Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image MUHAMMAD SATRIA BAGUS ARDI

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DALAM JUAL BELI-ONLINE (E-COMMERCE)

Bisnis | 2021-08-29 22:48:46

Perdagangan yang berbasis teknologi canggih, E-Commerce telah mereformasi perdagangan konvensional di mana interaksi antara konsumen dan perusahaan yang sebelumnya dilakukan secara langsung menjadi interaksi yang tidak langsung. E-commerce telah merubah paradigma bisnis klasik dengan menumbuhkan model-model interaksi antara produsen dan konsumen di dunia virtual. Sistem perdagangan yang dipakai dalam E-Commerce dirancang untuk menandatangani secara elektronik. Penandatanganan elektronik ini dirancang mulai dari saat pembelian, pemeriksaan dan pengiriman.

Transaksi jual-beli melalui E-Commerce saat ini dan terutama di wilayah hukum negara Indonesia telah berkembang dengan pesat. Indonesia telah memiliki landasan hukumnya mengenai perlindungan konsumen yakni Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen disamping masih adanya peraturan perundang- undangan lainnya mengatur hal yang sama.

Pengertian E-Commerce sendiri Merupakan segala bentuk transaksi perdagangan atau perniagaan barang atau jasa dengan menggunakan media elektronik. Karena kedua belah pihak secara fisik tidak bertemu maka sangat dimungkinan lahirnya bentuk-bentuk kecurangan atau kekeliruan menjadi perhatian utama yang perlu penanganan lebih besar. Dampak negatif dari E-Commerce itu sendiri cenderung merugikan konsumen. Diantaranya dalam hal yang berkaitan dengan produk yang dipesan tidak sesuai dengan produk yang ditawarkan, dan hal-hal lain yang tidak sesuai dengan kesepakatan sebelumnya. Contoh kasus saat belanja barang secara online, tapi barang yang dibeli tidak sama dengan yang dilihat difoto pada iklan yang dipajang. Apakah itu termasuk pelanggaran hak konsumen? Apakah dapat menuntut penjual untuk mengembalikan uang atau mengganti barang yang telah dibeli tersebut.

Tinjauan Perlindungan Hukum Konsumen

Pasal 4 UUPK menyebutkan bahwa hak konsumen diantaranya; hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; dll.

Di sisi lain, kewajiban bagi pelaku usaha sesuai Pasal 7 UUPK diantaranya; memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian, dll.

Lebih tegas lagi Pasal 8 UUPK melarang pelaku usaha untuk memperdagangkan barang/jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut. Berdasarkan pasal tersebut, ketidaksesuaian spesifikasi barang yang kita terima dengan barang tertera dalam iklan/foto penawaran barang merupakan bentuk pelanggaran/larangan bagi pelaku usaha dalam memperdagangkan barang.

Maka konsumen sesuai Pasal 4 huruf h UUPK berhak mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya. Sedangkan, pelaku usaha itu sendiri sesuai Pasal 7 huruf g UU PK berkewajiban memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Apabila pelaku usaha tidak melaksanakan kewajibannya, pelaku usaha dapat dipidana berdasarkan Pasal 62 UUPK, yang berbunyi:

“Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua milyar rupiah).”

Kontrak Elektronik dan Perlindungan Konsumen berdasarkan UU ITE dan PP PSTE

Transaksi jual beli, meskipun dilakukan secara online, berdasarkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan Peraturan baru penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik (PP PSTE) tetap diakui sebagai transaksi elektronik yang dapat dipertanggungjawabkan. Kontrak Elektronik itu sendiri menurut Pasal 48 ayat (3) PP PSTE setidaknya harus memuat hal-hal sebagai berikut; data identitas para pihak; objek dan spesifikasi; persyaratan Transaksi Elektronik; harga dan biaya; prosedur dalam hal terdapat pembatalan oleh para pihak; ketentuan yang memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk dapat mengembalikan barang dan/atau meminta penggantian produk jika terdapat cacat tersembunyi; dan pilihan hukum penyelesaian Transaksi Elektronik.

Dengan demikian, pada transaksi elektronik yang terjadi dikasus dapat menggunakan instrumen UU ITE dan/atau PP PSTE sebagai dasar hukum dalam menyelesaikan permasalahannya.

Terkait dengan perlindungan konsumen, Pasal 49 ayat (1) PP PSTE menegaskan bahwa Pelaku Usaha yang menawarkan produk melalui Sistem Elektronik wajib menyediakan informasi yang lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen, dan produk yang ditawarkan. Pada ayat berikutnya lebih ditegaskan lagi bahwa Pelaku Usaha wajib memberikan kejelasan informasi tentang penawaran kontrak atau iklan. Lalu muncul pertanyaan bahwa bagaimana jika barang bagi pihak konsumen tidak sesuai dengan yang diperjanjikan?

Pasal 49 ayat (3) PP PSTE mengatur khusus tentang hal tersebut, yakni Pelaku Usaha wajib memberikan batas waktu kepada konsumen untuk mengembalikan barang yang dikirim apabila tidak sesuai dengan perjanjian atau terdapat cacat tersembunyi. Selain kedua ketentuan tersebut di atas, apabila ternyata barang yang diterima tidak sesuai dengan foto pada iklan toko online tersebut (sebagai bentuk penawaran), kita juga dapat menggugat Pelaku Usaha (dalam hal ini adalah penjual) secara perdata dengan dalih terjadinya wanpretasi atas transaksi jual beli yang kita lakukan dengan penjual.

