Dunia Tanpa Anak-Anak
Politik | 2021-09-02 21:07:29Ramai penyohor negeri menyodorkan gagasan 'Chidfree'. Melalui media sosial, menjadikan suara mereka semakin lantang terdengar. Celakanya ada saja sebagian orang yang menganggap bahwa ini adalah ide kekinian yang benar adanya. Maka tatkala mereka menelannya dan ikut-ikutan tanpa ilmu, jadilah kini mereka berjalan limbung tak tentu arah.
Childfree tampak absah sebagai sebuah pilihan, sama halnya seperti seseorang yang memilih untuk menikah atau melajang. Bahkan gagasan ini pun, bukan tanpa alasan. Meski jika ditelisik lebih jauh, semakin banyak dalih yang dikemukakan, malah semakin menunjukkan kegagalan dan kelemahan seluruh pemikiran yang lahir dari sekularisme.
Sistem yang satu ini digunakan di banyak negara, menegasikan peran Allah sebagai Sang Pengatur. Pengemban gagasan childfree pun merasa berhak mengelola diri sendiri. Namun alih-alih melindungi diri dari persoalan yang muncul bersamaan dengan kehadiran anak, justru ide ini menyumbang masalah baru bagi negara. Sebab ternyata dunia tanpa anak adalah petaka, tidak ada generasi yang akan membangun bangsa.
Dua negara besar yakni Jepang dan Inggris, bahkan membentuk Menteri Urusan Kesepian untuk mengatasi menurunnya angka kelahiran serta kasus bunuh diri yang menggejala pada masyarakat modern. Berbagai masalah timbul. Bukti bahwa tidak adanya penerus keturunan, akan membuat sulit sebuah keluarga, masyarakat dan juga negara.
Namun demikian ide chidfree yang muncul di awal abad 20 ini, terus saja berkembang. Seorang penulis asal Prancis, Corinne Maier, dalam bukunya yang berjudul: No Kids: 40 Reasons For Not Having Children, menyampaikan alas seperti ketakutan akan kehidupan yang tidak sejahtera, tidak mampu mengelola rumah tangga, pengaruh keberadaan terhadap kesehatan, karir, finansial, hingga beragam alasan lainnya.
Atau bisa jadi pengusung gagasan ini tak memiliki alasan sama sekali. Problem kependudukan, kerusakan lingkungan dan takut miskin, berkembang di negara sekuler seperti Eropa yang mendasarkan kebahagiaan pada kemapanan materi. Hingga generasi millenials pun memilih childfree. Sedangkan gharizah nau, yaitu naluri ingin melestarikan keturunan, yang merupakan qadar ketetapan Allah, tetap melekat pada diri manusia.
Pada fitrahnya manusia menyukai anak-anak, sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Dijadikan terasa indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa perempuan-perempuan, anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik."
(QS. Ali 'Imran 3: Ayat 14)
Maka dengan keterbatasan akal, dugaan, asumsi dan keengganan, mendorong manusia mengingkari fitrahnya. Padahal beban menjadi orang tua, serta kehidupan serba sempit akan selalu ada selama sekularisme dijadikan asas dalam mengatur kehidupan bernegara. Keliru menggunakan pondasi pemikiran, berpengaruh juga pada gerak dan keputusan yang diambil. Karenanya peran negara sebagai pengatur dan pelindung, raa'in dan junnah, bagi seluruh urusan umat, mutlak diperlukan.
Tidak hanya golongan ekonomi menengah ke bawah yang merasakan kehidupan sempit, masyarakat atas pun yang mampu secara finansial sepakat bahwa kebutuhan pokok harus dibayar dengan harga tinggi. Seluruh kebutuhan dasar baik pangan, sandang dan papan didapat dengan memeras tenaga akibat ketidakmampuan negara mengakomodir hak-hak masyarakat.
Berharap menikmati kehidupan dunia free tanpa anak, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Segalanya berubah di ujung usia, membuat mereka menyesal di kemudian hari karena telah memilih hidup tanpa anak. Oleh sebab itu manusia harus berhenti berjalan sekehendak hatinya tanpa mengindahkan aturan Allah. Sekularisme tidak layak digunakan.
Memisahkan agama dari kehidupan terbukti membuat kekacauan berpikir. Manusia ternyata tidak mampu mengatur hidupnya sendiri. Maka tidak ada obat mujarab bagi manusia kecuali mendekat kepada Allah dan menguatkan keimanannya. Dalam nash-nash yang banyak ditegaskan bahwa ide Childfree haram, sebab lahir dari sekularisme yang melandasi seluruh aktivitasnya berdasar manfaat belaka, bukan halal haram.
Dalam Kitab An-Nizhom Al-Ijtimaiy fi Al-Islam, Taqiyudin an-Nabhani, prinsip dasar pernikahan dalam Islam adalah untuk mendapatkan keturunan atau anak. Hal tersebut diambil dari dari Qur'an surah An Nahl ayat 72, Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
"Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rezeki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang batil dan mengingkari nikmat Allah?"
Adapun pada kasus kemandulan, merupakan ketetapan Allah yang membuat sebuah keluarga tidak memiliki anak. Hal ini di luar kuasa manusia. Maka mengimani perkara baik dan buruk datangnya dari Allah, wajib adanya. Sedangkan childfree temporer karena hajat tertentu, untuk menyelesaikan studi atau menjarangkan jarak kehamilan misalnya, pun boleh dilakukan.
Syariat adalah bentuk kasih sayang Allah agar manusia mampu menjalani kehidupannya dengan baik. Sistem rusak liberalisme dan sekularisme hanya akan membuat kehidupan manusia dan pilihan-pilihan mereka menjadi kacau. Sistem di luar Islam adalah batil, tidak layak diterapkan oleh kaum muslim.
Maka bagi umat yang sedang menapaki jalan kebangkitan, dunia tanpa anak jelas bukan sebuah pilihan. Peradaban akan maju jika diisi dengan sumber daya manusia yang berkualitas unggul yang menjadikan Islam sebagai sebuah landasan pemikirannya. Wallahu 'alam bish showab.
Ilustrasi gambar Pinterest
*Muslimah penulis dari Cirebon.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.