Clock Magic Wand Quran Compass Menu
Image Slamet Samsoerizal

Kasus Berlibur ke Rumah Nenek

Guru Menulis | 2022-05-09 19:19:54
sumber foto: dokumen pribadi

Tugas pertama peserta didik selepas berlibur adalah menceritakan pengalaman liburan mereka. Itu terjadi awal mereka masuk ke sekolah. Sesuaikah dengan kurikulum, terutama mata pelajaran Bahasa Indonesia?

Dari jenjang SD hingga SMA, tidak kita jumpai materi usai libur semester satu atau dua, mengharuskan peserta didik mengarang bebas dengan menceritakan sejumlah pengalaman mereka selama berlibur.

Sadarkah kita bahwa yang terjadi adalah aktivitas basa-basi? Begini, maksudnya. Kegiatan yang terjadi, hanya atas nama pemanasan pembelajaran, karena mereka harus adaptasi terlebih dahulu. Lalu -dan ini “parahnya”- hasil karangan peserta didik tidak diperiksa. Boro-boro dibahas!

Menulis juga Berliterasi

Menulis apa pun bentuknya, termasuk menulis pengalaman tergolong membudayakan peserta didik berliterasi.

Dalam buku saku “Gerakan Literasi Sekolah” atau GLS (2018) disebutkan, literasi adalah kemampuan dalam mengakses, memahami, dan menggunakan informasi secara cerdas. Literasi merupakan kemampuan seseorang dalam mengolah dan memahami informasi, baik itu saat membaca maupun menulis. Literasi bukan hanya sekadar kemampuan membaca atau menulis, tetapi lebih kompleks.

UNESCO menegaskan bahwa literasi adalah seperangkat keterampilan nyata, khususnya keterapilan kognitif membaca dan menulis, yang terlepas dari konteks darimana keterampilan itu diperoleh, dan dari siapa serta bagaimana cara memperolehnya.

Literasi dapat dikatakan sebagai kemampuan seseorang dalam memahami apa yang dibaca sehingga dapat menuliskan kembali apa yang sudah dibaca dengan benar. Literasi berhubungan dengan baca, tulis dan hitung, berhubungan dengan buku, artikel atau tulisan lain yang didalamnya terdapat aksara.

Tujuan umum GLS adalah menumbuhkembangkan budi pekerti peserta didik melalui pembudayaan ekosistem literasi sekolah yang diwujudkan dalam GLS agar mereka menjadi pembelajar sepanjang hayat. Sedangkan tujuan khususnya adalah menumbuhkembangkan budaya literasi membaca dan menulis siswa di sekolah, meningkatkan kapasitas warga dan lingkungan sekolah agar literat,menjadikan sekolah sebagai taman belajar yang menyenangkan dan ramah anak agar warga sekolah mampu mengelola pengetahuan, menjaga keberlanjutan pembelajaran dengan menghadirkan beragam buku bacaan, dan mewadahi berbagai strategi membaca.

Membahas Tuntas

Sejumlah fakta bisa ditemukan, terutama pada siswa SD dan SMP, saat menulis tentang pengalaman selama berlibur. Pertama, judul. Dalam hal ini, ditemukan keseragaman judul seperti: “Berlibur ke Rumah Nenek”. Kedua, pembuka tulisan atau karangan biasanya dimulai dengan kalimat “Pada suatu hari ... Saat liburan tiba ... “ Ketiga, penggunaan kata penghubung (konjungsi) antarkalimat secara kaku.

Guru bahasa Indonesia, bisa berkolaborasi dengan guru IPS misalnya dalam hal membahas karangan siswa. Tiga poin yang disebutkan bisa menjadi jatah guru bahasa Indonesia. Adapun isi karangan secara keseluruhan dapat dibahas oleh guru IPS. Teknisnya, pada hari awal masuk hanya membahas tentang tugas tersebut dengan mengambil alokasi waktu 6 jam pelajaran.

Ada sebuah anekdot yang pernah penulis alami,saat menanyakan tentang judul. Mengapa harus ke rumah nenek? Apakah kakeknya sudah wafat? Tiga siswa yang ditanya dalam diskusi, saling pandang. Mereka akhirnya serempak bahwa neneknya masih hidup. Pertanyaan dilanjutkan dengan dimana rumah nenek?

“Dekat Pak. Depan rumah saya!” serentak kedua siswanya tertawa.

“Nenek saya sudah meninggal, Pak” jawab siswa yang satu lagi. Spontan, teman-teman sekelasnya terbahak-bahak.

“Kenapa kamu menceritakan berlibur ke rumah nenek yang sudah beradadi alam lain?” kejar saya saat itu. Tambah panik dia menjawab.

Anekdot ini buat saya merupakan masukan sangat berharga. Betapa, sebuah tugas yang sejak SD hanya itu-itu saja yang diberikan,tanpa dibahas akan membudaya hingga kelak. Ini baru kasus penentuan judul.

Pembuka karangan yang biasanya digunakan peserta didik dengan mengawali “Pada suatu hari ...” merupakan pengaruh ketika mereka awal menyimak dongeng fabel saat duduk di bangku TK. Pengaruh tersebut sedemikian melekatnya, sehingga seolah tiada ungkapan yang pas untuk memulai selain ”pada suatu hari.”

Konjungsi atau kata penghubung yang menunjukkan adanya hubungan waktu antara satu klausa dalam bahasa Indonesia secara teori mencakup: konjungsi batas waktu permulaan, contoh: sejak, sedari. Konjungsi waktu bersamaan, misalnya: (se)waktu, tatkala, ketika, selama, sambil, sementara, selagi, dan seraya. Konjungsi waktu berurutan, contohnya adalah sebelum, sesudah, seusai, sehabis, setelah, begitu, dan selesai. Konjungsi batas waktu akhir, misalnya hingga dan sampai.

Adapun yang perlu dibahas kepada para peserta didik tentang penggunaan kata penghubung (konjungsi) antarkalimat secara kaku adalah agar para peserta didik mulai memahami bahwa untuk membuat alur cerita dapat berjalan dengan baik, tidak harus melulu menggunakan konjungsi “kemudian, lalu, setelah itu, dan akhirnya.” Nah, diskusi semacam ini akan bermanfaat bagi peserta didik terutama dari segi struktr teks dan kebahasaan.

Bagaimana dengan guru IPS? Isi karangan semisal berlibur ke rumah nenek dengan menonjolkan wisata yang ada disana, merupakan pembahasan yang menarik. Kepada peserta didik yang menulis karangan tersebut, dapat dibukakan wawasannya dan menggali bagian-bagian dari wisata yang diceritakan yang menurut guru IPS masih belum jelas.

Kebiasaan peserta didik ketika menulis, apalagi tugas “basa-basi” awal masuk dengan topik semacam itu, ya “ngasal”. Begitu tugas selesai, langsung dikumpulkan. Padahal, tahap akhir dari sebuah tulisan ketika selesai ditulis adalah penyuntingan.

Penyuntingan mencakup isi, struktur dan aspek kebahasaan dari karangan yang ditulisnya. Dengan menyunting berarti,mengatur alur pikir secara tertib sistematik sesuai dengan isi teks yang ditulisnya.

Bukankah berliterasi juga mengajarkan peserta didik untuk bersikap kritis?

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Copyright © 2022 Retizen.id All Right Reserved

× Image