Menurut Prof. R. Subekti, S.H. dalam bukunya tentang “Hukum Perjanjian”, wanprestasi adalah kelalaian atau kealpaan yang dapat berupa 4 macam kondisi yaitu:

a. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;

b. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;

c. Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi terlambat;

d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Jika salah satu dari 4 macam kondisi tersebut terjadi, maka secara perdata kita dapat menggugat penjual online dengan dalih terjadi wanprestasi (misalnya, barang yang kita terima tidak sesuai dengan spesifikasi barang yang dimuat dalam tampilan beranda suatu laman online).

Penyelesaian Sengketa Konsumen

Penyelesaian sengketa E- Commerce internasional dimungkinkan untuk diselesaikan terutama yang meliputi sengketa bernilai kecil dalam forum yang tepat, yaitu dengan Online Dispute Resolution (ODR) yang menjadi cara praktis untuk memberi para pelanggan remedy yang tepat, murah dan efektif serta mengurangi penentuan perkara di negara asing. Ada beberapa keuntungan bagi pembeli dan pelaku usaha trnsaksi E-Commerce dalam penyelesaian sengketa melalui ODR antara lain:

Pertama, penghematan waktu dan uang. Keuntungan ini karena para pihak tidak perlu membayar biaya yang harus dikeluarkan untuk menghadiri persidangan dan biaya- biaya yang berkaitan dengan hal itu. Kecepatan ODR adalah salah satu keuntungan dasarnya, pihak-pihak dan pihak netral tidak perlu melakukan perjalanan untuk bertemu, mereka tidak perlu ada di waktu yang sama, jangka waktu antara penyerahan dapat singkat, penyelesaian dapat berdasarkan dokumen saja.

Kedua, biasanya biaya layanan penyelesaian sengketa perdata adalah gabungan dari biaya institusi penyelesaian sengketa, fee, dan biaya pihak netral, biaya para pihak, ongkos hukum. Dalam ODR beberapa biaya ini tidak ada atau berkurang signifikan.

Ketiga, pihak yang menggunakan akses internet lebih yakin dalam menghadapi proses yang akan dijalaninya, sebab mereka dapat dengan mudah mengontrol dan merespon apa yang terjadi dalam proses.

Keempat, jika para pihak enggan melakukan tatap muka, dapat menghindari pertemuan dengan pihak lawannya. Para pihak dapat menghindarkan diri perasaan takut akan diintimidasi dalam proses.

Berdasarkan pada penyelesaian sengketa alternatif secara offline atau tradisional, maka dapat dibagi juga bentuk penyelesaian sengketa dengan cara online (ODR) yang dapat dilakukan melalui Arbitrase Online. Perkembangan teknologi yang memungkinkan terjadinya perdagangan secara elektronik, telah mengilhami dilakukan penyelesaian sengketa secara elektronik pula. Di tengah kegalauan sistem hukum yang tidak mengikuti perkembangan zaman dan cepatnya kemajuan tekhnologi, tekhnologi telah menggoreskan gagasan tentang penyelesaian sengketa secara online, dalam bentuk arbitrase onlien (E- Arbitration).

Konsumen dalam hal ini harus diberikan berbagai perlindungan khusus yang mana sangat rentan dengan berbagai kemungkinan yang akan merugikan pihak konsumen itu sendiri dari para pelaku usaha yang tidak beritikad baik dalam melakukan transaksi jual-beli secara online. Transaksi secara online bagi pihak para pelaku usaha maupun konsumen masing-masing harus memiliki iktikad baik dari awal.

Konsumen dalam hal ini harus diberikan berbagai perlindungan khusus yang mana sangat rentan dengan berbagai kemungkinan yang akan merugikan pihak konsumen itu sendiri dari para pelaku usaha yang tidak beritikad baik dalam melakukan transaksi jual-beli secara online. Transaksi secara online bagi pihak para pelaku usaha maupun konsumen masing-masing harus memiliki iktikad baik dari awal.

Jika para pihak konsumen maupun para pelaku usaha dalam melakukan transaksi jual beli terdapat permasalahan maka dapat menggunakan sarana UUPK yang mana sebagai pedoman bagi konsumen terutama untuk memperjuangkan hak-haknya untuk melindungi kepentingannya. Tidak menutup kemungkinan bagi para pelaku usaha jika mendapatkan pembeli yang tidak memiliki iktikad baik dapat menyelesaikan hal melalui proses yang serupa.

Pada Pokoknya, tidak cukup sampai disini peraturan terkait perlindungan konsumen menjadi wadah maupun sarana hokum bagi pihak konsumen maupun para pelaku usaha. Masih ada beberapa perbaikan dan tambahan substansi peraturan yang perlu ditambah untuk melindungi berbagai pihak. Mengingat perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat maka konsumen selayaknya juga harus mewaspadai berbagai kemungkinan yang akan merugikan kepentingan konsumen.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image