Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Sutanto

Fabel: Burung Berhati Emas

Sastra | Saturday, 28 Aug 2021, 10:49 WIB

Eci menangis tersedu-sedu. Katak kecil itu duduk dipematang sawah sambil bercucuran air mata. Belalang yang bernama Bela mendekatinya.

“Jangan menangis Eci. Kalau aku bisa membantu, katakan saja padaku,” hibur Bela.

Eci belum mampu menjawab karena masih menahan tangis.

“Tenangkan dulu hatimu. Baru nanti kamu ceritakan apa yang terjadi,” sahut Caca, seekor capung juga turut menghibur.

Belum sampai Eci menjawab keduanya, datang Etta si Burung Kuntul berbulu putih.

“Ada apa ini? Kok ada anak katak menangis, dikerumuni capung dan belalang,” tanya Etta.

“Kami berdua juga belum tahu apa masalahnya. Sejak tadi belum menjawab,” jawab Caca dan Bela.

Etta mendekati Eci, sambil berkata, “Kamu tak usah takut kepada kami. Ceritakan saja apa yang membuatmu bersedih.”

Setelah beberapa saat mengatur perasaannya, barulah Eci menjawab, “Aku diusir dari rumah.”

“Diusir dari rumah?Memang ada masalah apa sampai kau diusir?” desak Etta.

“Setiap hari aku selalu bermain dan senja hari baru pulang. Beberapa kali ibuku mengingatkan tetapi aku tetapsaja mengulanginya. Saking jengkelnya, aku diusir tak boleh pulang,” papar Eci sambil berlinang airmata.

Etta memandang anak katak tersebut sambil menarik napas panjang. Seandainya dia menjadi ibu katak pasti dirinya juga akan merasa jengkel kalau nasihatnya tak didengar.

“Sekarang kamu sudah mengakui kesalahan. Kamu akan memperbaiki diri atau tetap akan mengulangi lagi?” tanya Etta.

“Aku sudah sadar, tak akan membantah nasihat ibu lagi,” jawab Eci.

Etta tidak tega melihat Eci yang terus-terusan bersedih. Etta mendekati Caca dan membisikkan sesuatu. Caca mengangguk dan meninggalkan pematang sawah.

Di tepi kolam yang ditumbuhi pohon pepaya dan pisang, duduk berhadapan sepasang katak, Kaka dan Tata.

“Apa kamu tidak kasihan dengan Eci. Dia masih kecil,tetapi kamu tega mengusir dia dari rumah. Mau kemana dia, dia kan tak punya siapa-siapa,” ucap Kaka.

“Aku sebenarnya juga tidak tega, tetapi aku jengkel juga karena nasihatku berulangkali tidak didengar,” jawab Tata.

“Ini kan sudah dua hari dia pergi. Apa tidak sebaiknya kucari saja?” tanya Kaka.

Belum sampai Tata menjawab datanglah Caca.

“Perkenalkan. Aku Caca. Apa benar kalian orangtua Eci?”

“Benar Caca, aku ayah Eci dan ini ibunya,” jawab Kaka.

Caca segera menceritakan perjumpaannya dengan Eci di pematang sawah bersama Bela dan Etta, serta pesan yang mesti disampaikan.

“Eci sekarang sudah sadar. Dia minta maaf kepada kalian berdua dan ingin pulang,” lanjut Caca.

Kaka dan Tata saling berpandangan sejenak.

Tata menyahut lebih dulu,”Aku tetap tidak mengizinkan Eci pulang. Biarlah dia merasakan hidup sebatangkara agar menjadi pribadi kuat dan belajar mandiri.”

“Tapi Eci masih terlalu kecil untuk berpisah dengan kita,” timpal Kaka.

“Sudahlah. Kamu harus ikut keputusan saya,” jawab Tata tegas.

Caca menggelengkan kepala melihat sikap Tata yang tetap kukuh.

“Baiklah kalau begitu, aku akan kembali kepada Eci,Etta, dan Bela untuk memberitahukan jawaban kalian,” sahut Caca sambil terbang meninggalkan Kaka dan Tata.

***

Sesampainya di pematang sawah, Caca menyampaikan jawaban dari orangtua Eci.

“Etta. Bagaimana menurutmu? Orangtuanya tetap tak mau menerima Eci kembali pulang,” tanya Caca.

“Iya. Kasihan Eci. Kok tega-teganya mereka melepas anak yang masih kecil,” gerutu Bela.

Etta tampak berpikir beberapa saat.

“Kalian semua. Ayo ikut bersamaku terbang menuju ke tempat orangtua Eci!” perintah Etta.

Ketiganya naik ke punggung Ettadan diapun terbang menuju rumah Kaka dan Tata.

***

“He Kaka dan Tata. Kemarilah, lihat anakmu ini. Apakah kalian masih tetap tak mengizinkannya pulang,” seru Etta.

“Kami tetap tak mengizinkannya pulang,” jawab Tata lantang.

“Baiklah kalau keputusanmu begitu. Kalau memang kalian tak menerima kembali anakmu. Eci telah merelakan diri menjadi santapanku siang ini. Dia ikhlas pergi selamanya daripada hidup terpisah dari kalian dan sebatangkara,” ancam Etta.

Dengan disaksikan Kaka,Tata, Bela, dan Caca. Etta bersiap hendak mematuk tubuh Eci. Anak katak itupun tidak berusaha untuk lari, dia sudah pasrah dengan apa yang terjadi.

Saat paruh Etta hampir menempel di tubuh Eci, tiba-tiba Tata berteriak keras.

“Anakku Eci. Ibu memaafkanmu Nak, jangan tinggalkan ibu.”

Etta mengurungkan niatnya menyantap Eci.

Tata menciumi Eci dengan penuh kasih sayang.

“Maafkan Eci. Aku berjanji akan menuruti nasihatibu,” sesal Eci.

“Aku memaafkanmu Eci,” sahut Tata.

Kaka memandangi Eci dan Tata dengan perasaan bahagia. Akhirnya Tata mau memaafkan Eci dan mengizinkan kembali.

“Kaka dan Tata. Sebenarnya aku tak ada niat sedikitpun menyakiti apalagi menyantap Eci. Itu semua aku lakukan agar Eci bisa kembali kalian terima. Sebab aku yakin, tak ada seorang ibu yang tega melihat anaknya tersakiti,” tutur Etta.

“Kami berdua minta maaf telah merepotkan kalian bertiga. Kami hanya bisa mengucapkan terimakasih,” sahut Tata lirih.

***

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Berita Terkait

 

Tulisan Terpilih


Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image