terhadap kemuliaan hidup kita di dunia, namun juga kemuliaan hidup kita di akherat.

Hanya saja, karena keterbatasan saya, dalam tulisan ini saya hanya akan mengulas penggalan kedua dari doa tersebut yakni rezeki yang baik. Pada dasarnya segala sesuatu yang kita terima adalah rezeki. Mulai dari hidangan yang kita makan, kendaraan yang kita gunakan, rumah tempat kita berteduh, sampai organ tubuh yang kiat gunakan sehari-hari. Coba bayangkan, betapa repotnya hidup kita jika ada bagian tubuh kita yang tidak berfungsi dengan baik. Rasanya juga tidak ada satu pun manusia yang mau menukar inderanya dengan uang triliyunan rupiah. Singkat kata, rezeki Allah itu berlimpah ruah dan meliputi seluruh sendi kehidupan kita. Sayangnya, kita sering menyempitkan makna rezeki yang luas itu sebatas uang atau penghasilan semata.

Bagi seorang muslim, rejeki yang baik itu adalah rezeki yang halal dan thoyyib. Halal mengandung pengertian bahwa segala sesutau yang kita konsumsi itu tidak melanggar syariat, baik zatnya maupun cara memperolehnya. Sedangkan thoyyib berarti rezeki tersebut harus berdampak positif bagi tubuh kita dan makin mendekatkan diri kita kepada Allah. Jika yang terjadi sebaliknya, maka kita harus segera bercermin. Boleh jadi, rezeki yang kita peroleh itu mengandung unsur yang diharamkan Allah.

Menurut para ulama, rezeki yang kita peroleh itu dibagi menjadi tiga jenis. Pertama, rezeki yang dijamin Allah (al rizq al ‘am). Inilah rezeki yang Allah berikan kepada semua mahluk-Nya yang bernyawa, sebagaimana diungkapkan Al Qur’an dalam surat Hud ayat 6 :

“Dan tidaklah setiap makhluk yang bernyawa di bumi melainkan Allah yang menjamin rezekinya..”.

Sesuai dengan namanya, rezeki yang pertama ini Allah berikan secara merata kepada seluruh makhluknya, termasuk manusia, tanpa memandang perbedaan gender, suku, bangsa, bahkan agama. Misalnya, Allah menciptakan oksigen agar kita bisa bernafas, menurunkan air agar kita tak kehausan, serta menumbuhkan tanaman dan buah buahan agar kita bisa mengkonsumsinya.

Rezeki yang kedua disebut sebagai rezeki yang dibagikan (al rizq al maqsum). Berbeda dengan rezeki yang pertama, rezeki yang kedua ini bersifat kompetitif. Artinya, banyak sedikitnya rezeki tersebut bergantung pada sejauhmana usaha yang kita lakukan. Ada orang yang menerima rezeki yang berlimpah karena dia sungguh-sungguh mengupayakannya. Sementara apa pula orang yang berkekurangan karena dia malas dan tidak bersungguh-sungguh dalam bekerja. Al-Qur-an mengungkapkan rezeki yang kedua ini dalam surat Al Mulk ayat 15, “Dialah yang menjadikan bumi ini mudah untukmu, maka berjalanlah ke segala penjuru dan makanlah sebagian rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nyalah kalian akan kembali”. Pada tempat yang lain kita juga bisa menemukannya dalam Al-Qur’an surat Al Jum’ah ayat 10, “Maka apabilah sholat telah ditunaikan, bertebaranlah di muka bumi dan carilah karunia Allah serta ingatlah Allah sebanyak-banyaknya agar kamu beruntung”. Di samping menyinggung jenis rezeki yang dibagikan Allah, kedua ayat di atas sesungguhnya juga mengisyaratkan tentang sikap dan tindakan yang mesti kita lakukan untuk memperolehnya.

Setidaknya, ada tiga hal yang harus kita lakukan untuk memperoleh rezeki yang bagikan Allah. Pertama, Al-Masy-yu yang berarti bergerak, tidak diam atau berpangku tangan. Kita dilarang keras bermalas-malasan atau menghabiskan waktu hanya untuk beribadah namun mengabaikan tangggung jawab kita untuk mencari nafkah. Suatu ketika Rosulullah pernah mendapatkan pengaduan tentang salah seorang sahabatnya yang menghabiskan waktunya hanya untuk beribadah sementara dia mengabaikan hak keluarganya. Rosulullah bertanya, “Siapakah yang menanggung keperluan keluarganya ?”. Para sahabat pun menjawab bahwa saudaranyalah yang menanggung kehidupan keluarga orang tersebut. Mendapat penjelasan itu, Rosulullah lalu menegaskan, “Kalau begitu saudaranya itu lebih baik daripada dia”.

Sikap kedua yang kita harus lakukan untuk memperoleh rezeki yang dibagikan adalah Al Intisyar. Kata ini tidak semata berarti bertebaran, tapi lebih jauh dari itu, kita harus membuat perencanaan yang matang serta menentukan tujuan yang hendak dicapai secara akurat dan terukur. Di sinilah kita harus bekerja secara cerdas. Kita tidak boleh mengabaikan perencanaan karena kegagalan dalam menyusun perencanaan sama saja dengan merencanakan kegagalan itu sendiri. Tapi perencanaan yang baik tidak boleh berhenti hanya sebatas rencana. Rencana itu harus diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata. Inilah sikap ketiga yang tersurat dalam firman Allah sebelumnya (Al Jum’ah : 10), yakni Al Ibtigha yang berarti pencarian atau pencapaian. Kita harus melalukan eksekusi sesuai dengan rencana yang telah disusun. Boleh jadi, tindakan itu tidak sama persis dengan rencana sebelumnya karena memang kondisi lapangan acapkali berbeda dengan prediksi di atas kertas. Tapi setidaknya tindakan yang kita tempuh itu tetap berada pada jalur tujuan yang benar. Inilah tiga sikap proaktif yang diajarkan Islam agar kita memperoleh rezeki yang dibagikan Allah.

Akhirnya, Allah juga memberikan rezeki yang ketiga, yakni rezeki yang dijanjikan Allah (al rizq al maw’ud). Berbeda dengan rezeki sebelumnya yang bergantung pada besar kecilnya ikhtiar yang kita lakukan, rezeki jenis ketiga ini sangat ditentukan kualitas keimanan kita. Al-Qur’an mengungkapkannya dalam surat At Tholaq ayat 2-3 :

“Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya akan diberikan kepadanya jalan keluar dan rezeki dari arah yang tak diduga-duga. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Dia akan mencukupinya”.

Ayat ini dengan jelas menunjukkan cara yang harus kita tempuh bila ingin memperoleh rezeki yang Allah janjikan, yaitu dengan takwa dan tawakal.

Pada level terendah, ketakwaan ditandai kesungguhan kita untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Pada level yang lebih tinggi, takwa juga bisa berarti kehati-hatian karena kita menyadari betul bahwa tak ada satu pun ucapan, tindakan, bahkan pikiran yang terbersit di hati kita yang luput dari pengawasan Allah. Dan pada level tertinggi, takwa berarti mengerjakan berbagai amal shaleh atas dasar cinta yang dalam kepada Allah.

Adapun tawakal artiya menyerah segala keputusan di tangan Allah. Sebagai makhluk kita hanya bisa berusaha, namun yang menentukan berhasil atau tidaknya usaha itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Allah.

Waallahu ‘alam bish showab

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image